Pada buku yang berjudul Seri Materi Tauhid for the Greatest Happiness: Tauhid dan Jihad, Abu Sulaiman Aman Abdurrahman memasukkan tindakan kebencian dan permusuhan terhadap pelaku-pelaku syirik sebagai makna dari keimanan kepada Allah.
Pada buku yang selesai ditulis pada Ramadhan 1427 H atau sekira Oktober-November 2006 M dan selesai diedit pada Shafar 1429 H atau sekira Februari-Maret 2008 M, Aman melakukan provokasi dengan pernyataannya, “Orang yang tidak membenci dan tidak memusuhi pelaku syirik adalah orang yang tidak beriman kepada Allah.” (Aman, 1429-2008 M: 31).
Lebih jauh Aman mengatakan, “Falsafah yang mengajarkan agar tidak membenci atau memusuhi ajaran agama lain adalah falsafah kafir. Sistem yang menyamakan semua ajaran agama adalah sistem syirik. Orang yang bertauhid pasti membenci dan memusuhi pelaku syirik meskipun ayah sendiri atau anak sendiri.” (Aman, 1429-2008 M: 31).
Sebagai pendukung pernyataannya, Aman mengutip Surat Al-Mumtahanah ayat 4 dan Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab, pendiri ajaran teologi salafi-wahabi.
وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
Artinya:
“Dan tampaklah antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian selama-lamanya sehingga kalian beriman kepada Allah saja…” (Surat Al-Mumtahanah ayat 4).
Adapun pernyataan Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab yang dikutip Aman adalah, “Sesungguhnya orang tidak tegak dien dan keislamannya meskipun dia mentauhidkan Allah dan meninggalkan syirik kecuali dengan cara memusuhi para pelaku syirik…” (Aman, 1429-2008 M: 31).
Dari keterangan yang dikemukakan di atas, kami memahami bahwa Aman sebenarnya ingin menjelaskan konsep “Al-Bara” yang cukup terkenal dalam doktrin teologi salafi-wahabi. Al-bara bermakna berlepas diri dari kekufuran/kemusyrikan dan tindakan orang-orang musyrik.
Kata ini diambil dari Surat Al-Mumtahanah awal ayat 4 yang juga dikutip oleh Aman. Tetapi Aman tidak sendiri. Sekian ustadz memahami al-bara sebagai permusuhan dan kebencian terhadap non-muslim, bahkan terhadap muslim yang tidak sejalan dengan kelompok mereka.
Sebagai sebuah premis atau proposisi, pandangan Aman dapat kita maklumi karena penggalan Surat Al-Mumtahanah ayat 4 memang berbunyi demikian. Tetapi bila dianggap sebagai sebuah simpulan dan memang diamksudkan demikian oleh Aman, kita tidak dapat menerima. Kami akan mengajukan beberapa argumentasi penolakan tafsir kebencian Aman Abdurrahman.
Pertama, kita dapat menolak penggalan ayat yang diajukan Aman Abdurrahman sebagai dalil kebencian dan permusuhan karena ayat itu adalah kutipan pernyataan Nabi Ibrahim AS yang ditujukan kepada orang-orang musyrik di zamannya.
Di sini Aman menyalahi kaidah tafsir para ulama sebagai pewaris para nabi. Penempatan ayat ini sebagai dalil permusuhan dan kebencian cukup lemah karena ayat ini bersifat cerita nabi pada masa lalu yang tergolong ke dalam ayat mutasyabih (ayat yang samar), bukan ayat muhkam (ayat yang jelas) yang dapat dijadikan dasar hukum.
