Dear Kang Sandiaga Uno sang pembela kebenaran. Gimana kabarnya? Semoga di belahan bumi manapun Tuhan selalu mencurahkan nikmat sehat dan iman. Etapi sebelumnya, izinkan saya manggil “Kang”, ya Kang. Soalnya di pesantren, istilah “Kang” adalah panggilan mesra seorang santri kepada para tetua santri lainnya.
Begini Kang, harus saya akui jika Kang Sandi itu tidak hanya santri post-Islamisme. Melainkan santri post-Santri itu sendiri. Agustus lalu saya turut bungah mendengar kabar bahwa nama Sandiaga Uno ternyata adalah ‘santri’. Eladalah baru sebulan, sekarang kok malah sudah jadi Ulama saja.
Tapi maaf Kang, di mata saya ada satu hal yang kayaknya dilupakan oleh Pak Hidayat Nur Wahid ketika melambungkan Kang Sandi sebagai ulama. Ya, konstruksi sosial masyarakat kita dalam menempatkan artikulasi ulama.
Bolehlah sekiranya Pak Politisi PKS itu menjelaskan pengertian ulama. Mulai dari Alquran, istilah ulama disebutkan dalam Q.S. Asy-Syuro dan Q.S. al-Fatir yang katanya kedua-duanya justru menyiratkan ulama itu tidak terkait dengan keahlian ilmu agama Islam. Atau, keulamaan yang ditunjukkan Sandiaga dalam perilakunya: menjalankan ajaran agama, puasa senin-kamis, salat dhuha, salat malam, silaturahim, menghormati orang-orang yang tua, dlsb.
Percayalah Kang, kondisi masyarakat kita berbeda. Dan demi itu, saya jadi teringat pesan Mbah Kiai Musthofa Bisri tentang lima tipologi ulama. Pertama, ulama itu ada yang produk masyarakat, karena masyarakat melihat ilmu dan lakunya.
Kuntowijoyo pada sebuah esai yang terangkum dalam Muslim Tanpa Masjid menyebut, mula-mula ulama tinggal di suatu pesantren. Di sana ia menanamkan pengaruhnya pada masyarakat yang tinggal di desa-desa sekitar pesantren setempat. Hubungannya yang dekat dan personal dengan para santri menjadikan seorang ulama itu berkembang menjadi tokoh Kharismatik.
Demikianlah yang dialami seorang ulama dari Prajan, Sampang, Madura yang pada tahun 1895 memimpin perlawanan terhadap Belanda. Atau, mendiang Kiai Ali Maksum yang dikenal egaliter dan para santrinya kini menjadi ulama sekaligus tokoh-tokoh Nasional seperti KH. Abdurrahman Wahid, KH. Musthofa Bisri, KH. Said Aqil Siradj, serta masih banyak lagi.
Kedua, ada juga yang produk media. Karena media menyebutnya sebagai ulama, maka orang lain terbentuk opininya. Dan ini banyak sekali. Kang Sandi pasti tau sendirilah, bagaimana melimpah ruahnya acara-acara keagamaan industri pertelevisian kita yang dengan ugal-ugalan memilih sekelompok orang yang, menurut mereka bisa diorbitkan dan bisa ‘dijual’ laris; sosok-sosok tak jelas juntrungnya, mata rantai keilmuannya, kesalihannya, yang penting tampan dan surbanan.
Memang sih, kalau kata Kiai Edi AH Iyubenu (2017), itu hak mereka. Mereka yang punya gawe, punya modal, dan kanalnya. Tapi, kita pun punya hak atas frekuensi yang mereka pakai itu. Persoalannya jelas tak lagi sesederhana itu hak mereka, sebab acara-acara berbalut keislaman itu melayang-layang di ruang publik kita, yang juga hak kita, diasup oleh khalayak luas, terutama kelompok awam.
Mereka, khalayak umum itu, mudah saja beranggapan bahwa para pendakwah yang tampil di televisi adalah orang-orang alim, juga salih, pemuka agama. Kata-kata mereka serupa fatwa-fatwa yang suci, yang layak digugu. Padahal, behind the scene-nya, sungguh tidak semulia itu. Rating dan iklan menjadi sesembahannya. Output materi ceramahnya otomatis tidaklah tergaransi mulia. Sebab yang mulia adalah omset belaka.
Ketiga, ada juga ulama yang (dari) pemerintah, ya di MUI itu. Untuk yang ini, Kang Sandi juga pasti mafhum lah, jika MUI itu sendiri…, ah sudahlah. Rumit. Yang jelas, di sana tentu ada yang merasa ulama daripada ulama itu sendiri.
Walau bagaimanapun tetap ada pula yang memang sebenar-benarnya ulama. Yang terakhir ini adalah mereka yang sungguh-sungguh alim dan salih, telah diuji oleh bentang zaman yang panjang, dengan sanad keilmuan yang otoritatif, dan sangat kompeten untuk menyiarkan Islam rahmatan lil ‘alamin.
Keempat, ada lagi yang makin marak sekarang. Ya, ulama bikinan sendiri. Dan ini murah sekali. Cukup modal peci haji yang paling marebuwan itu, lalu pakai serban seharga 50k-an, kalau yang agak wibawa yang (warnanya) hijau. Lalu aba kadabra, jadilah dia ulama.
Kelima, ini yang krusial, ada ulama bikinan politisi. Ulama jenis ini biasanya muncul tiap lima tahunan. Ntah untuk keperluan Pilkada, Pileg, atau bahkan Pilpres sekalipun. Orientasinya jelas adalah untuk kekuasaan. Dan karenanya, ini sudah barang tentu ndak baik di mata rakyat. Kendati, tentu saya bisa jelaskan. Tapi ya itu, ndak baik di mata rakyat.
Saya ndak tau apakah Kang Sandi bagian dari ini atau bukan. Tapi yang jelas, saya sih husnuzon bilamana Kang sandi pasti segan disebut ulama. Salah-salah bisa mengaburkan batas-batas keagamaaan dan kekuasaan.
Akhirul kalam, jadi ulama itu berat, Kang. Sepanjang penjajahan Belanda, ulamalah yang menghadapi risiko terbesar: dibunuh, ditangkap, dipenjara. Para ulama juga diharapkan Jepang, pada saat itu, untuk memobilisasi massa. Ulama juga aktif dalam perang kemerdekaan. Pembentukan laskar Hizbullah-Sabilillah tidak bisa dilepaskan dari peran sosial ulama. Pendek kata, dalam sejarah Indonesia ulama tidak pernah mangkir dari peran sosialnya. Dan memang begitulah mestinya ulama.
Oiya kang, temen saya nitip salam nih. Supaya Oktober nanti jangan jadi Hadhlrotus Syaikh, ya. Atau November jadi Wali. Sebab saya khawatir, bisa-bisa Desember malah jadi Hujjatul Islam.