Seekor singa hanya memangsa satu rusa, lalu membiarkan rusa lainnya pergi. Kita memangsa bermacam hewan sebagai sumber hewani dalam sebuah jamuan makan. Seekor singa menikmati satu rusa bersama kawanannya, yang tidak termakan akan diikhlaskan untuk hewan lain, semacam burung pemakan bangkai atau predator lainnya. Kita yang membunuh banyak hewan untuk sekali makan, jarang berbagi kepada yang lain. Kita lebih suka menyimpan sisa makanan ke dalam kulkas agar esok bisa dimakan lagi. Salah? Tentu tidak.
Makan memang urusan biologis dasar untuk bertahan hidup, hal tersebut normal, tetapi mengapa kita bisa serakus itu? Mengapa kita tidak rela berbagi? Mengapa kita membunuh banyak makhluk hidup? Jawabanya sama, karena insting bertahan hidup kita yang tinggi. Kita membutuhkan jaminan untuk besok masih bisa bertahan hidup. Salah satu jaminan terus bertahan hidup adalah dengan menumpuk makanan.
Kita makan untuk menyambung hidup. Pada spektrum yang lebih luas lagi, maka akan ditemukan alasan yang sama di tiap kegiatan kita. Sejatinya kita kerja tiap hari, agar dapat jaminan bertahan hidup bahkan kita bersekolah agar di masa depan terjamin hidup dengan bahagia. Buruknya adalah harapan mendapatkan jaminan bertahan hidup yang mulanya urusan biologis menjadi sebuah pemenuhan inginan (free will) egois manusia. Hal ini mendorong kita memikirkan diri sendiri sebagai manusia, tanpa memperdulikan ekosistem di sekitar kita.
Manusia tumbuh sebagai predator, bukan pengelola bumi (khalifah fil ardh). Hal ini diperkuat dengan fakta ada berapa banyak spesies yang langka bahkan punah demi melayani nafsu egois manusia. Ada berapa gunung yang gundul, sungai tercemari dan udara berpolusi demi memenuhi kebutuhan manusia untuk bertahan hidup. Jika tidak dihentikan, alam akan menghentikan.
Peradaban Manusia di Tangan Ekosistem Alam
Bumi dan seisinya nampaknya diam-diam saja atas segala eksploitasi yang kita lakukan, namun kalau kita melihat perputaran dunia, nyaris kita akan mendapati ekosistem alam senantiasa melakukan proses seleksi alam dengan caranya sendiri. Pandemi virus corona hanyalah salah satu contoh respon alam terhadap ulah bar-bar kita. Beberapa tahun ke belakang ada tsunami, gunung meletus, lepra, cacar air dan berbagai hal yang mematikan secara massal.
Kita nampaknya kurang merenungi relasi kita sebagai teman akrab alam. Kita harusnya memikirkan masa depan alam bersama masa depan peradaban manusia, karena bersama alam kita hidup. Alam menyimpan oksigen, bukan gedung berAC yang kita tempati tiap hari. Alam yang menyimpan air, bukan saluran irigasi kita, bahkan penciptaan manusia membutuhkan campur tangan alam. Ada sebuah konektivitas antar manusia dan alam, sehingga kerusakan yang terjadi pada alam akan berdampak pada kehidupan manusia.
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (Qs. Ar Rum: 41)
Cukup egois rasanya bila memohon ampun kepadaNya atas bencana alam, namun perilaku kita kepada alam tidak berubah. Sejenak saat pandemi seperti ini, kita belajar mengikhlaskan yang telah terjadi. Alam telah memberi banyak kepada manusia. Saat manusia menahan ego sesaat, berdamai dengan keadaan. Ini saatnya untuk memberi waktu kepada hewan ke kota, sungai mengalir jernih, udara tanpa polusi dan kita yang lebih perhatian terhadap kebersihan.
Sembari mencari vaksin dan mencegah penyebaran pandemi ini, kita berikan waktu alam untuk memperbaiki ekosistem hidup yang telah kita rusak. Kita nikmati segala keterbatasan. Tidak usah merasa risau akan masa depan, peradaban manusia secara naluriah akan kembali unggul dari yang lain.
Seperti halnya kita yang telah menyeleksi mana yang layak bertahan hidup untuk menemani manusia, sekarang alam sedang melakukan hal yang sama kepada kita. Alam kini menyeleksi manusia mana yang layak untuk bekerjasama dengannya untuk memulai peradaban yang lebih ekologis dan humanis.
Semoga kita merenungi hal ini dengan penuh kesadaran