Syaikh Yusuf Makasar (1628-1699) adalah salah seorang “Ulama Jawi” yang mendunia. Al-Jawi adalah pembangsaan bagi para ulama nusantara atau ulama asal Indonesia pada masa itu. Syaikh Yusuf adalah putra asli Makassar yang terlahir dalam lingkungan Kerajaan Gowa dan memiliki pertalian kerabat yang kuat dengan Kerajaan Banten dan Kerajaan Bone.
Seorang pejuang kemerdekaan yang pantang menyerah. Saat mendampingi Sultan Ageng Tirtayasa melawan Kompeni, oleh penjajah Syaikh disebut sebagai orang tua yang hanya bersenjatakan tasbih namun sangat menggetarkan. Syaikh tetap melanjutkan perlawanan setelah Sultan Ageng meninggal hingga dua tahun lamanya. Sebelum akhirnya diasingkan ke Ceylon (Sri Lanka) dan kemudian dipindahkan ke Afrika Selatan sampai dengan wafatnya di Cape Town.
Syaikh Yusuf adalah ulama syariat dan sufi yang menjadi mursyid tarekat Khalwatiyah. Namun karena ijazah yang didapatkannya, Syaikh juga turut serta menyebarkan tarekat Naqsyabandiyah, Qadiriyah, Syattariyah, dan Ba’lawiyah.
Selain meneruskan belajar agama Islam di Banten, Makkah, dan di pelbagai tempat lainnya, Syaikh Yusuf juga pernah belajar di Aceh. Yang terakhir ini menarik karena dalam kitab-kitab yang diwariskannya, belum ada seorang peneliti pun yang menyebutkan adanya pertentangan antara Sang Syaikh dengan Hamzah Fansuri yang mengembangkan ajaran wujudiyah maupun Syaikh Nuruddin Arraniri.
Landasan Tauhid Syaikh Yusuf
Sikap kejawian atau kejawaan yang paling menonjol hingga termasyhur ke seluruh penjuru dunia sejak zaman dahulu kala, tepatnya sebelum era agama-agama singgah di nusantara adalah penerimaan. “Aku gelem!” dalam penegasan Ki Ageng Suryomentaram. Aku gelem adalah laku nyata dari adanya penerimaan dari dalam diri. Penerimaan atas sesuatu yang dimaui maupun yang tak dimaui, karena kesemuanya itu telah disadari hanya mungkin terjadi setelah melalui sebuah proses dan pelbagai faktor yang melingkupinya. Dalam tauhid, pengesaan atas Allah pada ajaran yang disampaikan Syaikh Yusuf, kejawian yang seperti itu juga sangat kental terasa.
Dalam kitab An-Nafhatus Saylaniyah yang ditulis Syaikh pada masa pengasingan di Ceylon dikatakan, “Demikianlah, sesungguhnya Allah Ta’ala adalah gaib, bahkan maha gaib. Tidak ada yang dapat mengetahui hakikat-Nya kecuali Dia Sendiri. Dia adalah sebuah rahasia dalam ke-Dia-anNya di dalam sesuatu yang holistik; menyeluruh pada awal dan akhir tanpa memasuki dan tanpa menyatu (Wadzaalika annahu ta’ala huwa ghaibul ghaybi wa laa ya’rifu haqiyqatahu illa huwa wa annahu huwa min sirrati huwiyatihi fiyl kulli wa bil kulli awwalan wa aakhiran min ghayri mudaakhalatin walaa saa’irah).
Dia meliputi segala yang ada baik lahir maupun batin, tanpa percampuran dan tanpa perpaduan. Dia beserta keseluruhan secara sempurna; menyaksikan tanpa penyesuaian dan tiada penyerupaan. Dia terawal tanpa permulaan dalam wujud nyata terakhir. Dan Dia terakhir tanpa kesudahan dalam wujud nyata permulaan. (Wahuwa muhiythun bilkulli dhaahiran wa baathinan min ghayri khalthatin walaa mumaazihatin wahuwa ma’al kulli ghaniyyan wa syahaadatun min ghayri muqaaranatin walaa tasybiyhin wahuwal awwalu bilaa bidaayatin fiy ‘aynin akhiriyah. Wahuwal aakhiru bilaa nihaayatin fiy ‘ainin awwaliyah).”
