Pada 19 Oktober 2016, saya diminta jadi pembicara dalam acara Seminar Nasional di jurusan IQT Fak. Ushuluddin UIN Bandung, bersama Dr. Mamat Salamat Burhanuddin. Temanya tentang Nilai Perdamaian dalam Tafsir Alquran Indonesia.
Diskusi tentang tradisi tafsir Alquran tak bisa dilepaskan dari dunia pesantren. Jauh sebelum berdiri lembaga pendidikan formal dan sebelum negeri ini merdeka, lembaga pendidikan pesantren telah ada dengan karakter yang khas dan unik. Sayangnya dalam konteks dunia intelektual, pesantren seringkali hanya dilihat melalui tradisi fikih dan tasawuf. Padahal, di pesantren, salah satu kitab yang dibaca dan dikaji adalah tafsir. Dan banyak orang-orang pesantren yang menulis tafsir.
Di Sunda, misalnya, KH. Ahmad Sanusi adalah contoh penulis tafsir yang lahir dan hidup dalam kesadaran pesantren. Tamsiyatul Muslimin, Raudlatul Irfan, dan Tafrij Qulub al-Mu’minin adalah contoh tafsir yang ia tulis. Ia berkawan Kartosuwiryo tapi berpisah di simpang jalan: ia mencintai tanah kelahirannya dengan peneguhan pada konsep Pancasila dan berperan aktif dalam BPUPKI.
Di Jawa, kita bisa menyebut sederet kiai penulis tafsir. Kiai Saleh Darat, salah satu mahaguru ulama nusantara, menulis tafsir Faidl al-Rahman dan Hidayah al-Rahman dengan aksara Pegon. Penghulu Tafsir Anom, murid kiai Saleh Darat, menulis Tafsir Al-Quran al-Karim. H.Raden Muhammad Adnan, putra Tafsir Anom, menulis Tafsir Suci Boso Jawi. Para guru di Manbaul Ulum, seangkatan mbah Adnan, juga melahirkan kitab Tafsir, yaitu Ustadz Imam Ghazali menulis Tafsir al-Balagh dengan aksara Pegon dan Bagus Ngarpah menulis Quran Jawen dengan aksara honocoroko.
Masih di Solo, KH. Muhammad bin Sulaiman, seorang kiai hamil al-Quran yang sanad ilmu Qurannya diperoleh dari mbah Munawwir Krapyak, menulis tafsir Jami’ al-Bayan berbahasa Arab lengkap 30 juz. Tafsir ini, hingga kini dibaca sebagai bahan ngaji di pesantren Brabu Grobogan.
Bergeser ke pesisir utara, banyak kiai pesantren menulis tafsir. Di antaranya adalah Mbah Bisri Mustafa, abahnya Gus Mus, dan Misbah Mustafa, adik kandung mbah Bisri. Mbah Bisri menulis tafsir Al-Ibriz dan sebelumnya pada era 1950 beliau telah menulis tafsir Surah Yasin. Adapun mbah Misbah menulis tafsir Al-Iklil fi Ma’ani al-Tanzil dan Tajul Muslimin. Kedua bersaudara ini, meskipun kadang berbeda pendapat dalam beberapa hal, tak diragukan adalah orang yang mencintai tanah airnya.
Di Kediri, kiai Yasin Asmuni, dengan dilengkapi makna gandul, juga menerbitkan beberapa kitab tafsir. Dari tangan dia, lahir penerbitan kitab dengan model “pethukan”‘: istilah untuk menyebut edisi kitab cetak yang dilengkapi dengan makna gandul.
Yang saya kemukakan di atas sekadar contoh. Masih banyak lagi karya tafsir yang lahir dari tangan kiai dalam denyut nadi pesantren di berbagai wilayah Indonesia.
Di tengah arus gerakan revolusi menghadapi penjajah, kiai pesantren di samping mbalah kitab di langgar dan pesantren kepada para santrinya, juga turun langsung mengambil peran di garda depan melawan penjajah. Lebih dari itu, di tengah keterbasan yang terjadi, mereka juga menulis beragam kitab, termasuk kitab tafsir.
Para kiai pesantren telah berhasil mempersatukan rakyat yang berserak dan tercabik akibat penjajahan dalam rumah bernama Negara Republik Indonesia dengan tanpa mengesampingkan nilai-nilai Islam. Dan fakta ini tak bisa dibantah. Mereka begitu mencintai tanah kelahirannya, sebagaimana mereka mencintai kedua orangtuanya dan para gurunya.
Jazirah Arab yang dulu pernah dipersatukan dengan kesadaran keadaban oleh Nabi saw., kini tercabik cabik, karena ego politik dan kepentingan kapital politik dan ekonomi dunia.
Terima kasih untuk para kiai di pesantren yang telah mendarmakan ilmu dan hidupnya untuk negara dan agama, meski namamu masih samar samar terlihat dalam buku sejarah nasional.
Selamat hari santri. Lahumul fatihah.[]