Kematian Tak Harus Dihindari, Begini Syekh Nawawi Banten Menjelaskannya

Kematian Tak Harus Dihindari, Begini Syekh Nawawi Banten Menjelaskannya

Kematian Tak Harus Dihindari,  Begini Syekh Nawawi Banten Menjelaskannya

Kematian adalah satu hal pasti yang akan dialami oleh seluruh manusia di dunia. Tak satupun manusia yang mampu mengelak dari fase tersebut. Kematian akan menghampiri siapa saja walaupun ia harus bersembunyi di dasar laut sekalipun. Jika ajal menjemput, pasti tidak akan tertunda untuk sedetik pun. Sebagaimana firman Tuhan Q.S. al-Munafiqun [63]: 11 yang artinya: “Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha mengenal apa yang kamu kerjakan”.

Kematian merupakan gerbang awal menuju alam akhirat. Dengan kematian, seseorang akan mengalami ragam tahapan lanjutan sebelum sampai tujuan akhir, surga atau neraka. Secara umum kita memahami ada dua macam “kematian”, yakni mati sughra (kecil) dan kubra (besar). Mati sughra terjadi pada saat seseorang tidur, di mana ruh manusia diambil namun kemudian dikembalikan lagi. Sedangkan mati kubra adalah ketika ruh manusia diambil Allah dan tidak dikembalikan lagi. Inilah kematian rill yang menjadi fase menuju alam akhirat. Sebagaimana dijelaskan dalam surah al-Zumar [39]: 42 yang artinya:

Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahan jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda- tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir. 

Syekh Nawawi al-Bantani, dalam buku Marah Labid li Kashfi Ma‘na al-Qur’an al-Karim, memaknai kematian adalah saat Allah meluluhlantakkan seluruh kekuatan panca indra manusia. Adapun tidur dimaknainya sebagai upaya menghilangkan pengetahuan (idrak) manusia dan diganti dengan posisi “lupa” akan pengetahuan tersebut. Kuasa Allah ini begitu luar biasa jika diklasifikasi antara me-manage model mati kecil dan mati besar. Keduanya hampir sepola walaupun berbeda eksistensinya. Tidur dan mati sama-sama diambil ruhnya oleh Allah, namun berbeda saat Allah mengembalikan dan tidak mengembalikan ruh tersebut. Ketika Allah mengembalikan ruh tersebut ke dalam jasadnya, maka ia akan hidup lagi, dan ketika Allah tidak mengembalikan ruhnya maka ia akan mati. (Marah Labid, Vol. 2, h. 334). 

Dalam surah al-Mu’min [40]: 11 orang kafir mengatakan bahwa hidup dan mati terjadi dua kali. Syekh Nawawi berpendapat—dalam konteks ayat tersebut—bahwa yang dimaksud dengan mati dua kali dalam ayat tersebut adalah pertama, terjadi ketika malaikat Israfil mencabut nyawa, dan kedua adalah ketika seseorang selesai diberi pertanyaan oleh dua malaikat, Munkar dan Nakir. Sedangkan yang dimaksud dengan hidup dua kali adalah: pertama, saat seseorang pasca-dikubur kemudian dihidupkan lagi untuk menjawab pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir, dan yang kedua adalah ketika semua makhluk dihidupkan pada saat kebangkitan kelak. 

Cara yang dilakukan malaikat dalam mencabut nyawa berbeda-beda melihat bagaimana standar keimanan seseorang. Apabila yang dicabut adalah orang mukmin, maka akan dicabut dengan lembut, sehingga mengurangi rasa sakit sakarat al-maut sebagaimana yang tertuang dalam Alquran surah al-Nazi’at [79]: 2 yang artinya: “Dan (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan lemah-lembut”.

Lebih jauh, Syekh Nawawi menjelaskan bahwa yang dimaksud ayat di atas adalah malaikat yang mencabut nyawa seorang mukmin dengan lembut, seperti melepas tali dari tangan unta, dan malaikat akan melepas ruh orang-orang mukmin tersebut ke surga (Marah Labid, Vol. 2, h. 599)

Orang mukmin yang dicabut nyawanya secara lembut ini disebut dengan al-tayyibun (orang-orang baik) sebagaimana diterangkan dalam al-Qur’an surah al-Nahl [30]: 32. Sehubungan dengan ini, Syekh Nawawi menerangkan bahwa yang dimaksud dengan lafal al-tayyibun dalam ayat tersebut adalah orang-orang yang tidak kufur, bebas dari ketergantungan pada jasmaninya, serta mereka yang tunduk patuh terhadap yang Maha Suci saat hidupnya. Mereka inilah orang-orang yang mendapatkan kabar gembira dari malaikat pencabut nyawa bahwa ada surga untuknya dan seakan-akan mereka melihatnya. Keadaan bahagia inilah yang dapat mengurangi rasa sakit pada fase sakarat al-maut. (Nawawi, Marah Labid, Vol. 1, h. 592). 

Situasi ini tampaknya berbeda jika, misalnya, mencabut nyawa orang-orang kafir, maka malaikat akan melakukannya dengan kasar. Sebagaimana kelanjutan ayat di atas yakni surah al-Nahl [30]: 33, bahwa malaikat mencabut nyawa orang kafir cara yang sangat keras. Demikian Syekh Nawawi (Marah Labid, Vol. I, h. 592)

Serupa dengan itu, dalam QS. al-An’am [6]: 93, beliau (Syekh Nawawi) menafsiri bahwa seandainya engkau mengetahui orang-orang zalim pada saat mereka mereka merasakan berbagai kesulitan dan siksaan di akhirat dan mereka masuk ke neraka Jahannam dan para malaikat membentangkan tangannya kepada mereka untuk menyiksa seraya berkata: “Keluarkanlah jiwa kalian dari siksaan yang pedih ini, pada saat ini adalah waktunya kalian merasakan siksaan yang meliputi hinaan sebab kalian berkata perkataan yang tidak benar, dan sebab kesombongan kalian mengalahkan keimanan atas ayat-ayat Allah. Maka engkau akan melihat perkara yang sangat besar. (Marah Labid, Vol. I, h. 334).

Penafsiran pertama itu menggambarkan kepedihan dan kesakitan orang-orang zalim pada saat mereka menghadapi kematian, karena sebab malaikat mencabut nyawanya dengan keras seraya memberitahukan akan siksaan neraka Jahannam. 

Sedangkan penafsiran yang kedua adalah menggambarkan kepedihan orang-orang zalim di dalam neraka Jahannam. Dalam QS. al-Anfal [8]: 50, sangat jelas digambarkan betapa kerasnya malaikat saat mencabut nyawa orang-orang kafir tersebut yang dalam tafsir Nawawi diterangkan bahwa ayat ini turun menjelaskan orang-orang kafir yang mati pada saat perang Badar. 

Sementara dalam QS. al-Nazi’at [79]: 1, Syekh Nawawi menjelaskan bahwa yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah para malaikat yang mencabut nyawa orang-orang kafir dari jasadnya dari bawah semua rambut, kuku, dan ujung telapat kaki sebagaimana mencabut tusuk sate yang banyak cabangnya dari kain wol yang basah, maka ruh orang kafir keluar dari jasadnya seperti orang tenggelam dalam air. Allah A’lam []

BACA JUGA Ngaji Gus Baha’ Surat Al-Fatir tentang Kafir Atau Artikel-artikel Menarik Lainnya di Sini