‘Idul Adha yang jatuh pada bulan Dzulhijjah merupakan hari raya akbar bagi seluruh umat islam sedunia. Pada bulan tersebut, umat Islam menjalankan dua momentum yang sangat bersejarah, yaitu ibadah haji dan ibadah Kurban/Nahr. Menjalankan wukuf di Arafah merupakan momentum utama dari pelaksanaan rukun Ibadah haji yang jatuh pada tanggal 9 Dzulhijjah.Adapun momentum yang kedua adalah pelaksanaan ibadah kurban yang dilaksanakan setelah ‘Idul Adha sebagaimana isyarat dalam QS.Al-Kautsar 108:2 فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ “maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah”.
Tela’ah kata Kurban menurut Abu Fida’ dalam tafsir Ruh al-Bayan terambil kata derivasi kata Qarraba-Yuqorribu-Qurbanan, yang memiliki arti nama dari sesuatu yang dipersembahkan baik berupa hewan yang dipotong (dzabihah) maupun sedekah yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Kata kurban sendiri secara ekplisit disebutkan pada QS. Al-Ma’idah 5: 27, yaitu ketika menceritakan kisah kedua putra Nabi Adam As yang bernama Habil dan Qabil yang sedang menyoal mengenai perjodohan di antara keduanya. Sehingga untuk melerai pertikaian di antara kedua putranya, Nabi Adam As mendapat wahyu untuk memerintahkan kepada keduanya supaya melakukan ibadah kurban.
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ ۖ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
Artinya: Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!”. Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa”.
Pada kitab tafsir Ruh al-Bayan tersebut dijelaskan bahwa persembahan kurban pada waktu itu menggunakan dua media, yaitu pertama, Habil, berkurban dengan hewan ternak kambing yang terbaik di antara hewan-hewan yang lain, sedangkan yang kedua, Qabil, berkurban dengan menggunakan hasil panen kebunnya, hanya saja yang dipersembahkan hasil tanaman yang paling jelek. Alhasil, persembahan kurban dari keduanya yang diterima adalah kurban dari Habil, sang adik.
Satu riwayat dari Said ibn Jabir menceritakan bahwa tanda-tanda ibadah kurban yang diterima oleh Allah Swt pada tempo dulu adalah turunnya Api tanpa uap/asap dari langit kemudian api tersebut menyelimuti korban hewan kambingnya Habil dan selanjutnya diangkat ke dalam surga. Alkisah, kambing tersebut yang dipelihara di surga hingga menjadi tebusan (fida’) ketika proses berkurbannya Nabi Ibrohim As atas anaknya Isma’il.
Di sisi lain, kata kurban terambil dari kata Nahr dalam bentuk imperatif sebagaimana termaktub dalam QS. Al-Kautsar 108: 2. Menurut para mufassir dalam menafsiri kata Nahr memiliki banyak takwil, di antaranya dalam kitab Ibn Katsir disebutkan bahwa Abu Ja’far al Baqir mengartikan Nahr dengan mengangkat kedua tangan ketika permulaan takbir dalam sholat. Sayyidina Ali juga hampir sama memberi makna yang serupa, yaitu meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri pada sebelah atas dada dalam sholat. Hanya saja, pendapat di atas menurut Ibn Katsir adalah pendapat-pendapat (aqwal) yang asing, sehingga pemaknaan kata nahr yang tepat adalah dzabh al-manasik yang berarti pemotongan hewan ibadah kurban.
Penafsiran kata Nahr dengan makna pemotongan hewan kurban berdasar pada satu riwayat hadits bahwa suatu hari Rasulullah Saw melakukan sholat Idul Adha kemudian setelah selesai beliau melakukan penyembelihan hewan korban setelah itu Nabi Saw berkata; “Barang siapa yang melakukan sholat sebagaimana yang kami lakukan dan setelah itu menyembelih hewan kurban sebagaimana yang kami jalankan, maka ia memperoleh pahala ibadah kurbannya, namun barang siapa yang melakukan penyembelihan hewan kurban sebelum sholat ‘id maka tiada pahala kurban baginya”.
Dari dua akar kata tersebut cukup kiranya untuk menjadi refrensi dalam pelaksanaan ibadah kurban, meskipun pensyari’atan ibadah kurban lebih kentara pada kisah Nabi Ibrahim As yang terdapat pada QS. Al-Mu’minun 23: 101-107, yaitu perintah untuk mengorbankah salah satu putranya, yaitu Isma’il As dengan melalui ru’yah shodiqoh (mimpi yang benar) pada dua hari menjelang ‘Idul Adha. Sehingga Syaikh Nawawi al-Bantaniy (w. 1316 H.) dalam kitab tafsirnya mengenal bahwa mimpi pada hari pertama dengan istilah hari tarwiyah (perenungan) dan selanjutnya mimpi pada hari kedua dikenal dengan hari Arafah (mengetahui) selanjutnya pada hari ketiga berikutnya terjadi pelaksanaan ibadah kurban (yaum Nahr).
Meskipun kesejarahan ibadah kurban terdapat beberapa versi riwayat namun patut kiranya peristiwa tersebut dijadikan uswah hasanah (teladan yang baik). Sebagai contohnya, pertama dari peristiwa diterimanya ibadah kurbannya Habil dikarenakan ketulusan hati dalam menghambakan diri kepada Allah dan memberikan harta bendanya dengan ikhlas demi mencari ridha Allah Swt.
Namun sebaliknya tidak diterima ibadah kurbanya Qobil dikarenakan ketidak patuhannya pada perintah Allah swt dan mendermakan harta bendanya yang paling jelek karena hanya karena menuruti hawa nafsunya saja. Oleh karena itu, bagi siapapun ketika hendak melakukan ibadah kurban sebaiknya menata hati dan niatnya supaya benar-benar dalam rangka mendekatkan diri karena Allah Swt bukan karena tendensi yang lain.
Kedua ibadah kurban merupakan bentuk dedikasi penghambaan diri secara totalitas dalam rangka mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah Swt. Hal itu tercermin pada diri pribadi Nabi ibrohim As yang merelakan putranya Isma’il untuk disembelih karena mentaati perintah Allah Swt, meskipun dalam proses penyembelihan tersebut pada akhirnya diganti dengan seekor kambing yang diambilkan dari surga. Di samping itu, kepatuhan yang penuh juga diperlihatkan Isma’il yang menjawab secara tegas ketika mendapat perintah dari Ayahnya sebagaimana dalam QS. As-Saffat 37:101. فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ “Maka Kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar”.
Ketiga dalam ibadah kurban tercermin nilai-nilai sosial kepada sesama umat, yaitu bentuk kepedulian seseorang yang melakukan ibadah kurban untuk berbagi dalam menikmati daging hewan kurban, yaitu dengan cara membagi bagikan daging korban tersebut kepada warga masyarakat untuk dapat dinikmati pada hari lebaran Idul Adha dan hari Tasyriq (11-13 Dzulhijjah). Penerimaan daging kurban di hari raya tersebut tentunya akan memberi rasa kegembiraan yang luar biasa bagi warga masyarakat fakir dan miskin, dimana mereka belum tentu dapat menikmati lauk daging pada kehidupan kesehariannya. Maka inilah yang perlu disadari bahwa ibadah kurban bukan hanya sekedar menjalankan ibadah sunnah perintah agama , melainkan juga terdapat dimensi kepedulian terhadap sesama. Wallahhu a’lam.
Syariful Anam, penulis adalah penikmat ilmu tafsir al-Qur’an.