Tafsir Surat Yunus 56 dan Tafsir Surat Ar-Rum 50: Corona dan Falsafah Kematian

Tafsir Surat Yunus 56 dan Tafsir Surat Ar-Rum 50: Corona dan Falsafah Kematian

Hadirnya virus ini, seharusnya, meningkatkan iman kita. Segala sesuatu sesuai dengan takaran dan kehendak-Nya. Menyadarkan kita akan dahsyatnya kekuasaan Tuhan, sekaligus membuktikan begitu rapuh dan lemahnya diri manusia.

Tafsir Surat Yunus 56 dan Tafsir Surat Ar-Rum 50: Corona dan Falsafah Kematian
Jenazah pasien covid 19 hendak disemayamkan. Foto: tagar.id

Pandemi Covid-19 merupakan realitas global yang menerjang tatanan umat manusia dari level internasional hingga pada ranah privat. Virus yang muncul di akhir tahun 2019 ini menyerang siapa saja, tanpa memandang negara, ras, suku maupun agama. Kian hari, jumlah korban positif dan angka kematian akibat virus ini terus bertambah. Tingginya angka kematian menyebabkan kepanikan global. Perasaan cemas dan takut yang berlebihan terhadap wabah ini.

Tulisan singkat ini tidak ditujukan untuk memberikan opini secara langsung terhadap wabah Coronavirus. Akan tetapi, pada satu sisi merupakan sebuah ajakan untuk mentadaburi ayat-ayat Al-Quran. Sedangkan, pada sisi lainnya, merupakan sebuah upaya mencari hikmah dibalik wabah tersebut (Covid-19).

Bagi penulis, salah satu hikmah nyata dibalik wabah ini adalah tentang falsafah kematian. Merujuk pada ayat-ayat Al-Quran, banyak sekali ayat-ayat Al-Quran yang menjelaskan bahwa hakikat hidup dan mati ada di tangan Allah swt. Diantaranya:

هُوَ يُحْيي‏ وَ يُميتُ وَ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (56)

Dia-lah yang menghidupkan dan mematikan dan hanya kepada-Nya-lah kamu dikembalikan” (Q.S.Yūnus/ 10: 56)

فَانْظُرْ إِلى‏ آثارِ رَحْمَتِ اللَّهِ كَيْفَ يُحْيِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِها إِنَّ ذلِكَ لَمُحْيِ الْمَوْتى‏ وَ هُوَ عَلى‏ كُلِّ شَيْ‏ءٍ قَديرٌ (50)

Maka perhatikanlah bekas-bekas rahmat Allah, bagaimana Allah menghidupkan bumi yang sudah mati. Sesungguhnya (Tuhan yang berkuasa seperti) demikian benar-benar (berkuasa) menghidupkan orang-orang yang telah mati. Dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Q.S. al-Rūm/ 30: 50).

Melalui tadabur terhadap kedua ayat tersebut, harusnya kita tidak panik dan tetap tenang terhadap pendemi. Hakikat hidup dan mati ada di tangan Tuhan. Kita saksikan bahwa walaupun belum ditemukan vaksin virus ini, melalui perantaraan para medis dan obat-obatan, banyak orang yang terinfeksi, dinyatakan sembuh. Hadirnya virus ini, seharusnya, meningkatkan iman kita. Segala sesuatu sesuai dengan takaran dan kehendak-Nya. Menyadarkan kita akan dahsyatnya kekuasaan Tuhan, sekaligus membuktikan begitu rapuh dan lemahnya diri manusia.

Secara ufukiyah (realitas alam), Covid-19 menjadi ayat akan kekuasaan Tuhan, yang meruntuhkan kesombongan (takabbur) manusia, para imperialis dan kapitalis dunia. Perekonomian global dibuat berantakan hanya dalam tempo singkat. Kita tidak bisa bayangkan, jika pandemi ini berlanjut hingga berbulan-bulan, atau menjadi masa tahunan. Tidak bisa dibayangkan, berapa triliun dolar kerugian yang akan mereka tanggung.

Sedangkan secara anfusiah (realitas diri), Covid-19 memberikan pesan kepada diri kita agar tidak sombong (takabbur) diri. Segala atribut-atribut sosial yang kita miliki tidak memiliki arti jika disandingkan dengan kebesaran dan kekuasaan Tuhan. Hanya dengan virus sekecil Covid-19, diri kita seakan tidak berdaya. Apalagi, jika dihadapkan dengan keagungan Dzat Tuhan.

