Dua tulisan saya alhamdulillah sudah diterbitkan di portal ini. Sebuah portal yang menurut redakturnya dibentuk karena kegelisahan atas maraknya portal-portal Islam yang kontennya banyak mendukung berdirinya kilafah dan beberapa diantaranya malah berisi ujaran kebencian terhadap agama, suku, ras dan golongan tertentu.
Kebetulan kedua tulisan saya berkisar tentang penggunaan hijab atau jilbab. Sebuah polemik yang tidak pernah berujung.
Ada sebuah kontroversi baru yang cukup menggelitik, kalau tidak mau dikatakan konyol sesaat setelah tulisan saya terbit. Dan celakanya kejadian ini menimpa anak saya sendiri.
Ceritanya, anak saya beberapa waktu yang lalu memposting foto dia dan beberapa temannya di instagram, namanya anak zaman sekarang. Kebetulan akun dia saya follow, sekalian sebagai fungsi kontrol saya sebagai orangtua.
Tak berselang lama ada temannya yang memberikan komentar di postingan tersebut yang isinya cenderung memojokkan hanya karena foto yang diposting terlihat wajahnya ( tidak ditutup dengan emoticon atau pose dengan gaya tertentu sehingga tidak menampakkan wajah ). Kontan anak saya emosi dan menghapus semua postingan di instagramnya, karakter dia memang mudah meledak.
Sampai sekarang saya tidak habis pikir bagaimana bisa timbul larangan bagi wanita, ini memang khusus untuk perempuan, untuk memposting gambar di media sosial tanpa memperlihatkan wajahnya! Satu lagi bentuk diskriminasi gender oleh sebuah konservatisme dalam beragama.
Kok agama lagi yang disalahkan? Saya tidak menyalahkan agama, tapi cara orang dalam beragama yang terkadang justru membuat resah.
Istri dan anak-anak saya memang tergabung dalam sebuah ormas beragama dan pelarangan itu memang didasari atas ijtihad ulama dari kelompok ini.
Saya pun pernah menjadi bagian dari jamaahnya, dari sinilah saya bertemu dengan perempuan yang sekarang saya peristri. Hanya saja dalam perjalanannya saya merasa kurang sreg karena berbagai alasan yang akan sangat panjang kalau diceritakan dan saya tidak mau terkesan seperti seorang murtad yang menjelek-jelekan agama yang sebelumnya dianut. Tidak kurang dari 10 tahun terlibat dalam kelompok pengajian ini sampai akhirnya memutuskan untuk keluar.
Sejujurnya program pembinaan kader dan kurikulum dalam organisasi ini terbilang cukup bagus. Mulai dari anak kecil, remaja sampai usia pra nikah. Demikian juga pola dan jadwal pengajaran terstruktur dengan baik, mulai dari kelompok terkecil sampai nasional.
Yang menjadikan saya jadi tidak nyaman karena konservatisme itu. Dengan dalih untuk memurnikan agama mereka menutup diri dari mengkaji kitab-kitab selain kutubusittah dan Al-Qur’an. Jadi jangan berharap kita bisa mengkaji Ihya’Ulumuddin, Al Hikam dsb dalam kelompok ini. Mereka menganggap itu hanyalah kitab karangan yang bisa menimbulkan perpecahan bagi jama’ahnya.
Metode penderasan Al-Qur’an pun tidak merujuk pada ulama ahli tafsir. Jadi, tafsir seperti Jalalain atau Ibnu Katsir tidak dijadikan rujukan. Ya hanya diberi makna/arti saja dibawah setiap ayat yang dikajikan. Jadi menafsirkannya benar-benar secara letterluks atau tekstual saja. Paling tidak itulah yang saya rasakan selama 10 tahun tergabung dalam kelompok ini.
Jangan tanyakan perlakuan seperti apa yang saya dapatkan saat memutuskan untuk keluar. Biarlah itu menjadi rahasia saya dan akan saya ceritakan kepada orang yang saya anggap pantas untuk mendengarkan. ( Barangkali ada yang bisa membantu mempertemukan saya dengan ulama NU? ).
Kembali ke cerita tentang anak saya, setelah dia diperlakukan seperti itu saya bermaksud untuk memintakan tabayyun kepada temannya yang kebetulan menjadi guru dia ngaji. Tapi sekali lagi ini bukan hal yang mudah karena memang mereka dikenal eksklusif, tertutup untuk berdialog dengan kalangan dari luar paham mereka. Mereka menyebut orang dari luar golongannya sebagai orlu (orang luar) dan orkit (orang kita) untuk mengidentifikasi.
Saya sangat menyesalkan kejadian seperti ini. Bagaimana bisa di era keterbukaan dan modern dimana ruang dan waktu sudah tidak menjadi sekat dalam komunikasi masih saja ada kelompok yang bersikap puritan.
Saya tidak mengetahui latar belakang apa yang dijadikan landasan untuk berijtihad seperti itu. Apa karena dalil yang mengatakan bahwa wanita selalu dihias-hiasi oleh setan yang selama ini sering mereka kajikan? Kalaupun benar pasti ada penjelasan detail tentang hadits ini yang mungkin mereka tidak ketahui karena landasannya hanya tekstual saja.
Padahal Islam adalah agama yang sangat menghormati wanita sampai-sampai Allah menurunkan surat khusus tentang wanita.
Memberikan hukum dengan dalil yang ngawur untuk membatasi ruang bagi wanita jelas-jelas sangat bertentangan dengan Al-Qur’an itu sendiri, bukankah ini adalah perkara baru yang diada-adakan?
Lantas bagaimana kaum perempuan akan bisa bebas bergerak jika aturan nyeleneh seperti ini masih saja diberlakukan. Akan menjadi lucu jika ada yang berkarir sebagai host di televisi misalnya, kemudian minta kepada editor untuk tidak menampakkan wajahnya saat shooting, atau menempelkan emotikon pada wajah demi mentaati sebuah ijtihad konyol. Karena ijtihad memang wajib ditaati, dan kalau tidak taat diancam neraka!
Sering saya merenungi syi’ir tanpa waton yang dilantunkan oleh Gus Dur, walaupun sederhana tapi sarat makna yang antara lain berbunyi duh bala kanca pria wanita aja mung ngaji syare’at blaka, gur pinter ndongeng nulis lan maca tembe mburine bakal sengsara, akeh kang apal Qur’an haditse seneng ngafirke marang liyane, kafire dewe gak digatekke yen esih kotor ati akale.
Bait dalam syi’ir itu memang sangat kontekstual dengan situasi orang beragama zaman sekarang, bagaimana banyak dari kita yang masih memperhatikan kulit daripada isi.
Konservatisme dan eksklusivisme dalam beragama timbul karena ketidakmauan dan ketidakmampuan untuk beradaptasi dengan kondisi yang semakin berkembang. Atau barangkali ada motiv lain sehingga menutup seluruh ruang diskusi dan perbedaan? Entahlah.
Padahal Al-Qur’an selalu bisa menempatkan pengikutnya dalam setiap kondisi apapun tanpa harus kehilangan identitas sebagai seorang muslim yang diharapkan bisa menjadi rahmatan lil’ alamiin.
Wallahu a’lam