Surat Terbuka untuk Politikus PKS Al Muzzammil Yusuf

Surat Terbuka untuk Politikus PKS Al Muzzammil Yusuf

Ada lompatan logika dalam pernyataan Al Muzzammil Yusuf. Consensual sex bukan konsep khusus untuk mengizinkan free sex antara mahasiswa/mahasiswi.

Surat Terbuka untuk Politikus PKS Al Muzzammil Yusuf

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Kapanpun Pak Al Muzzammil Yusuf membaca surat ini, saya harap Bapak sedang dalam keadaan yang sehat walafiat serta senantiasa dalam lindungan Allah.

Saya baru saja menonton video pernyataan Bapak yang diunggah di Instagram tanggal 13 September 2020 dan ramai diperbincangkan orang. Pada video tersebut, Bapak mengkritik materi consensual sex yang diunggah di kanal Youtube Direktorat Kemahasiswaan UI dengan judul “E-Class: Cegah Tindak Kekerasan Seksual – Puska Gender”. Bapak menyebut konsep ini adalah konsep barat. Maka tidak patut untuk diajarkan kepada mahasiswa di Indonesia.

Tentu saja, video ini menuai pro-kontra dari khalayak.

Lima hari kemudian, tepatnya pada 18 September 2020, Bapak kembali mengunggah video pernyataan di Instagram. Kali ini bapak menyebut UI bersikap dewasa dan bijaksana karena telah menurunkan materi mengenai consensual sex dari kanal Youtube mereka. Namun setelahnya Bapak kembali mengulang narasi Bapak dalam video pertama.

Bapak sendiri meyakini bahwa tujuan materi pembelajaran tersebut penting dan perlu untuk disampaikan kepada civitas academica. Namun bukan dengan pendekatan sexual consent. Karena selain berdimensi perlindungan diri, sexual consent juga mengandung justifikasi dan sikap permisif terhadap hubungan seks di luar nikah dengan alasan persetujuan bersama.

Menilik dua video tersebut, saya haqqul yaqin Pak Muzzammil bukan orang yang sembarang menolak sebuah gagasan. Saya justru khusnudzon, Bapak mengerti betul konsep yang Bapak tolak ini. Sayangnya, Bapak mengambil kesimpulan yang keliru.

Pertama, Bapak terlalu gegabah menyamakan pendidikan consensual sex dengan free sex. Dalam video pertama Bapak menyebutkan pendidikan consensual sex sebagai “seks dengan persetujuan antara mahasiswa/mahasiswi”. Lantas di video kedua, Bapak menyebutkan nilai keagamaan dan kultural kita jauh dari free sex seperti di Barat.

Ada lompatan logika yang ngawur dalam pernyataan-pernyataan tersebut. Sebab consensual sex bukan konsep khusus untuk mengizinkan free sex antara mahasiswa/mahasiswi. Consensual sex adalah konsep general untuk mencegah tindakan kekerasan seksual kepada siapa saja.

Kedua, Bapak melupakan aspek pencegahan kekerasan seksual. Pendidikan consensual sex memiliki maksud mulia. Materi ini bertujuan membekali mahasiswa agar tidak menjadi pelaku ataupun korban kekerasan seksual. Entah dalam bentuk perkosaan maupun pelecehan seksual.

Hal ini sesuai dengan klarifikasi dari pihak UI. Mereka menyatakan bahwa materi sexual consent merupakan pembekalan agar mahasiswa dapat menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan terhadap keselamatan dan keamanan dirinya terkait aspek seksual.

Melalui surat ini saya ingin membagikan sedikit pengalaman saya.

Saya mendapatkan materi pendidikan seksual pertama saya saat SMP. Anak-anak SMP yang sedang dalam masa pubertas menyambut materi ini dengan antusias. Terutama anak-anak laki-laki. Apa yang diajarkan disana? Tentu saja seputar pengenalan tubuh dan hasrat seksual. Gunanya untuk mempersiapkan anak-anak menjelang atau di awal masa pubertasnya. Sama sekali tidak ada materi yang menjustifikasi apalagi mendorong, atau menyuruh untuk free sex, Pak.

