Mudah disampaikan namun sulit untuk dilaksanakan, itulah menghargai dan menghormati makhluk Tuhan. Egoisme, nafsu, dan rakus selalu membisiki celah-celah diri manusia. Tidak jarang manusia tumbang dalam kubangan nestapa ini yang akhirnya menjadi sebab kerugian abadi bagi manusia sendiri. Oleh sebab itu, Tuhan membuat metafora yang mengandung akibat yang besar bagi pelaku kenestapaan ini, membunuh satu jiwa sama halnya membunuh seluruh jiwa manusia.
Al-Qur’an merekam pembicaraan ini dalam QS. Al-Maidah ayat 32.
مِنْ أَجْلِ ذَٰلِكَ كَتَبْنَا عَلَىٰ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا ۚ وَلَقَدْ جَاءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنَاتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ بَعْدَ ذَٰلِكَ فِي الْأَرْضِ لَمُسْرِفُونَ
Artinya: “Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi” (QS. Al-Maidah: 32).
Imam al-Baidhawi dalam Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl menjelaskan alasan mengapa gambaran tersebut digunakan. Namun sebelumnya, terkait maksud dan tafsir ayat ini, para ulama terjadi perbedaan pendapat. Imam al-Tsa’labî dalam al-Kasyf wa al-Bayân merangkum ada lima perbedaan.
Pertama, Ibnu Abbas menyebutkan barang siapa yang membunuh Nabi atau pemimpin yang adil maka seolah membunuh seluruh manusia, dan barang siapa yang menjalankan perintah Nabi atau pemimpin yang adil seolah ia menghidupkan seluruh manusia.
Kedua, Mujahid. Menurutnya, barang siapa yang membunuh jiwa berarti ia telah mengobarkan api seperti ketika hendak membakar seluruh manusia, dan barang siapa yang menyelamatkan satu jiwa maka ia menyelamatkan seluruh jiwa manusia.
Ketiga, Imam as-Sady menafsirkan dengan barang siapa yang membunuh satu jiwa maka dosanya seperti membunuh seluruh jiwa manusia, dan barang siapa yang menyelamatkan jiwa manusia dari bencana, seperti kebanjiran, maka diumpamakan ia telah menyelamatkan seluruh manusia.
Keempat, pendapatnya al-Hasan dan Ibnu Zayd. Menurutnya, yang dimaksud “seperti membunuh seluruh manusia” adalah tuntutan untuk dibalas dengan membunuh si pembunuh, dan barang siapa yang memberi maaf kepada orang yang semestinya berhak dihukum bunuh (qishash) maka ia telah menyelamatkan seluruh jiwa manusia.
Terakhir, yang kelima, pandangan Imam Qatadah dan Dhahhak, seseorang yang membunuh satu jiwa dosanya seperti membunuh seluruh manusia. Sementara orang yang mau menahan diri supaya tidak membunuh seseorang maka ia ibarat telah menyelamatkan seluruh manusia.
Dari perbedaan penafsiran tersebut, benang merah yang dapat kita petik bersama adalah supaya kita menjaga kemuliaan dan harga diri jiwa setiap individu manusia tanpa membedakan suku, bahasa, dan warna kulit.
Sementara alasan Imam al-Baidhawi terkait mengapa dibuat narasi yang seperti ini adalah supaya manusia menumbuhkembangkan semangat untuk saling menjaga kemuliaan jiwa manusia. Bukan malah saling bertikai hingga menimbulkan kebencian yang berujung kepada tidak bernilai dan berharganya jiwa manusia.
Ibnu Jarir menyebutkan, sebagaimana tercantum dalam Tafsîr al-Ma’mûn ‘Alâ Manhaj al-Tanzîl wa al-Shahîh al-Masnûn, bahwa Sulaiman bin ‘Ali bertanya kepada al-Hasan, apakah ayat ini juga berlaku bagi kita umat Nabi Muhammad? Al-Hasan menjawab, iya. Allah tidak menjadikan darah Bani Israil lebih mulia daripada darah kita.
Meskipun ayat ini menjelaskan tentang perjanjian yang Allah buat dengan Bani Israil, namun ketentuan ini juga berlaku (menjadi syariat) bagi kita sebagai umat Nabi Muhammad.
Kesimpulan, Nabi diutus sebagai rahmat bagi seluruh makhluk Tuhan (rahmatan lil ‘alamin). Dengan melihat dasar tujuan diutusnya Nabi ini, maka, meskipun QS. al-Maidah Ayat 32 ini berbicara secara spesifik tentang Bani Israil, hukum dan ketentuan ini juga berlaku dan relevan pada syariatnya Nabi Muhammad. Dengan melihat ayat ini juga, kita menyadari bahwa manusia telah dimuliakan oleh Allah. Lebih dari itu, manusia sebagai khalifah di bumi diperintahkan untuk merealisasikan tugas mulia ini, yakni memuliakan sesama manusia. Hablu minannas ini adalah manifestasi nyata dari hablu minallah. Wallahu a’lam bish-shawab.