Semasa hidupnya, Syaikh Abu Bakar bin Hajjaj (w. 757) memiliki seorang teman karib. Teman tersebut berasal dari suatu gunung yang jaraknya dengan syaikh adalah tiga hari perjalanan.
Mereka berdua memiliki sebuah janji, yakni: siapa yang meninggal dunia terlebih dahulu harus dimandikan oleh yang masih hidup. Artinya, jika si syaikh Abu Bakar meninggal dunia terlebih dahulu, maka si lelaki gunung itu harus memandikan jenazahnya, atau sebaliknya.
Ternyata takdir Tuhan menyatakan bahwa yang meninggal duluan adalah teman karib syaikh Abu Bakar.
Keluarga si mayit bingung. Di satu sisi, si mayit (semasa hidupnya) pernah memiliki janji dengan syaikh Abu Bakar tentang siapa yang harusnya memandikan jenazahnya tersebut. Namun di sisi yang berbeda, jika harus menunggu kedatangan syaikh memerlukan waktu yang tidak sebentar (tiga hari perjalanan).
Tiba-tiba di saat dalam keadaan bingung tersebut, keluarga si mayit mendengar ada suara banyak orang sedang membaca tahlil. Ternyata syaikh Abu Bakar datang bersama para jamaahnya. Akhirnya, yang memandikan jenazah itu pun syaikh Abu Bakar, sebagaimana janji yang telah dibuat.
Kisah di atas penulis baca dari kitab al-Kawakib al-Durriyyah fi Tarajim al-Sadat al-Sufiyyah (terkenal dengan nama Thabaqat al-Munawi al-Kubra), karya Syaikh al-Imam Abdurrauf al-Munawi.
Dari kisah di atas, selain kita mengetahui karamah (keramat) syaikh Abu Bakar bin Hajjaj (karena datang di saat yang tepat padahal terpaut jarak yang jauh), kita juga menjadi lebih paham bagaimana para ulama menepati janjinya: meski harus naik gunung, ia tetap datang.
Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu…” (QS. Al-Maidah [5]: 1).
Dalam pandangan al-Sya’rawi, ayat ini menunjukkan bahwa iman bukanlah hal yang “pernah” dirasakan dan dimiliki oleh seseorang. Iman adalah hal yang hendaknya selalu diperbarui dengan mengerjakan perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan nilai-nilai keimanan. Ayat ini, masih dalam pandangan al-Sya’rawi, juga mengajak semua manusia untuk beriman kepada Allah Swt. Baru setelah itu, mereka diperintahkan untuk memenuhi janji yang telah mereka buat.
Uraian di atas menunjukkan bahwa janji memiliki hubungan erat dengan iman. Semakin seseorang memperhatikan janjinya berarti ia memiliki iman yang kokoh. Pun sebaliknya, jika ada orang yang suka melanggar janji, berarti tingkat keimanannya masih rendah atau bahkan tidak memiliki iman sama sekali. Na’udzubillah.
Nabi Muhammad Saw bersabda,
“Empat (prilaku) kalau seseorang ada padanya, maka dia termasuk benar-benar orang munafik. Kalau berbicara berdusta, jika berjanji tidak menepati, jika bersumpah khianat, jika bertikai, melampau batas. Barangsiapa yang terdapat salah satu dari sifat tersebut, maka dia memiliki sifat kemunafikan sampai dia meninggalkannya.” (HR. Bukhari)
Munafik atau nifak artinya ketidaksesuaian batin dengan zahir. Jika ia berkaitan dengan iman, maka ia dinilai munafik kufur. Sedangkan jika tidak berkaitan dengan iman, maka ia munafik perbuatan. Begitu penjelasan Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari.
Pada hadis di atas, disebutkan bahwa salah satu tanda orang munafik adalah tidak menepati janji. Meski begitu, pengingakaran terhadap janji tetap “diperbolehlkan” atau dinggap tidak masuk dalam tanda munafik manakala ketika berjanji, tidak dibarengi dengan niat untuk mengingarinya. Orang yang membuat janji dan memiliki kemampuan untuk menepatinya namun karena satu dua hal ia tidak bisa menepatinya, maka ia tidak dinilai munafik. Begitu penjelasan Imam Ghazali, sebagaimana dikutip Ibnu Hajar.
Sehingga dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hendaknya seseorang mengukur diri ketika akan membuat janji. Jika tidak mampu melaksanakan janjinya, maka ia tidak perlu membuat (atau bahkan mengobral) janji, karena janji bukanlah mainan. Janji memiliki hubungan erat dengan keimanan. Berani berjanji, berani menepati. Wallahu a’lam.