Jika sekarang kita mengira bahwa bunuh diri adalah salah satu perbuatan yang sangat dilarang, dahulu orang Bani Israil menjadikan bunuh diri sebagai tebusan atas kesalahan-kesalahan yang pernah mereka lakukan. Namun hal itu sudah dihapus dan digantikan dengan cara yang lebih baik. Hal ini dijelaskan dalam Q.S. An-Nisa’ (4): [29-30].
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡۚ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَنفُسَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيمٗا ٢٩ وَمَن يَفۡعَلۡ ذَٰلِكَ عُدۡوَٰنٗا وَظُلۡمٗا فَسَوۡفَ نُصۡلِيهِ نَارٗاۚ وَكَانَ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرًا ٣٠
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu
Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah
Lafadz bathil dalam ayat di atas memiliki makna sebagai suatu nama untuk hal-hal yang tidak dihalalkan oleh syariat. Bisa jadi berupa riba, ghashab, mencuri, berhianat, kesaksian palsu, mendapatkan uang dengan sumpah palsu, bahkan mengingkari kebenaran. Al-Razi dalam Mafatihul Ghaib memaknai kata batil dengan makna yang global, yakni setiap hal yang dicapai tanpa sesuai dengan koridor syariat. Maka setiap sesuatu yang tidak didapatkan tanpa legalitas syariah maka itu dinamakan bathil.
Ayat di atas menurut al-Razi dalam tafsirnya merupakan ayat yang mansuh (dihapus) menurut sebagian ulama’, karena ketika ayat tersebut diturunkan, manusia diharamkan memakan sesuatu dari seorang yang lain. Hal ini mempersulit manusia, karena dari zahir ayat, tentu hal tersebut menjadikan sedekah dan hibah menjadi dilarang.
Maka dari itu ayat tersebut dinasah (dihapus dan diganti) dengan ayat berikut:
لَّيۡسَ عَلَى ٱلۡأَعۡمَىٰ حَرَجٞ وَلَا عَلَى ٱلۡأَعۡرَجِ حَرَجٞ وَلَا عَلَى ٱلۡمَرِيضِ حَرَجٞ وَلَا عَلَىٰٓ أَنفُسِكُمۡ أَن تَأۡكُلُواْ مِنۢ بُيُوتِكُمۡ أَوۡ بُيُوتِ ءَابَآئِكُمۡ أَوۡ بُيُوتِ أُمَّهَٰتِكُمۡ أَوۡ بُيُوتِ إِخۡوَٰنِكُمۡ أَوۡ بُيُوتِ أَخَوَٰتِكُمۡ أَوۡ بُيُوتِ أَعۡمَٰمِكُمۡ أَوۡ بُيُوتِ عَمَّٰتِكُمۡ أَوۡ بُيُوتِ أَخۡوَٰلِكُمۡ أَوۡ بُيُوتِ خَٰلَٰتِكُمۡ أَوۡ مَا مَلَكۡتُم مَّفَاتِحَهُۥٓ أَوۡ صَدِيقِكُمۡۚ لَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ أَن تَأۡكُلُواْ جَمِيعًا أَوۡ أَشۡتَاتٗاۚ فَإِذَا دَخَلۡتُم بُيُوتٗا فَسَلِّمُواْ عَلَىٰٓ أَنفُسِكُمۡ تَحِيَّةٗ مِّنۡ عِندِ ٱللَّهِ مُبَٰرَكَةٗ طَيِّبَةٗۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمُ ٱلۡأٓيَٰتِ لَعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُونَ ٦١
Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama-sama mereka) dirumah kamu sendiri atau dirumah bapak-bapakmu, dirumah ibu-ibumu, dirumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudaramu yang perempuan, dirumah saudara bapakmu yang laki-laki, dirumah saudara bapakmu yang perempuan, dirumah saudara ibumu yang laki-laki, dirumah saudara ibumu yang perempuan, dirumah yang kamu miliki kuncinya atau dirumah kawan-kawanmu. Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian. Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayatnya(Nya) bagimu, agar kamu memahaminya. (Q.S. An-Nur: 61)
Namun, ulama’ yang lain menyebutkan bahwa ayat tersebut bukanlah nasih melainkan mentahshish (memberi pengkhususan). Hal ini juga sebagaimana yang dikemukakan oleh Alqamah dan Ibn Umar. Beberapa hal yang termasuk bagian dari surat An-Nisa’ (4): [29-30] ini adalah memakan harta orang lain dan memakan harta milik sendiri. Adapun yang dimaksud dengan memakan harta milik sendiri dengan batil, menurut al-Razi adalah menggunakan harta tersebut untuk kemaksiatan.