Di bangku SMA saya kembali mendapatkan pendidikan seksual. Kali ini materinya berkembang lebih jauh. Pendidikan seksual semasa SMA mengajarkan saya tentang kesehatan reproduksi dan hubungan seksual yang aman. Lagi-lagi, meski ada bahasan mengenai hubungan seksual yang aman, materi tersebut murni bersifat edukasi. Sama sekali tidak ada persuasi agar para siswa/siswi SMA berani melakukan free sex.

Lantas, karena Bapak sempat mengutip UU 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), saya juga ingin menyitir UU yang sama. UU tersebut dalam pasal 36, ayat 3, huruf (g) menyatakan, “Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.”

Perkembangan ilmu pengetahuan saat ini telah membuat pendidikan seksual diperkaya dengan perspektif gender. Sehingga sekarang kita mengenal konsep consensual sex. Konsep ini lahir untuk menambal lubang menganga tindakan perkosaan/pelecehan seksual yang selama ini tersembunyi. Baik itu berupa kekerasan dalam pacaran (KDP) ataupun kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Saya yakin Bapak sudah tahu, tapi saya merasa perlu menegaskan lagi tentang fakta ini, Pak. Banyak sekali tindakan pemerkosaan di dalam rumah tangga karena pasutri tidak memahami soal consensual sex. Datanya bisa Bapak cek sendiri di Komnas Perempuan. Kalau Bapak benar-benar peduli dengan nasib anak bangsa, fenomena ini yang mestinya Bapak kritisi juga.

Tanpa konsep consensual sex, banyak sekali praktek hubungan seksual yang dilakukan dengan paksaan. Sedihnya, seringkali korbannya juga tidak langsung menyadari bahwa dia korban kekerasan seksual. Sebab pelakunya adalah pasangannya sendiri atau orang yang dia kenal dengan baik.

Lantas mungkin Bapak masih menyanggah, mengapa materi ini perlu disampaikan sebagai pembekalan mahasiswa baru? Sebab, bagi banyak masyarakat Indonesia, inilah kesempatan terakhir mereka untuk mendapatkan pendidikan sebelum kelak mereka berkeluarga. Bahkan ada pula sebagian mahasiswa/mahasiswi yang sudah menikah sebelum kuliah. Sebagian lagi memilih menikah di tengah-tengah menjalani masa studinya di universitas. Hal inilah yang membuat pembekalan materi consensual sex menjadi penting diajarkan kepada mahasiswa yang baru saja memasuki bangku kuliah.

Apalagi sampai sekarang belum ada aturan berskala nasional yang mewajibkan semua calon pengantin mengikuti pendidikan gender sebagai salah satu syarat untuk melangsungkan pernikahan. Kapan lagi waktu yang tepat, Pak?

Saya percaya, Pak, jika satu urusan diserahkan bukan kepada ahlinya maka tinggal menunggu saatnya terjadi kehancuran. Maka jika Pak Al Muzzammil Yusuf berkenan, alih-alih menolak, Bapak malah bisa berkolaborasi dalam memberikan materi consensual sex. Dokter dan psikolog dapat menyampaikan materi dari perspektif medis dan psikologis. Kemudian Pak Al Muzzammil Yusuf sendiri, yang saya anggap sebagai ahli agama, bisa menambahkan rambu-rambu consensual sex yang sesuai dengan tuntunan Islam.

Saya pikir inilah jalan tengah yang membawa maslahat bagi semua pihak.

Akhirulkalam, saya ingin menitip pesan. Tolong segera sahkan RUU PKS ya, Pak. Dengan pengetahuan seorang kader PKS yang begitu dalam terkait isu ini, saya yakin sebenarnya pembahasan RUU PKS tidak terlalu rumit kok bagi DPR.

Sekian dan terima kasih.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.