Berikut ini kami kutip lengkap Surat Al-Mumtahanah ayat 4:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ إِلَّا قَوْلَ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ وَمَا أَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ رَبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
Artinya:
“Sungguh ada keteladanan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengannya ketika mereka berkata kepada kaumnya, ‘Sungguh, kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah. Kami mengingkari (kekafiran)mu. Telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian selamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja,’ kecuali perkataan Ibrahim kepada ayahnya, ‘Sungguh, aku akan memohonkan ampunan bagimu, namun aku sama sekali tidak dapat menolak sedikitpun (siksa) Allah bagimu.’ ‘Tuhan kami, hanya kepada-Mu kami bertawakal. Hanya kepada-Mu kami bertobat. Hanya kepada-Mu pula kami kembali,’” (Surat Al-Mumtahanah ayat 4).
Kedua, Aman menyisipkan dan mengobarkan semangat permusuhan dan kebencian terhadap orang musyrik. Padahal, ayat ini mengangkat pernyataan Nabi Ibrahim AS bahwa orang beriman dan orang musyrik di zamannya telah diselimuti permusuhan dan kebencian. Kita tidak menemukan kata perintah untuk memusuhi orang musyrik pada ayat ini. Lalu dari mana Aman meniupkan semangat kebencian dan permusuhan?
Dalam kajian dasar hukum Islam atau ushulul fiqh, ayat itu tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk bertindak karena ayat itu tidak mengisyaratkan perintah (amr) dan larangan (nahi) atas sebuah tindakan. Sekali lagi, Aman menyalahi kaidah istinbathul ahkam atau kaidah penetapan hukum Islam dari sumbernya.
Ketiga, Aman melakukan pemutlakan semangat kebencian dan permusuhan terhadap semua orang kafir. Ini kesalahan fatal Aman melalui pemenggalan ayat atau pembacaan satu ayat tanpa menimbang ayat Al-Qur’an atau seumber hukum lain sebagai dalil syari’.
Aman Abdurrahman tidak mau tahu. Pokoknya, orang musyrik adalah orang kafir. Orang kafir tidak bertauhid kepada Allah. Orang yang tidak bertauhid wajib dibenci dan dimusuhi. Orang yang tidak bertauhid seperti apa? Pokoknya semua orang yang tidak bertauhid menurut Aman Abdurrahman, tidak peduli agresif atau ramah terhadap umat Islam.
Di sinilah bahayanya melakukan penafsiran Al-Qur’an tanpa mengindahkan kaidah-kaidah dalam ulumul qur’an dan ushul fiqh. Bayangkan, apakah yang dilakukan Aman tidak sama bahayanya dengan penggalan ayat “Wailul lil mushallin” atau “Celakalah bagi orang yang melakukan shalat” tanpa membaca terusannya?
Padahal kalau saja Aman mau membaca lanjutan ayat itu, yaitu Surat Al-Mumtahanah ayat 7 dan 8, niscaya Aman tidak akan memiliki kesimpulan ugal-ugalan dan akan bersikap lebih adil dalam menilai. Tetapi lagi-lagi, Aman Abdurrahman tidak sendiri. Ada sekian banyak orang yang berkesimpulan serupa.
Pada ayat lanjutan dari yang dikutip Aman, kita menemukan tafsil atau rincian yang menjadi sejenis pengecualian. Surat Al-Mumtahanah ayat 7 mengamanatkan agar umat Islam berbaur dengan orang-orang musyrik Makkah sehingga terbangun mawaddah atau cinta kasih dan simpati satu sama lain.
Surat Al-Mumtahanah ayat 8 mengamanatkan dengan jelas tindakan kebaikan kepada orang-orang musyrik Makkah yang tidak menzalimi umat Islam. Berikut ini kami kutip Surat Al-Mumtahanah ayat 7-8:
عَسَى اللَّهُ أَنْ يَجْعَلَ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ الَّذِينَ عَادَيْتُمْ مِنْهُمْ مَوَدَّةً وَاللَّهُ قَدِيرٌ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ * لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Artinya:
“Semoga Allah menimbulkan kasih saying di antara kamu dengan orang-orang yang pernah kamu musuhi di antara mereka. Allah mahakuasa. Allah maha pengampun, maha penyayang. * Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang (musyrik) yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusirmu dari kampong halamanmu. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil,” (Surat Al-Mumtahanah ayat 7-8).