Bagian dari Q.S.An-Nisa’ di atas yang cukup menarik untuk kita bahas adalah mengenai kalimat:
إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡ
Terjadi perbedaan pendapat mengenai potongan ayat tersebut. Apakah kalimat istisna’ dalam potongan ayat tersebut merupakan istisna’ munqati’, melihat bahwa mustasna tidak merupakan bagian dari mustasna minhu. ataukah merupakan muttashil akan tetapi menyimpan kalimat:
لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل ، وإن تراضيتم كالربا وغيره ، إلا أن تكون تجارة عن تراض
Namun, selain dua pendapat tersebut, ada juga yang berpendapat bahwa lafadz illa di atas bermakna bal (بل). Jika bermakna bal maka artinya seperti ini:
لكن يحل أكله بالتجارة عن تراض
Tetapi diperbolehkan memakan hal yang bathil asalkan dilakukan dengan transaksi yang saling ridho.
Adapun pendapat mengenai istisna tersebut muttashil atau munqati’ telah dijelaskan oleh al-Razi sebagai berikut:
Apabila munqathi’ maka hal tersebut tidak ada masalah. Karena yang diinginkan dari ayat tersebut adalah sebab mendapatkannya yakni dengan cara bathil bukan dengan sebab yang lain.
Dan apabila muttasil maka terjadi pemahaman bahwa setiap hal yang diperoleh selain dengan perniagaan maka tidak sah. Maka dari itu harus ditahshish ataupun dinasah.
Lafadz an taradhin dalam ayat tersebut dimaknai oleh al-Zamakhsyari sebagai sifat dari tijarah. Dan yang dimaksud taradlin menurut Imam Hanafi adalah ridhonya penjual dan pembeli atas semua akad jual beli saat ijab dan qabul.
وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ الله كَانَ بِكُمْ رَحِيماً
Selanjutnya adalah pembahasan potongan ayat di atas. Ada beberapa interpretasi dari ayat tersebut. Yakni:
Pertama, ayat tersebut merupakan larangan untuk saling membunuh antara satu dengan yang lain. Hal ini karena lafadz anfusakum dalam ayat tersebut dimaknai dengan hadis nabi berupa:
المؤمنون كنفس واحدة
Orang-orang mukmin itu ibarat satu tubuh
Kedua, ayat tersebut mengarah kepada larangan untuk membunuh dirinya sendiri sebagaimana yang dungkapkan oleh al-Hasan. Karena dulu Allah telah memerintahkan kepada Bani Israil untuk membunuh diri mereka sendiri sebagai bentuk taubat mereka juga sebagai jalan keluar bagi kesalahan-kesalahan mereka. Namun Allah tidak memerintahkan hal itu kepada umat Muhammad karena hal itu merupakan sesuatu yang sulit dan juga larangan ini merupakan rahmat Allah kepada umat Muhammad.
Ketiga, ayat tersebut bisa dita’wil dengan adanya tayammum untuk orang yang kedinginan yang sangat. Karena kedinginan yang sangat tersebut dapat membahayakan diri sendiri bahkan bisa membunuh diri sendiri. Pendapat ini merupakan pendapat dari ‘Amr ibn Ash bahkan Rasulullah SAW pun tidak memungkiri pendapat Amr bin Ash ini.
Ayat selanjutnya adalah:
وَمَن يَفْعَلْ ذلك عدوانا وَظُلْماً فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَاراً وَكَانَ ذلك عَلَى الله يَسِيراً
Terjadi perbedaan dalam memaknai dalika (ذلك) dalam ayat tersebut. Pertama, bahwa lafadz dzalika tersebut adalah ditujukan kepada pelaku pembunuhan baik kepada saudara sesama mukmin atau kepada dirinya sendiri. Karena zamir harus dikembalikan kepada sesuatu yang paling dekat. Yakni larangan pembunuhan.
Kedua, pendapat az-Zujaj yang mengatakan bahwa zamir tersebut kembali kepada aklu al-mal bi al-batil (menggunakan harta dengan cara yang batil) dan qatl an-nafs (bunuh diri). Karena keduanya telah disebutkan dan termasuk dalam ayat.
Ketiga, pendapat Ibn Abbas yang mengatakan bahwa zamir tersebut kembali kepada semua larangan Allah yang disebutkan dalam awal surat sampai ayat tersebut.
Namun lafadz udwanan (عدوانا) dalam ayat tersebut menjadi tahshish atas aklu al-mal dan qatl an-nafs. Karena Qishas juga termasuk qatl an-nafs namun bukan udwanan melainkan haqqan. Begitu juga diyat juga termasuk aklu al-mal namun bi al-haq.
Menurut al-Qurthuby, udwanan berarti tajawuz al-Had, yakni melanggar batas. Sedangkan dzulman adalah meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Ancaman Allah dalam ayat tersebut yang dibatasi dengan kata udwanan dan dzulman adalah bertujuan untuk mengecualikan ikhwal lupa dan salah. Penyebutan dua lafadz tersebut sebenarnya memiliki arti yang berdekatan walaupun secara lafadz berbeda.
Jadi bisa disimpulkan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan memakan harta secara zalim dan membunuh saudara atau dirinya sendiri telah diancam oleh Allah akan dimasukkan kedalam neraka-Nya. Dan hal tersebut merupakan kekuasaan Allah sebagaimana dalam potongan ayat wa kaana dzalika ala Allahi yasiran. Yakni tidak ada seorangpun yang bisa menolak-Nya serta lari dari-Nya.
Wallahu a’lam.