Hari kiamat dan kebangkitan adalah perkara yang gaib, namun Allah SWT menegaskan bahwa peristiwa itu akan benar-benar terjadi. Ada sejumlah ayat dan riwayat yang menggambarkan keadaan di hari pembalasan kelak, salah satunya jembatan (shiratal mustaqim) yang akan dilalui manusia nanti. Allah SWT berfirman:
إِنَّ جَهَنَّمَ كَانَتْ مِرْصَادًا
Sesungguhnya jahannam adalah tempat mengintai
Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah menyatakan, kata mirshada terambil dari kata rashada yang berarti menyiapkan atau mengintai, sehingga mirshad bermakna tempat yang disiapkan atau tempat mengintai. Bila kita memahaminya dengan arti kedua ini, maka ia juga bisa diartikan “jalan”.
Di akhirat kelak, ada suatu jalan atau jembatan yang diawasi oleh malaikat yang akan menanyakan setiap orang yang melewatinya. Jika berhasil lolos, maka ia akan masuk surga. Namun jika tidak lulus, ia akan terjatuh ke nereka.
Tidak ada yang tahu pasti bagaimana kondisi shiratal mustaqim kelak. Namun ada anggapan yang begitu populer di masyarakat, bahwa di akhirat ada jembatan menuju surga yang di bawahnya terdapat nereka. Jembatan tersebut sangatlah kecil dan tipis bahkan bagaikan sehelai rambut dibelah tujuh.
Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah menyatakan, anggapan tentang jembatan yang setipis rambut dibelah tujuh itu tidaklah berdasar. Mantan menteri agama ini juga menuliskan dalam bukunya, Kosakata Keagamaan bahwa pendapat tersebut juga bertentangan dengan makna kebahasaan shirat.
Baca juga: Subulus Salam dalam Shiratal Mustaqim
Dari sisi bahasa, shirat adalah jalan yang luas, semua orang dapat melaluinya, tanpa berdesak-desakan. Berbeda dengan sabil, yang artinya jalan kecil atau lorong-lorong, namun jumlahnya banyak.
Quraish Shihab sebagaimana mengutip al-Qurthubi mengemukakan, sejumlah pakar hadis menilai bahwa penyifatan shirat yang lebih halus dari rambut dan lebih tajam dari pedang tidak memiliki dasar sama sekali, artinya tidak ada riwayat yang valid mengenai penyifatan itu.
Kalaupun riwayat tersebut shahih, maka shirat lebih tepat dipahami dengan artian ia memiliki ketetapan yang pasti, tidak dapat diubah, seperti halnya pedang yang tajam, yang digunakan seseorang untuk memotong atau menebas sesuatu.
Baca juga: Rambut Rasul; Panjang atau Pendek?
Makna ini sejalan dengan firman Allah SWT:
وَإِنْ مِنْكُمْ إِلَّا وَارِدُهَا كَانَ عَلَى رَبِّكَ حَتْمًا مَقْضِيًّا
“Dan tidak ada seorang pun dari kamu, melainkan akan mendatanginya. Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan.” (QS. Maryam: 71)
Meskipun demikian, Rasulullah SAW menggambarkan, ada berbagai macam kecepatan manusia saat melewati jembatan di akhirat kelak. Sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim:
Seorang sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah jembatan itu?” beliau menjawab; “Tempat yang licin yang dapat menggelincirkan, di sana terdapat besi-besi pencakar, besi-besi pengait dan duri besi yang terbuat dari pohon-pohon berduri. Maka orang-orang mukmin akan melewatinya seperti kedipan mata, seperti kilat, seperti angin, seperti burung, seperti kuda-kuda yang berlari kencang, dan hewan tunggangan. Maka orang muslim akan ada yang selamat, ada yang tercabik-cabik tertunda dan ada yang terlempar kedalam neraka jahannam” (HR. Muslim)
Wallahu a’lam. (AN)
Penjelasan lebih lengkap bisa dibaca dalam “Tafsir Al-Misbah 15 Juz” karya Quraish Shihab.