Imam Al-Baghawi dalam karya tafsirnya Ma’alimut Tanzil fit Tafsir wat Ta’wil mengutip cerita Muqatil perihal ayat ini. menurut Muqail, ketika Allah memerintahkan ornag beriman untuk memusuhi orang kafir, orang beriman memusuhi kerabat-kerabat mereka sendiri yang musyrik dan menyatakan permusuhan dan bara’ah terhadap mereka. Allah mengetahui kekerasan sikap orang yang beriman. Allah kemudian menurunkan Surat Al-Mumtahanah ayat 7. Lalu Allah memberikan keringanan untuk bersikap adil dengan kebaikan terhadap orang musyrik yang tidak memusuhi dan mengusir orang yang beriman seperti yang dimanahkan dalam Surat Al-Mumtahanah ayat 8.
Menurut sahabat Ibnu Abbas, pakar tafsir di kalangan generasi sahabat Rasulullah, Surat Al-Mumtahanah ayat 8 ini turun mengenai Bani Khaza‘ah yang mengadakan perjanjian damai dengan Nabi Muhammad SAW. Mereka berjanji tidak akan memerangi Nabi Muhammad SAW dan tidak akan menolong pihak lain yang memusuhi Rasulullah SAW. Kepada mereka, Allah mengizinkan umat Islam untuk berbuat baik. (Al-Baghowi).
Kita juga mengetahui riwayat di mana Asma binti Abu Bakar RA yang meminta pandangan Rasulullah perihal kedatangan ibunya untuk membawakan makanan yang saat itu masih sebagai musyrik Makkah. Rasulullah mengizinkan Asma untuk menerima ibunya yang saat itu juga keras memusuhi umat Islam.
Dari sini kemudian ulama membagi empat jenis kekafiran secara teologis, yaitu kufur inad, kufur juhud, kufur inkar, dan kufur nifaq. Ulama juga membagi orang kafir secara politis ke dalam empat jenis, yaitu kafir harbi, kafir dzimmi, kafir mu‘ahad, dan kafir musta’man.
Keempat, Aman sekali lagi melakukan penafsiran ugal-ugalan. Aman mengobarkan tafsir permusuhan dan kebencian dengan bermodal penggalan Surat Al-Mumtahanah ayat 4 terhadap orang-orang beriman yang berziarah kubur yang menurut penilaiannya sebagai orang musyrik. Padahal dalam hadits shahih kita menemukan anjuran ziarah kubur untuk mengingat kematian.
Kecuali orang-orang yang benar musyrik, Aman juga memasukkan orang-orang beriman yang menerima dan mengikuti sistem demokrasi dengan pelbagai instrumennya (parpol, simpatisan, polisi, anggota dewan) sebagai orang-orang musyrik yang wajib diperangi dan dimusuhi karena telah menggunakan hukum selain hukum Allah; sebuah kalimat klise; kalimat hak yang ditujukan untuk kepentingan batil kata Sayyidina Ali.
Aman perlu banyak melakukan kajian ulumul qur’an dan ushul fiqih, sebuah perjalanan panjang, meski tidak ada kata telat untuk belajar. Tetapi Aman sebaiknya berkata yang baik atau diam daripada mengobarkan tafsir kebencian dan permusuhan.
Untuk membantu merenung atas tindakan dan tafsir-tafsir konyolnya, kalau ada waktu Aman Abdurrahman dapat membaca novelet karya agung Miguel de Cervantes yang mengangkat petualangan gila aktor utamanya, Don Quixote. Dengan aksinya yang membuat repot banyak orang, Don Quixote merasa seorang kesatria, pembela kebenaran yang dapat menyelematkan dunia dari cengkeraman kezaliman.
Tanpa perlu malu dan gengsi, Aman boleh tertawa terpingkal-pingkal membaca novel pendek The Adventures of Don Quixote atau Petualangan Don Quixote tersebut menyaksikan kekonyolan satu orang atas imajinasi liarnya yang menyusahkan masyarakat umum.