Riset menunjukkan bahwa aplikasi kencan (dating app) ternyata gak cuma untuk cari jodoh atau gebetan. Cukup modal ponsel dan jempol yang lihai, orang bisa swipe kanan buat bangun jaringan sosial dan bahkan memburu peluang karir di era erba media.
Hal itu, setidaknya, ditunjukkan oleh para pengguna aplikasi Tinder, Bumble, dan Coffee Meets Bagel.
“Dan, jangan kaget kalau ada yang swipe kanan cuma buat cari follower Instagram atau jaringan kerjaan,” jelas Ratna Noivani dalam artikel jurnal berjudul “Digital Intimacies and the Construction of Social Capital in a Heteronormative Society: A Study of Dating App Users in Indonesia.”
Meledaknya Popularitas Aplikasi Kencan
Jadi, kenapa sih dating app bisa begitu populer?
Riset yang dilakukan oleh Noviani dan tim peneliti UGM menjelaskan bahwa popularitas dating app diuntungkan oleh Pandemi COVID-19 yang dengan nyata telah mengubah cara orang berinteraksi, termasuk dalam hal digital intimacy.
Nah, aplikasi kencan online ini pun mengalami peningkatan pengguna sejak awal pandemi karena kebijakan pembatasan sosial yang mengurangi kontak fisik.
Aplikasi kencan membantu para penggunanya untuk membangun koneksi dan intimasi digital. Mereka mengharapkan bisa memperluas jaringan pertemanan yang memiliki kesamaan minat, dengan potensi menemukan pasangan jangka panjang sebagai bonus.
“Di Indonesia sendiri, para pengguna aplikasi kencan ini bahkan rela keluar duit sampai 11.94 juta USD buat langganan fitur premium di sepanjang tahun 2020. Meski di 2021 turun dikit jadi 10.93 juta USD, tapi tetep aja, ini menunjukkan betapa orang membutuhkan intimacy dan koneksi sosial di era digital,” terang Noviani, Dosen Kajian Budaya dan Media UGM.
Algoritma Cinta: Kerja Mesin di Balik Layar
Nah, buat yang sering swipe kanan-kiri di dating app, pernah nggak sih kepikiran gimana cara si aplikasi ini tahu siapa yang cocok buat penggunanya?
Jawabannya adalah algoritma!
Aplikasi kencan ini ternyata menggunakan data–yang diunggah secara mandiri–kayak foto profil, bio, dan preferensi pasangan buat mencocokkan user-nya dengan orang lain sesama pengguna aplikasi kencan.
Jadi, setiap swipe itu ada matematikanya. Bukan cuma asal tebak.
“Dalam aplikasi kencan, konektivitas antara pengguna dan jodoh merupakan produk kerja sistem algoritmik aplikasi melalui datafikasi,” tulis Noviani. “Koneksi antara satu pengguna dengan pengguna lainnya dimungkinkan karena adanya database dan informasi yang diinput oleh setiap pengguna di profilnya.”
Selain itu, keputusan untuk melanjutkan atau menghentikan suatu hubungan rupanya juga bukan pilihan otonom para pengguna, melainkan telah diatur, diarahkan, dan dirancang sedemikian rupa oleh aplikasi.
Dalam artikel, Noviani menjelaskan aplikasi kencan Bumble, misalnya, ‘memaksa’ pengguna untuk segera membalas chat dalam waktu 24 jam.
“Kalau nggak dibalas, match-nya hilang. Jadi, nggak ada lagi drama nungguin balasan chat yang nggak kunjung datang. Oleh algoritma aplikasi, pengguna dianggap tidak tertarik untuk membuka atau melanjutkan hubungan dengan jodoh tersebut,” terangnya.
Tebar Jaring, Lebih dari Sekadar Romansa
Rupanya, banyak pengguna aplikasi kencan nggak cuma pakai satu aplikasi aja, tapi beberapa sekaligus. Ini yang disebut strategi “menebar jaring” (spreading the net).
Logika gambling-nya, semakin banyak aplikasi yang dipakai, semakin besar peluang dapat match. Dengan cara demikian, mereka bisa memperluas jaringan sosial, bukan cuma buat cari pasangan tapi juga buat urusan profesional atau kepentingan sosial lainnya.
Jadi ada yang cari jodoh, ada yang cari teman ngobrol, bahkan ada juga yang cari peluang kerja.
“Nggak semua pengguna aplikasi kencan cuma cari pacar atau jodoh. Ada juga yang pakai buat keperluan lain, kayak cari kerja atau memanfaatkan jaringan sosial buat keuntungan ekonomi,” jelas Noviani.
Ia mencotohkan seorang (informan) HRD yang sering didekati oleh matches-nya untuk cari peluang kerja, mengubah hubungan sosial menjadi modal ekonomi. “Pasangan dari si HRD ini secara eksplisit menanyakan tentang lowongan pekerjaan dan, dalam beberapa kasus, bahkan mengirimkan CV mereka kepadanya.”
Selain menjadi ruang mencari jodoh dan mencari pekerjaan, Noviani menjelaskan ada juga pengguna yang memakai aplikasi kencan untuk mendongkrak followers Instagram.
“Dengan nambah followers di Instagram, peluang buat jualan produk juga makin gede. Jadi, swipe kanan di dating app bisa berarti lebih dari sekadar kencan. Ia bisa juga sebagai langkah awal menuju kesuksesan ekonomi,” terangnya.
Fleksibilitas untuk Komunitas Marginal
Di luar aspek romansa dan ekonomi, aplikasi kencan ternyata juga memberikan fleksibilitas lebih buat komunitas non-dominan, kayak komunitas gay dan lesbian.
Di Indonesia, aplikasi kencan dianggap jadi ruang alternatif buat mereka memperluas jaringan dan mengatasi batasan sosial yang ada di dunia nyata. Juga, aplikasi kencan memungkinkan mereka bisa lebih bebas berekspresi dan menemukan komunitas yang mendukung keberadaannya.
Penting untuk dicatat bahwa sejak tahun 2016, Kementerian Komunikasi dan Informatika Indonesia telah memblokir aplikasi jaringan LGBT, termasuk aplikasi kencan gay, karena takut mempromosikan gaya hidup gay dan penyimpangan seksual.
“Seorang informan homoseksual dalam penelitian ini mengakui bahwa kebijakan pemerintah yang homofobia tidak hanya menstigmatisasi kelompok seksual minoritas seperti mereka tetapi juga mengabaikan hak kebebasan berpendapat dan berkomunikasi,” ujar Noviani dalam artikel.
Meskipun ada larangan, banyak yang terus mengakses dating app gay seperti GROWLr, Grindr, Blued, atau Her dengan menggunakan server VPN untuk tetap terhubung dengan komunitas gay, selain menggunakan aplikasi kencan yang dianggap heteroseksual, seperti Tinder atau Bumble.