Dengan ketetapan (takdir)-Nya, kita telah berkali-kali dimatikan dan dihidupkan kembali. Yang awalnya kita kita berupa tanah yang mati, berubah menjadi setetes air mani, kemudian dihidupkan menjadi sosok manusia. Nanti pada waktunya, akan menjalani proses kematian, dan dibangkitkan lagi menuju kehidupan akherat. Allah berfirman: “..Maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya …  Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.” (Q.S. al-Ḥajj/22: 5).

Walaupun demikian, manusia diharuskan untuk berikhtiar (berusaha) dibalik ketetapan takdir Tuhan. Ikhtiar (usaha) sangat dibutuhkan karena keterbatasan pengetahuan manusia akan hakikat tersebut. Upaya-upaya yang dianjurkan oleh pemerintah dan medis harus tetap dilakukan. Ini-lah salah satu inti ajaran islam, yang selalu berjalan dalam kemoderatan, keseimbangan antara takdir dan ikhtiar.  Al-Qur’an menuturkan: “.. Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada sesuatu kaum, hingga kaum itu merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Q.S. al-Anfāl/8: 53). Ayat lainnya: “.. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri..” (Q.S. al-Ra’d/ 13: 11).

Dengan demikian, Covid-19 telah mengajarkan kepada kita akan hakikat kematian. Tidak hanya kematian jasad/ jiwa manusia, akan tetapi kematian kosmos/ alam. Melalui perantaraan virus ini, Tuhan telah mencabut banyak (ribuan) nyawa manusia. Demikian juga, melalui virus ini, Tuhan menghentikan beberapa aktivitas kosmos. Misalnya, bandara dan pelabuhan ditutup. Jumlah penumpang transportasi dibatasi. Manusia dilarang berkerumun. Aktifitas kerja dan mengajar dilakukan dari jauh (work at home). Beberapa perusahaan melakukan pengurangan jumlah karyawan dan PHK. Dan sebagainya. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, pengaruh ketidakpastian lamanya masa lock down ini, menyebabkan berapa banyak jenis usaha yang tidak mampu bertahan lagi sehingga semakin meningkatnya jumlah pengangguran. Hal ini belum diperhitungkan, efek sosial apa saja yang kemungkinan akan terjadi pasca pandemi.

Selanjutnya, falsafah kematian yang terkandung dalam pandemi Covid-19 juga harus ditarik ke dalam diri kita. Kita harus berupaya, berjuang dan mujāhadah mematikan sifat-sifat tercela dalam diri kita. Sifat-sifat yang baik (akhlak karimah) tidak akan hidup dalam diri kita selama sifat-sifat tercela tidak dimatikan.Ada sebuah keterangan hadis yang menyatakan: “Mati-lah sebelum kamu mati (mūtū qabla an tamūtū)”.  Sifat pemurah tidak akan hidup jika tidak didahului matinya sifat bakhil. Sifat cinta, kasih sayang kepada sesama tidak akan hidup jika tidak didahului matinya sifat pemarah, dendam, hasud, iri dan dengki. Dan sebagainya. Salah satu tujuan ajaran agama islam adalah melahirkan generasi yang berakhlak karimah. Nabi  bersabda: “Saya diutus semata-mata untuk menyempurnakan akhlak/ innmā buithtu li utammima makārima akhlāk”; “Berakhlak-lah dengan dengan akhlak Allah/ takhallaqū bi akhlāqillāh”.

Melalui tadabur semacam ini, kita harus lebih berempati terhadap derita dan kesusahan saudara (kawan-kawan) kita yang terkena dampak Pandemi. Lebih aware terhadap perilaku hidup sehat dan menjaga kebersihan/ sanitasi. Sunah nabi banyak menjelaskan tentang nilai penting menjaga imunitas dan kebersihan. “Kebersihan adalah sebagian dari iman/ annaḍafatu minal īmān”.

Tentu, masih banyak lagi hikmah yang dapat kita petik melalui tadabur ayat-ayat Al-Quran. Covid-19 mengajarkan kita akan pentingnya menahan diri. Bagi penulis, physicaldistancing tidak hanya dimaknai hanya sebagai menjaga jarak fisik atau menghindari sentuhan, akan tetapi bisa dimaknai lebih dalam lagi. Yakni, ditarik ke dalam diri kita masing-masing. Physical distancing bisa dimaknai ulang sebagai menahan diri dari hal-hal yang tidak diperkenankan oleh moral dan agama. Pentingnya menyaring informasi agar tidak terbawa hoax,arus informasi dusta yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Tidak mudah terprovokasi. Dengan demikian, kita harus berada pada sikap moderat/ seimbang dalam menghadapi wabah. Satu sisi, bersikap tenang ke dalam diri. Pada sisi lainnya, bersikap waspada terhadap bahaya Covid-19. Wawallāhu a’alam bil showāb.