Sebagai seorang muslim, saya tentu senang mendengar anda memeluk agama Islam. Namun itu bukan akhir dari segala proses menuju kebaikan. Justru bacaan syahadat anda yang dibimbing oleh Gus Miftah Maulana Abdurrohman atau Gus Miftah, adalah awal dari perjalanan panjang memperbaiki jati diri anda, yang dalam bahasa Gus Mus, sebagai bangsa Indonesia yang beragama Islam.
Selain hendak mengungkapkan kegembiraan, dalam surat ini saya ingin mengingatkan anda tentang apa yang pernah diutarakan oleh peneliti eLSa, Khoirul Anwar; tentang mudahnya seorang muallaf terpengaruh ajakan radikalisme. Sebab kelompok muallaf ini merupakan sasaran favorit kalangan ekstrimis untuk menyebarkan ajaran islam radikal kekerasan dan terorisme di Indonesia. Hal itu tak lain karena pemahamanan kelompok ini yang masih awam mengenai agama Islam (The Jakarta Post, 2018).
Indikasi itu dia temukan selam penelitian yang dilakukan di Muallaf Center.
“Saya melihat indikasi itu (mudahnya muallaf dipengaruhi ajaran radikal) di Muallaf Center. Saya punya pengalaman, pada tahun 2016, bertemu dengan seorang anak muda yang baru muallaf selama enam bulan dan sangat menggebu-gebu membicarakan Khalifah Islam. Anak muda itu sangat berharap bisa melakukan jihad memerangi kelompok kafir. Walapun Indonesia adalah negara demokratis, tapi dalam pandangan anak muda itu, negara ini tetap dianggap sebagai negara kafir,” kata Khoirul Anwar (The Jakarta Post, 2018).
Ia menambahkan bahwa anak muda itu tidak memiliki guru untuk mendalami ajaran islam secara benar. Sebaliknya anak muda itu mendapat informasi Islam dari internet, lalu bertemu dengan seseorang yang kelak menjadi ‘saudara’-nya dan membantunya untuk mengenal ‘jihad’. (The Jakarta Post, 2018).
Keterangan Khoirul Anwar ini bukan satu-satunya keterangan mengenai rentannya kelompok muallaf akan jebakan radikalisme bahkan terorisme. Dalam berbagai forum yang membicarakan radikalisme, saya juga kerapa mendapatkan fenomena betapa mudahnya ‘kelompok-kelompok orang yang baru tahu islam’ tertarik pada ajaran radikalisme bahkan terorisme.
Selain karena alasan lemahnya pemahaman akan agama islam, penyebab lain adalah adanya euforia ‘anak baru’ dalam mengenal sesuatu. Seperti orang yang terlalu bangga saat punya pacar baru, atau seseorang yang baru dapat uang banyak yang kita biasa panggi Orang Kaya Baru (OKB). Mereka akan sangat membanggakan kebaruannya itu secara berlebihan.
Jangan Sombong
Karena pada dasarnya, ‘kebaruan-kebaruan’ ini menyenangkan di hati, membuat kita bangga, bahkan, bisa jadi menjerumuskan kita untuk merasa sombong dan perlahan mulai menyalahkan orang lain yang berbeda dengan kita. Dalam hal muallaf, kelompok baru ini akan tertarik menganggap mereka yang tidak seagama dengannya sebagai orang yang tak lebih mulia dari pada dia.
Gus Dur pernah berpesan:
“Jika Allah memudahkan bagimu mengerjakan sholat malam, maka janganlah memandang rendah orang orang yang tidur”.
“Jika Allah memudahkan bagimu melaksanakan puasa, maka janganlah memandang rendah orang orang yang tidak berpuasa dengan tatapan menghinakan”.
“Jika Allah memudahkan bagimu membuka pintu untuk berjihad, maka janganlah kamu memandang rendah orang orang yang tidak berjihad dengan pandangan meremehkan”.
“Jika Allah memudahkan dirimu dalam mengais rezeki bagimu, maka jangan memandang rendah orang orang yangberhutang dan kurang rejekinya dengan pandangan yang mengejek dan mencela”.
“Jika Allah memudahkan pemahaman agama bagimu, maka janganlah meremehkan orang orang yang belum paham dengan pandangan hina”.
“Jika Allah memudahkan ilmu bagimu, maka janganlah kamu sombong dan bangga diri karena Allah-lah yang memberimu pemahaman itu”.
Di waktu yang berbeda, Presiden Joko Widodo, dalam bahasa yang juga berbeda, memiliki pesan yang serupa:
“Lamun sira sekti, ojo mateni”.(Meskipun kamu sakti, jangan sekali-kali menjatuhkan).
“Lamun siro banter, ojo ndhisiki”. (Meskipun kamu cepat, jangan selalu mendahului).
“Lamun sira pinter,ojo minteri”. (Meskipun kamu pintar, jangan sok pintar).
Inti dari kedua pesan mantan presiden tersebut adalah larangan untuk sombong. Barangkali anda perlu tahu bahwa dalam Islam, iblis pada mulanya adalah makhluk penghuni surga sampai akhirnya kesombongan membuat dirinya terusir ke dunia.
Memilih Guru
Pesan kedua, adalah berhati-hatilah memilih guru yang membimbing anda mempelajari Islam secara menyeluruh. Akan tetapi, karena anda masuk Islam dengan bimbingan Gus Miftah (dengan izin dari Habib Luthfi Pekalongan), saya rasa itu adalah langkah sempurna untuk memulai pengembaraan anda sebagai muslim.
Terakhir, sebagai disclaimer, saya ingin mengatakan bahwa dengan adanya surat ini, tidak lantas berarti penulis yang berislam lebih dulu dari anda, jauh lebih baik islamnya dari pada anda.
Faktanya, banyak di antara kami yang masuk islam lebih dahulu karena dilahirkan dari keluarga muslim dan diajarkan Islam sejak kecil dulu, sehingga memudahkan kami menerima segala ajaran islam.
Sebaliknya, saya kira perjalanan anda ‘lebih seru dan berliku’. Seperti Nabi Ibrahim yang berhasil menumukan Allah dalam perjalananannya, Anda dipertemukan dengan Islam setelah berusia 42 tahun, dengan sejuta pengalaman spiritual yang pernah anda lalui. Saya kira itu sangat luar biasa. Dalam Islam, karena pencarian panjangnya itulah, Nabi Ibrahim memiliki keistimewaan di antara nabi-nabi yang lain.
Akan tetapi sekali lagi, dengan segala kerendahan hati, saya ingin mengingatkan, jangan sampai karena keislaman anda ini, anda menganggap saudara anda yang tidak masuk islam, tidak lebih baik atau bahkan lebih buruk dari anda. Sebab banyak sekali kita jumpai beberapa muallaf yang hari Senin masuk Islam lalu pada hari Selasa ia sudah menjelek-jelekkan agama dan pemeluk agama dia yang sebelumnya.