Ada banyak cara Tuhan menunjukkan kelemahan manusia. Kelemahan ini penting ditunjukkan untuk membuktikkan manusia itu lemah dan tidak ada apa-apanya dibanding kekuasaan Allah SWT. Dalam surat al-Waqi’ah, Allah SWT menunjukkan kemampuan-Nya untuk menghidupkan dan mematikan manusia, menumbuhkan tumbuh-tumbuhan yang menjadi sumber makanan manusia, dan menurunkan air hujan sebagai sumber minuman. Dalam surat al-Waqi’ah ayat 68-70, Allah SWT berfirman:
أَفَرَأَيْتُمُ الْمَاءَ الَّذِي تَشْرَبُونَ () أَأَنْتُمْ أَنْزَلْتُمُوهُ مِنَ الْمُزْنِ أَمْ نَحْنُ الْمُنْزِلُونَ () لَوْ نَشَاءُ جَعَلْنَاهُ أُجَاجًا فَلَوْلَا تَشْكُرُونَ
Afaraitumul maaal ladzii tasyrabuun. Aantum anzaltumuuhu minal muzni am nahnul mungziluun. Law nasyaau ja’alnaahu ujaajan falawlaa tasykuruun.
Artinya:
“Maka terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum. Kamukah yang menurunkannya atau Kamikah yang menurunkannya? Kalau Kami kehendaki, niscaya Kami jadikan dia asin, Maka Mengapakah kamu tidak bersyukur?” (QS: Al-Waqi’ah ayat 68-70)
Fakhruddin al-Razi dalam tafsir Mafatihul Ghaib menjelaskan bahwa Allah SWT menjelaskan tentang siapa yang menurunkan air kepada manusia untuk menunjukkan Allah tidak mampu menghidupkan dan mematikan manusia, tetapi juga menjamin ketahanan hidup manusia dengan cara menyediakan makanan dan minuman.
Ibnu Asyur menambahkan, mestinya manusia bisa belajar dan memahami betapa besarnya kekuassaan Allah. Tumbuhan saja bisa hidup karena air yang notabenenya adalah benda mati. Kalau air saja bisa menumbuhkan tanaman, apalagi menghidupkan manusia yang sudah meninggal, tentu lebih mudah bagi Allah SWT.
Kata “air” dalam ayat di atas menurut Ibnu Asyur mengarah pada air hujan. Penjelasan ini didasarkan fakta air hujan menjadi sumber air minum bangsa Arab saat itu. Saking seringnya minum dari air hujan, bangsa Arab disebut dengan banu mais sama’ (anak air hujan).
Surat al-Waqi’ah ayat 68-69 ini mengajak manusia untuk berpikir dan merenungi air hujan yang menjadi minuman mereka. Apakah manusia yang menurunkannya, ataukah Allah? Dapatkah manusia menurunkan hujan sekehendak hatinya? Atau, andai manusia dapat melakukan rekayasa turunnya hujan, apakah hasil rekayasa mereka dapat sempurna?
Manusia seharusnya bersyukur akan turunnya air hujan. Manusia perlu bersyukur bahwa air hujan tidak ditahan oleh Allah untuk tetap di awan. Manusia juga perlu bersyukur bahwa air hujan diturunkan oleh Allah di berbagai tempat. Tidak hanya di laut atau di kakus, sehingga air tersebut tidak layak dikonsumsi. Rasa syukur tersebut tidak hanya soal keberadaan air saja, tapi juga sifatnya yang tawar.
Pada ayat 70 Allah menegaskan, andai Dia mau, maka Dia bisa saja jadikan air hujan menjadi asin, sehingga tidak layak diminum dan dibuat untuk mengairi tumbuh-tumbuhan. Sebab itu, Ibnu Katsir ketika menafsirkan surat al-Waqi’ah ayat 70 ini menganjurkan untuk membaca doa ketika minum air, seperti yang diajarkan Rasulullah. Doanya sebagai berikut:
“اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِي سَقَانَا عَذْبًا فُرَاتًا بِرَحْمَتِهِ، وَلَمْ يَجْعَلْهُ مِلْحًا أُجَاجًا بِذُنُوْبِنَا
Alhamdulillaahil ladzii saqaanaa ‘adzban furaatan birahmatihi, walam yaj’alhu milhan ujaajan bidzunuubinaa
Artinya:
“Segala puji milik Allah yang memberi minum kita dengan air yang tawar dan segar dengan rahmat-Nya. Dan tidak menjadikan air tersebut asin serta tidak layak dikonsumsi sebab dosa-dosa kita.”