Tampak jelas kehati-hatian Syaikh Yusuf dalam mengembangkan konsepsinya tentang wujud Allah. Demi menghindari agar para muridnya tidak terpeleset memahami bahwa wujud Tuhan itu hadir di mana-mana yang bisa diartikan bahwa Tuhan telah menjelma sebagai batu, kayu, juga menjelma ke dalam diri manusia dan lain sebagainya, maka Syaikh pun mempertegas wejangan tauhidnya bahwa dekatnya Allah terhadap manusia adalah melingkupi (al-ihathah) dan menyertai (al-ma’iyyah).
Dalam risalah Mathaalibus Saalikiyn yang juga ditulisnya dalam bahasa Arab misalnya, Syaikh membabar bahwa salah satu macam ajaran tauhid adalah Wihdatul Wujuwd. Yaitu tauhid yang didalami oleh para sufi ahli hakikat yang menegaskan bahwa tidak ada yang maujud pada alam gaib dan alam nyata, tidak ada dalam bentuk maupun makna, tidak ada dalam lahir dan batin, kecuali wujud yang satu (waahid); Zat yang tunggal (ahad) dan hakikat yang satu. Seperti anggota badan kita yang terbagi-bagi sedangkan kita tetap memiliki zat kita namun tak bisa mengendalikan ruh, apalagi sampai memilikinya. Demikian pula segala sesuatu berbeda dengan Allah, karena Allah wujud pada Zat-Nya Sendiri.
Pemisalan keberadaan sesuatu dengan Allah adalah seumpama pemisalan keberadaan jasad dengan ruh yang kemudian disebut sebagai insan. Insan tidak hanya jasad atau ruh saja, tetapi mencakup keduanya. Begitulah Tuhan disebut sebagai Tuhan karena memiliki Zat dan Sifat. Adapun sifat kesempurnaan-Nya seperti Maha mengetahui (‘Alim), Maha mendengar (Sami’), Maha melihat (Bashiyr), dan lain-lain nama dan sifat uluhiyah, maujud semua pada satu, yaitu maujud pada segala sesuatu (asyyaa’).
Kalaupun Allah tidak terdapat pada sesuatu, karena Dia memang suci dari tempat dan waktu, serta suci dari apa yang tidak layak bagi Zat-Nya. Sebagaimana ruh yang tidak menetap pada suatu anggota badan, namun ruh maujud pada badan. Demikian Allah tidak menetap pada sesuatu, namun Dia maujud pada segala sesuatu. Segala sesuatu sudah berada dalam ilmu Allah dan ilmu-Nya adalah sifat-Nya. Sifat dan Zat adalah Esa. Tidak akan tergambar pemisahan antara jasad dan ruh sebelum insan meninggal dunia.
Demikianlah Syaikh Yusuf, walaupun secara eksplisit menyinggung Wihdatul Wujuwd dan Ibn ‘Arabiy dalam kitab yang ditulisnya, bahkan dapat dikatakan bahwa Wihdatul Wujuwd merupakan aliran tauhid yang diikutinya, namun Syaikh telah menyederhanakan dan “memodifikasinya” hingga sedemikian rupa. Yaitu bahwa Allah meliputi dan menyertai segala sesuatu tanpa memasuki, tanpa bersatu, dan tak pernah berada di dalamnya, tetapi memimpin seluruhnya, tak terkecuali manusia.
Landasan utama ajaran tauhid Syaikh Yusuf adalah ayat ke-11 dari surah Asy-Syuraa (QS.42), “Allah pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kalian pasangan-pasangan dari jenis kalian sendiri, dan dari jenis hewan ternak juga berpasang-pasangan. Dijadikannya kalian berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia (laysa kamitslihi syai’). Dan Dia yang Maha mendengar lagi Maha melihat.” Juga surah Al-Ikhlash (QS. 112:1-4), “Katakan, Dialah Allah Yang Maha Esa. Allah adalah tempat bergantungnya segala sesuatu. Allah tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tiada sesuatu pun yang setara dengan-Nya.”
Wallaahu a’lamu bishshawaab.