Pada ayat sebelumnya, kita sudah membahas tentang kemuliaan al-Qur’an, hal ini sebagaimana dijelaskan Allah dalam surat al-Waqi’ah ayat 75-77. Pada ayat berikutnya, surat al-Waqi’ah ayat 78-80, Allah menerangkan sifat-sifat al-Qur’an, di antaranya al-Qur’an tidak boleh disentuh kecuali oleh orang suci. Sebagian ulama memahami maksud suci di sini adalah orang yang suci dari hadas kecil dan besar. Allah SWT berfirman:
فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ () لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ () تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Fii kitaabim maknuun. Laa yamassuhu illal muthahharuun. Tanziilum mir rabbil ‘aalamiin.
Artinya:
“Pada kitab yang terpelihara. Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. Diturunkan dari Rabbil ‘alamiin.” (QS: Al-Waqi’ah ayat 78-80)
Ada tiga sifat al-Qur’an yang disebut dalam ayat di atas: pertama, berada di tempat yang terpelihara; kedua, tidak disebut kecuali orang yang suci; ketiga, diturunkan langsung dari Allah SWT. Sifat pertama menunjukkan tempat, sifat kedua menunjukkan sosok yang dapat mengaksesnya, dan sifat ketiga menunjukkan asal usulnya.
Al-Qur’an berada pada tempat terpelihara maksudnya adalah ayat-ayatnya termaktub pada kitab yang terpelihara atau terjaga. Keterpeliharaan ini menurut Ibn ‘Asyur, tidak tepat bila diartikan secara hakikat atau dibayangkan al-Qur’an ada di sebuah peti tertutup. Sebaliknya, terpelihara ini maksudnya adalah terjaga secara kiasan. Allah sendiri yang menjaga al-Qur’an. Seluruh kata dan kalimat al-Qur’an diturunkan langsung kepada Nabi Muhammad. Manusia dan setan tidak bisa menjangkau dan ikut campur dalam proses penurunannya.
Ketika kaum kafir Quraisy menuduh ada campur tangan setan dalam al-Qur’an, Allah SWT menegaskan sifat kedua, yaitu Al-Qur’an tidak dapat disentuh kecuali oleh orang-orang yang suci. Namun, ini adalah pendapat sebagian ahli tafsir saja tentang maksud kata “orang-orang yang suci”. Para pakar fikih memiliki pemahaman yang berbeda. Dalam Madzhab Syafi’I misalnya, orang suci itu dipahami orang yang terlepas dari hadas besar dan kecil. Sebab itu, orang yang tidak memiliki wudhu, habis berhubungan intim dan mimpi basah, atau perempuan haid dan nifas, maka ia tidak diperbolehkan menyentuh al-Qur’an. Selain itu, mereka juga tidak boleh membawa Al-Qur’an. Dan bagi yang sedang hadas besar, ia juga tidak diperbolehkan membaca Al-Qur’an. Yang diperbolehkan adalah berdzikir.
Dan untuk menjawab tuduhan Al-Qur’an adalah sihir yang diciptakan tukang sihir atau tenung, dan tuduhan bahwa ia adalah syair yang dibuat seorang penyair, Allah menegaskan Al-Qur’an diturunkan dari Allah SWT. Al-Qur’an bukan buatan tukang sihir atau penyair yang memperoleh bisikan dari setan. Ibnu ‘Asyur menambahkan, keterangan ini sama dengan firman Allah ta’ala dalam surat Al-Haqqah ayat 41-43:
وَمَا هُوَ بِقَوْلِ شَاعِرٍ قَلِيْلًا مَا تُؤْمِنُونَ () وَلَا بِقَوْلِ كَاهِنٍ قَلِيْلًا مَا تَذَكَّرُونَ () تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Wamaa huwa biqauli syaa’irin qaliilam ma tu’minuun. Walaa biqauli kaahinin qaliilam ma tadzakkaruun. Tanziilum mir rabbil ‘aalamiin.
Artinya:
“Dan al-Qur’an itu bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepada-Nya. Dan bukan pula perkataan tukang tenung. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran daripada-Nya. Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam.” (QS: Al-Haqqah ayat 41-43)