Tafsir Surat Al-Rum Ayat 30: Islam Agama Fitrah dan Kemanusiaan

Tafsir Surat Al-Rum Ayat 30: Islam Agama Fitrah dan Kemanusiaan

Surat al-Rum ayat 30 sebagai dalil bahwa Islam sejalan dengan fitrah manusia

Tafsir Surat Al-Rum Ayat 30: Islam Agama Fitrah dan Kemanusiaan

Artikel ini akan mengulas tentang Surat Al-Rum ayat 30. Ayat ini merupakan ayat yang cukup populer sebagai prinsip fitrah agama dalam ayat-ayat moderasi beragama. Ayat ini berbicara tentang perintah Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW untuk senantiasa teguh dalam menjalani kehidupan beragama yang sedang diperjuangkan. Hal ini tidak terlepas dari konteks turunnya ayat berkaitan dengan semakin kerasnya orang-orang musyrik Mekah terhadap umat Muslim. Mari kita perhatikan bunyi dari Surat Al-Rum ayat 30:

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

Fa aqim wajhaka liddiini haniifan fithrata Allah allatii fathara an-naasa ‘alaihaa laa tabdiila likhalqi Allah dzaalika ad-diin al-qayyim wa laakinna aktsara a-naasa laa ya’lamuun.

Artinya:

“Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama dalam keadaan lurus. (sesuai) Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (itulah) Agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Surat al-Rum ayat 30)

Telah diulas di awal paragraf bahwa ayat ini adalah termasuk dalam surat Al-Rum, surat yang termasuk dalam kategori Makkiyyah menurut para mufasir. Secara garis besar, surat ini berbicara tentang keterhubungan antara keadaan manusia, peristiwa kehidupan masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang, serta hukum alam dan kemasyarakatan. Pada bunyi ayat di atas, lebih khusus Allah SWT meneguhkan hati Nabi SAW agar fokus pada tugas yang diembannya dan tidak tergoyahkan oleh penentangan yang akan terus menerus muncul.

Menurut para mufasir seperti Imam At-Thabari, al-Qurthubi, dan al-Baghawi, ayat ini menunjukkan tentang fitrah agama sebagai bagian dari fitrah kemanusiaan. Kata fitrah sendiri berarti “asal kejadian” atau “bawaan sejak lahir”, penggunaan kata ini mengisyaratkan potensi keyakinan terhadap Tuhan dalam diri setiap manusia. Karena pada hakikatnya manusia adalah makhluk lemah yang membutuhkan Tuhan sebagai sandaran kehidupan.

Ibnu Asyur dalam al-Tahrir wa al-Tanwir menjelaskan bahwa fitrah manusia adalah potensi yang diciptakan Allah SWT berupa jasad, akal, dan jiwa. Manusia, menurut Ibnu Asyur, berjalan dengan kaki dan mengambil kesimpulan dengan mengaitkan premis dengan fitrah akliahnya. Sejalan dengan penafsiran ini, al-Biqa’i berpendapat fitrah manusia sejak ia dilahirkan adalah potensi kebaikan sebagaimana anak-anak yang memiliki hati yang bersih, mudah menerima dan mematuhi petunjuk.

Dalam Tafsir Al-Mishbah, Quraish Shihab mengatakan bahwa manusia, sebagaimana makhluk-makhluk lain, memiliki fitrah yang dapat mengantarkannya menyempurnakan kekurangannya, memenuhi kebutuhannya dan mengingatkannya tentang apa yang bermanfaat atau mencelakakan hidupnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat al-Syams ayat 7-8: “Dan (demi) jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.”

Selain itu, menurut Quraish Shihab, manusia memiliki fitrah yang menunjukkan kepadanya jalan khusus dalam kehidupan. Manusia adalah makhluk yang satu jenis, tidak berbeda apa yang manfaat ataupun mudharat. Mengutip pendapat Thabathaba’i, Shihab menjelaskan bahwa dasar esensi ajaran agama adalah kemanusiaan manusia yang pada hakikatnya memiliki tujuan yang sama antara satu dengan lain, karena setiap manusia, dimana pun dan kapan pun adalah sama.

Sama seperti ketika Nabi Muhammad SAW sedang memperjuangkan kemanusiaan para budak dan kaum dhuafa yang tertindas dan terganjal oleh kekuasaaan oligarki para pembesar suku Quraish, dalam konteks Keindonesiaan, para penjajah kolonial juga telah merampas hak dan kemerdekaan rakyat Indonesia. Oleh karenanya, agama menjadi oase dan semangat bagi rakyat pada waktu itu untuk menegakkan kemerdekaan Indonesia.

Kita ingat peristiwa pada tanggal 28 Oktober 1945 ketika KH. Hasyim Asy’ari mengobarkan semangat jihad melawan penjajah, disinilah letak agama yang sesungguhnya. Agama pada hakikatnya adalah spririt perubahan dan perjuangan untuk menegakkan keadilan sesuai dengan fitrah manusia yang sama dan setara. Indonesia dengan Pancasila dan sila Ketuhanannya, mampu merebut kemerdekaan dari para penjajah.

Inilah hakikat dari fitrah agama sebagaimana tertuang dalam Surat Al-Rum ayat 30. Al-Qur’an menuntun kita selaku umat Muslim, untuk memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan. Allah SWT memerintahkan kepada kita untuk teguh dalam berjuang, tidak goyah oleh halangan apa pun. Sesuai dengan tugas dan kondisi masing-masing dari kita.

Seorang pengusaha memperjuangkan ekonomi keluarga dan ekonomi para karyawannya. Seorang pegawai negeri di berbagai institusi memperjuangkan institusi tempat ia bernaung agar terus maju dan berkembang, menjaga diri dari kelalaian tugas, dan sepenuh tenaga menjalankan tugasnya. Dan posisi-posisi lainnya yang patut diperjuangkan dalam kehidupan ini hingga nanti ajal menjemput. Kelak, apa yang telah kita perjuangkan dapat menjadi amal dan bekal bagi kita menghadap Ilahi.

Artikel ini terbit atas kerjasama dengan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI