Kekeliruan Pandangan Tauhid Aman Abdurrahman dalam Buku Materi Tauhid for the Greatest Happiness

Kekeliruan Pandangan Tauhid Aman Abdurrahman dalam Buku Materi Tauhid for the Greatest Happiness

Buku seri Materi Tauhid karya Aman Abdurrahman ini menjadi salah satu inspirasi kelompok radikal, tapi di dalamnya banyak kekeliruan dan kesalahan dalam memahami teks-teks agama, berikut penjelasannya

Kekeliruan Pandangan Tauhid Aman Abdurrahman dalam Buku Materi Tauhid for the Greatest Happiness
Seri Materi Tauhid karya Aman Abdurrahman

Seketika menerima buku absurd tulisan Abu Sulaiman Aman Abdurrahman yang berjudul Seri Materi Tauhid for the Greatest Happiness: Tauhid dan Jihad, mata saya tertuju pada bab keimanan kepada Allah. Saya penasaran dengan konsep keimanan yang selama ini diyakini oleh Aman Abdurrahman, pengikut, dan orang sejenisnya.

Lebih dalam lagi, saya membuka sub-bab di dalamnya perihal manifestasi keimanan kepada Allah, “Engkau mencintai dan loyal (wala) kepada orang yang bertauhid.” Dalam buku yang selesai ditulis pada Ramadhan 1427 H atau sekira Oktober-November 2006 M dan selesai diedit pada Shafar 1429 H atau sekira Februari-Maret 2008 M, saya menemukan Surat Al-Hujurat ayat ayat 10 yang menyatakan persaudaraan di kalangan orang mukmin dan Surat At-Taubah ayat 71 perihal loyalitas (wala) sebagian umat Islam satu sama lain.

Sampai pada judul sub-bab saya kira tidak ada masalah. Tetapi pertanyaan saya kemudian siapa orang bertauhid yang dimaksud Aman? Di sana Aman menjelaskan secara singkat tanpa mengutip satu pun tafsir karya ulama yang telah diakui dan teruji dalam keilmuan di bidangnya. Aman hanya mengatakan, “Orang yang beriman kepada Allah pasti mencintai dan loyal kepada orang yang bertauhid karena mereka memiliki ikatan persaudaraan di atas dien ini… Oleh sebab itu, tidak mungkin orang mukmin mendukung orang-orang kafir dalam rangka menghancurkan kaum muslimin karena itu bertentangan dengan wala’ (loyalitas) terhadap kaum muslimin.” (Aman, 1427 H: 31).

Saya merujuk pada sub-bab sebelum dan sesudahnya perihal kriteria ahli tauhid. Betapa terkejutnya saya ketika Aman mengutip Syekh Muhammad bin Abdul Wahab (pendiri ajaran wahabi di Saudi) yang menyatakan bahwa keislaman dan tauhid seseorang tidak akan dianggap sah kecuali dengan memusuhi orang beriman yang berbuat kemusyrikan (termasuk sistem syirik) meski ayah dan anak sendiri. Dari sini Aman menutup bab dengan sebuah motivasi gila, “Raihlah iman dengan cara memusuhi para pelaku syirik,” (Aman, 1427 H: 31).

Adapun pada sub-bab sebelumnya Aman mendefinisikan ahli tauhid sebagai orang yang memurnikan keesaan Allah dari segala bentuk kemusyrikan dalam penyembahan. Aman secara harfiah menyebut para peziarah sebagai ubbadul qubur atau penyembah kubur, pemohon kepada orang yang telah meninggal, pengusung demokrasi sebagai hukum thagut, pendukung upacara sesajen serta tumbal, dan para simpatisan partai politik dalam negara demokrasi. (Aman, 1427 H: 29).

Menurut Aman, para penyembah kubur atau ubbadul qubur adalah orang-orang yang mengaku Islam, shalat, zakat, shaum (puasa), haji, dan lain sebagainya, tetapi masih suka meminta kepada orang yang sudah mati, terutama orang shalih atau wali. Ubbadul qubur adalah kaum musyrikin. Dari sana, Aman menyimpulkan bahwa orang Muslim yang telah berbuat syirik seperti para penyembah kubur dan simpatisan apalagi pengurus partai politik sudah tidak dapat dianggap sebagai orang beriman. Ia juga mengutip Syekh Ali Khudair yang entah apa kedudukannya dalam disiplin pengetahuan terkait masalah ini. (Aman, 1427 H: 30).

Keterangan ini baru dapat menjawab siapa ahli tauhid murni dan siapa orang bertauhid yang telah berbuat musyrik di kepala Aman Abdurrahman dan kelompoknya. Sampai di sini saya beristighfar. Masya Allah, luar biasa sosok Aman Abdurrahman. Ia mencoba mengecilkan jumlah umat Nabi Muhammad SAW dari yang sangat banyak hingga pada kelompoknya saja.

Di mana kekeliruan Aman Abdurrahman? Banyak. Sejak awal, maksud saya sejak dalam pikiran, dia sudah banyak salah, keliru, fatal, dan curang. Banyak sekali. Aman lebih sering menafsirkan sendiri ayat Al-Qur’an sesuai ideologi yang dikembangkannya. Ia juga mengutip orang-orang yang tidak pernah diakui sebagai ulama atau ahli di bidang keilmuannya. Aman kerap menampilkan ayat Al-Qur’an secara tidak utuh.

Ia memotong misalnya Surat Al-Hujurat ayat 10 bahwa orang beriman itu bersaudara untuk kepentingan konsolidasi internal kelompoknya dan menciptakan musuh bayangan. Bagi Aman, orang beriman adalah orang bertauhid. Aman mengandaikan mereka sebagai satu kelompok yang homogen. Padahal ayat tersebut secara utuh justru meniscayakan heterogenitas sosial umat Islam yang terfragmen ke dalam pelbagai jenis kelompok sosial, dan juga politik.

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Artinya:

“Orang beriman itu bersaudara. Damaikanlah dua saudaramu. Takutlah kepada Allah agar kamu mendapat limpahan rahmat,” (Al-Hujurat ayat 10).

Aman menafsirkan ayat tanpa merujuk pada tafsir ulama salaf. Ia tidak memiliki sanad atau mata rantai keilmuan dalam penafsiran Al-Qur’an yang menjadi jantung dari agama. Karena tanpa sanad, setiap orang dapat berkata apa saja dalam urusan agama sebagaimana riwayat Muslim dari Ibnul Mubarak. Aman lebih memilih menjadi orang yang disebut dalam hadits nabi sebagai orang yang menafsirkan Al-Qur’an dengan hawa nafsunya dengan ganjaran neraka.

Sebagai contoh, saya akan mengutip Tafsir Ma‘alimut Tanzil fit Tafsir wat Ta’wil karya Imam Al-Baghawi terkait Al-Hujurat ayat 10 dan ayat sebelumnya yang justru akan bertentangan dengan kampanye takfir Aman Abdurrahman terhadap keragaman aspirasi politik. Menurut Al-Baghawi, Al-Hujurat ayat 9-10 adalah dalil bahwa tindakan baghyi (pembelotan dari pemerintah yang sah) tidak mengeluarkan seseorang dari keimanan. Allah menamai dua kelompok Islam yang berseteru sebagai orang beriman.

Dalil penguat lainnya adalah pandangan Sayyidina Ali RA ketika ditanya perihal keimanan pasukan Ahlul Jamal dan Shiffin di mana umat Islam ketika itu terfragmentasi berdasarkan preferensi politik. Apakah mereka masuk dalam kategori musyrik? “Tidak. Mereka lari dari kemusyrikan,” kata Sayyidina Ali. Apakah mereka kalangan munafik? “Kelompok munafik tidak menyebut asma Allah kecuali sedikit,” kata Ali. Lalu mereka mau ditempatkan sebagai apa? “Mereka adalah saudara kita yang bertindak melewati batas terhadap kita,” kata Sayyidina Ali RA.

Lalu apa jawaban Sayyidina Ali RA dalam menghadapi klaim-klaim sepihak keimanan oleh sekelompok Muslim? Ketika mendengar teriakan (kelompok khawarij) di sudut masjid, “Tidak ada hukum kecuali hukum Allah,” yang maksudnya mengkafirkan Sayyidina Ali dan kelompok muslim di luar kelompoknya, sahabat yang disebut sebagai gerbang ilmu pengetahuan oleh Rasulullah ini menyatakan, “Kalimatu haqqin urida biha bathil atau kalimat hak yang dilontarkan dengan tujuan kebatilan. Tetapi kami masih menjamin 3 hak kalian, yaitu kami takkan melarang kalian untuk memasuki masjid demi mengangungkan asama-Nya, kami tidak akan menarik tebusan dari kalian selama kita masih memegang terguh perjanjian, dan kami tidak akan memulai untuk memerangi kalian.” (Al-Baghowi).

Sepintas kita melihat Aman sebagai orang yang sangat setia dan loyal terhadap Islam karena ingin memurnikan tauhid dengan kaffah. Tetapi sebenarnya, yang kita saksikan justru kefanatikan Aman terhadap dan interpretasi agama daripada ajaran agama secara menyeluruh seperti bagaimana Ia menuhankan orang-orang yang dia kutip karena menganggap pandangan mereka mutlak kebenarannya.

Sejak dalam pikiran, Aman sudah kebelinger atau curang. Ia tidak terbiasa berpikir secara tertib. Logikanya melompat-lompat tanpa aturan, kusut. Ketidakmatangan logika ini diperparah dengan emosional yang tidak stabil. Dia tidak pernah membangun sebuah konklusi atas pandangannya di atas dasar premis dan proposisi yang kokoh dan teruji. Di sini pangkal kusutnya logika Aman.

Aman mencoba melakukan analogi atau qiyas dalam bahasa agama. Ia mencoba menganalogikan berhala di zaman jahiliyah dan orang-orang mati di dalam kubur serta partai politik dan sistem demokrasi. Tidak main-main. Dalam kajian ushul fiqih, mereka yang boleh melakukan qiyas adalah orang yang memiliki intelektualitas setara mujtahid karena qiyas merupakan aktivitas ijtihad atau aktivitas intelektual. Banyak sekali langkah yang harus dilalui untuk mengoperasikan qiyas agar menemukan simpulan yang mendekati kebenar. Tetapi Aman datang dengan nekat. Seperti sopir amatir yang mengemudikan kendaraan secara ugal-ugalan, Aman tanpa ba-bi-bu memastikan orang berziarah melakukan permintaan kepada ahli kubur, lalu menyimpulkan bahwa peziarah adalah orang beriman yang musyrik dan harus diperangi meski kerabat.

Saya yakin, Aman bukan orang yang memiliki pengalaman diskusi yang baik di mana susunan premis dan proposisi yang kita lontarkan diuji di publik. Oleh karenanya, Aman dalam hal ini lebih layak disebut sebagai pendongeng yang absurd dan paradoks. Salah satu prinsip qiyas yang tidak boleh diabaikan adalah tahqiqul manath atau verifikasi. Bagaimana bisa menyebut para peziarah sebagai ubbadul kubur atau penyembah kubur?

Tetapi dengan logika yang sama, Aman tidak menyebut mereka yang shalat dan thawaf di Masjidil Haram sebagai penyembah Ka’bah? Tetapi bukan Aman Abdurrahman kalau tidak nekat. Pokoknya, siapapun asal peziarah kubur dan simpatisan parpol sebagai satu elemen dalam negara demokrasi harus dihancurkan. Apakah dalam kesendirian dan kesunyian Aman tidak pernah membaca kembali pandangan dan sikapnya yang absurd? Bagaimana pandangan dia terhadap sesuap nasi atau seteguk air putih yang menunjang kehidupannya? Apakah keduanya tetap dianggap berhala yang membuat orang yang tidak bisa lepas dari nasi dan air putih sebagai seorang musyrik?

Aman meninggalkan sikap Nabi Muhammad SAW sebagai bayan af’al, sikap sebagai penjelasan atas Al-Qur’an karena bayan itu menjadi dasar praktik beragaman seperti shalat, puasa, haji, dan lain sebagainya. Sebagai seorang “mujtahid” ugal-ugalan, Aman tentu harus memahami relasi ayat Al-Qur’an dan hadis. Bagaimana sikap Nabi Muhammad SAW terhadap kekufuran orang munafik Madinah? Rasulullah dan para sahabat sama sekali menahan diri untuk tidak menyakiti mereka yang jelas kufur dan lebih berbahaya daripada orang musyrik Mekah. Oleh karenanya, ulama menyimpulkan bahwa pemerintah tidak boleh mengeksekusi orang lain karena keimanannya hanya berdasarkan pengetahuan pribadinya, apalagi seorang Aman yang begitu bernafsu terhadap orang “musyrik” hanya karena halusinasinya.

Sikap Rasulullah terhadap orang kafir yang munafik dapat kita temukan pada Tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an karya Al-Qurthubi pada Surat Al-Baqarah ayat 10.

Tindakan Aman sungguh celaka karena menafsirkan Al-Qur’an tanpa manhaj/metodologi para ulama dan tanpa sanad keilmuan yang jelas. Aman Abdurrahman harus ingat bahwa sepeninggal Nabi Muhammad SAW, para ulama merupakan ahli waris ilmu agama para nabi sebagaimana otoritas dan wewenang yang dilimpahkan Rasulullah kepada mereka. Aman Abdurrahman tidak boleh jauh-jauh dari ulama karena serigala akan memangsa ternak yang menjauh dari kawanan sebagaimana sabda Rasulullah SAW.