Tafsir al-Mishbah: Membaca Ibrah dari Ayat-ayat Kematian

Tafsir al-Mishbah: Membaca Ibrah dari Ayat-ayat Kematian

Tafsir al-Mishbah: Membaca Ibrah dari Ayat-ayat Kematian
Jenazah pasien covid 19 hendak disemayamkan. Foto: tagar.id

Akhir-akhir ini, berita kematian makin sering terdengar, terlebih setelah wabah Covid-19 menyebar. Kematian memang merupakan hal yang pasti terjadi. Hanya saja, tak ada manusia yang tahu kapan ajalnya akan datang. Apabila ajal datang, maka tak ada seorang pun yang dapat menundanya. Allah Swt berfirman:

وَلَنۡ يُّؤَخِّرَ اللّٰهُ نَفۡسًا اِذَا جَآءَ اَجَلُهَا‌ؕ وَاللّٰهُ خَبِيۡرٌۢ بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ

Dan Allah tidak akan menangguhkan satu jiwa apabila telah datang ajalnya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS. Al-Munāfiqūn: 11)

Sejak jauh hari, Allah Swt telah memperingatkan bahwa manusia tidak akan dapat menangguhkan ajalnya. Apabila ketetapan itu tiba, di mana pun ia berada, meskipun di tempat yang paling aman sekalipun, kematian akan tetap menjemputnya.

Ayat ini menjadi inspirasi bagi kita untuk menyiapkan bekal sebanyak mungkin untuk kehidupan akhirat. Jangan sampai saat maut datang, kita tidak siap dan justru sedang berbuat maksiat.

Sebuah pepatah Arab berkata “Man ‘arafa bu’das safari ista’adda” (Siapa yang mengetahui jauhnya perjalanan, hendaklah ia bersiap-siap). Perjalanan hidup manusia amatlah panjang. Dunia hanyalah tempat untuk menyiapkan bekal. Sedangkan kematian adalah start memulai perjalanan panjang menuju kehidupan abadi di akhirat. Maka dari itu, orang yang telah menyadari panjangnya perjalanan di akhirat tentu akan bersiap-siap sejak jauh hati.

Andaikan kematian bisa ditangguhkan, maka manusia akan segera bersedekah

Pada ayat sebelumnya, QS. Al-Munāfiqūn: 10, Allah Swt mengingatkan manusia untuk menyedekahkan apa yang dianugerahkan kepadanya sebelum maut menjemput.

وَأَنفِقُوا مِن مَّا رَزَقْنَاكُم مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَا أَخَّرْتَنِي إِلَىٰ أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُن مِّنَ الصَّالِحِينَ

“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah kami rezekikan kepada kamu sebelum datang kepada salah satu dari kamu kematian, lalu dia berkata ‘Tuhanku, hendaklah kiranya Engkau tangguhkan aku ke waktu yang dekat supaya aku bersedekah dan aku menjadi orang-orang saleh” (QS. Al-Munāfiqūn: 10)

Perlu diketahui, sedekah yang dapat diberikan tak terbatas pada harta benda semata. Ia mencakup anugerah Allah yang luas, seperti ilmu pengetahuan, bantuan berupa kekuatan, air yang tersedia di bumi, dan lain sebagainya.

Ayat ini menunjukkan bahwa sedekah merupakan bekal yang luar biasa untuk menghadapi alam akhirat nanti. Saking dahsyatnya, seandainya ajal bisa ditangguhkan, maka manusia akan segera bersedekah sebanyak mungkin. Di sisi lain, ini juga menunjukkan bahwa harta benda bisa menjadi tanggungan yang berat di akhirat kelak. Bahkan Rasulullah Saw pun berdoa agar diwafatkan dalam keadaan miskin.

Dalam hadis riwayat al-Bukhari disebutkan bahwa saat wafat, Rasulullah Saw tidak meninggalkan satu pun dinar, dirham, budak sahaya (baik laki-laki maupun perempuan) ataupun harta lainnya. Melainkan hanya meninggalkan baghlah putih betina yang biasa ditungganginya, sebuah senjata, dan tanah yang telah beliau sedekahkan kepada ibnu Sabil.

Demikianlah, Rasulullah Saw tidak pernah menimbun hartanya. Sebab, cara terbaik untuk “membawa mati harta” adalah dengan menyedekahkannya. Dari ayat ini juga tersirat anjuran bekerja keras selama di dunia. Agar kita dapat menghasilkan rezeki dan bersedekah sebanyak-banyaknya.

Setelah mati, manusia tidak hilang, melainkan berpindah alam

Sebagaimana Allah Swt menciptakan dan menghidupkan manusia, sang Maha Kuasa pula lah yang menciptakan kematian. Sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Mulk ayat 2:

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

“Yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk: 2)

Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbāh menjelaskan, kematian manusia dalam pentas bumi bukan berarti menghilang dan menjadi tiada begitu saja. Manusia masih tetap ada, akan tetapi ia berpindah ke alam lain. Oleh karena itu, ayat ini menyebutkannya dengan kata “menciptakan kematian.”

Sementara itu, ada pula ulama yang memahami kematian dalam arti “ketiadaan wujud.” Sehingga kalimat “Allah menciptakan kematian” dimaknai sebagai “Allah menciptakan sebab-sebab kematian.” Menurut Quraish Shihab, kalaupun kematian diartikan dengan ketiadaan, itu hanya berarti ketiadaan di bumi saja.

Allah Swt menciptakan kehidupan untuk menguji manusia mengenai siapa yang paling banyak amalnya. Kemudian Allah Swt menciptakan kematian untuk memberikan balasan. Dalam ayat ini, kata al-maut (kematian) disandingkan dengan kata al-hayāh (kehidupan). Uniknya, kata al-maut justru disebutkan terlebih dahulu daripada kata al-hayāh. Menurut Ibnu Asyur, kata al-maut dikedepankan lantaran tujuan yang terpenting dari penggalan ayat ini adalah hari pembalasan.

Wallahu a’lam bisshawab

Baca juga artikel lain tentang Tafsir Al-Misbah di sini.

Penjelasan lebih lengkap bisa dibaca dalam Tafsir al-Mishbah. Baca tulisan tentang tafsir Al-Misbah di sini. Kamu juga bisa order di sini Tafsir Al-Misbah karya Quraish Shihab (diskon 10%).