Kekerasan Seksual di Jombang: Bagaimana Perundungan Terhadap Penentang Bechi Bisa Terjadi?

Kekerasan Seksual di Jombang: Bagaimana Perundungan Terhadap Penentang Bechi Bisa Terjadi?

Kehadiran para buzzer dalam kasus kekerasan seksual di Jombang menggambarkan berbagai hal, mulai dari peran mereka dalam membentuk opini publik, alasan mereka melakukannya, hingga bagaimana kelompok berbasis agama dapat melakukan kekerasan. 

Kekerasan Seksual di Jombang: Bagaimana Perundungan Terhadap Penentang Bechi Bisa Terjadi?
Gambar: www.vocativ.com

Segregasi politik elektoral masih kita rasakan hingga hari ini, terutama di ranah digital. Lihat saja, perdebatan kedua kubu masih saling serang dalam banyak perbincangan yang tersebar di berbagai platform media sosial. Mereka tidak hanya menyerang argumen, namun tidak jarang juga merundung pihak lawan.  Seakan-akan, perundungan digital menjadi modus paling ampuh untuk melumpuhkan pihak lawan di era internet ini. Bahkan, hal ini mulai banyak jumpai di banyak keributan di dunia maya. Ini sebagaimana yang terjadi pada kelompok pembela korban kekerasan seksual di Jombang. Mereka “dihajar” para buzzer yang tidak terima jika idolanya terlibat kasus kriminal. Ironisnya, para buzzer ini bekerja tidak saja menyerang di ranah digital, namun di saat bersamaan juga bergentayangan di dunia nyata. 

Para pendukung korban atau mereka yang dianggap berseberangan pendapat akan disebut sebagai “gerombolan” oleh pihak Bang Bechi, panggilan populer untuk sosok tersangka kasus kekerasan seksual tersebut. Label tersebut bida dijumpai pada spanduk yang memuat potret tempat tinggal orang-orang yang mendukung korban. Mereka tidak saja dituduh telah menyerang Pondok Pesantren, bahkan lebih jauh juga dianggap menodai Islam. 

Serangan pada kelompok pembela korban tidak saja bersifat psikis, namun juga fisik. Bahkan, ada beberapa orang yang mendapatkan serangan berupa “boikot ekonomi”. 

Perilaku menyerang pihak yang tidak setuju tentu saja tidak dapat diterima, terlebih serangannya tidak lagi mengarah pada argumen dan justru bersifat pribadi dan fisik seseorang. Namun, serangan tersebut kemungkinan besar dilakukan secara sadar dan tanpa paksaan, apalagi dibayar. 

Mengapa masih pembelaan terhadap pelaku kekerasan seksual? Jika dikaitkan dengan kasus Jombang jelas memiliki penjelasan yang kompleks. Artinya, kompleksitas permasalahan kekerasan seksual di Jombang tentu tidak bisa hanya dipahami dari satu sisi saja. 

Namun, satu hal yang perlu kita sadari terlebih dahulu yaitu dinamika otoritas agama yang turut mewarnai dinamika kasus tersebut, termasuk permasalahan buzzer di atas. Benarkah demikian? Apakah hanya poin tersebut yang berperan?

***

Sebagaimana dijelaskan di atas, relasi guru-murid adalah bagian dari kompleksitas kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Bang Bechi, termasuk kemunculan para buzzer. Namun, yang perlu dipahami adalah kompleksitas persoalan ini tentu tidak bisa selesai dari penjelasan hubungan tersebut. 

Kehadiran para pendengung dalam kasus kekerasan seksual di Jombang, misalnya, menggambarkan berbagai hal, mulai dari peran mereka dalam membentuk opini publik, alasan mereka melakukannya, hingga bagaimana kelompok berbasis agama dapat melakukan kekerasan. 

Peran media dalam kasus pendengung ini cukup krusial. Sebelum lebih jauh, kita perlu mengulik kembali bagaimana media memiliki peran dalam membentuk opini publik. Ketika kasus ACT mencuat di publik, seorang influencer bernama Aab el-Karimi dalam konten Tik Toknya menyebut apa yang dilakukan oleh Tempo adalah “Penghakiman Media Massa”. 

Bang Aab melihat apa yang dilakukan lembaga pers ternama, semacam Tempo, strategi “konspirasi” yang menyudutkan lembaga filantropi tersebut. Padahal, dia mengabaikan titik krusial dalam  pencarian informasi di sebuah lembaga pers, yang selalu disandarkan pada kode etik dan proses penyelidikan investigatif yang rigid.

Kasus para pendengung di Jombang yang mencoba mempengaruhi dan membentuk opini publik tidak jauh berbeda dengan Bang Aab di atas. Apa yang mereka lakukan tidak saja mengabaikan proses hukum yang telah dilalui hingga sampai pada status tersangka. 

Di sisi lain, para buzzer tersebut juga menganggap ada “musuh bersama” yang mengancam mereka, pesantren, kyai mereka, dan lebih jauh Islam sebagai agama yang mereka peluk. Makanya, mereka melihat perlu serangan balasan yang setimpal, demi “membalas” (baca: menyaingi) opini yang telah tersebar tersebut.

Jika Aab melihat bahwa media massa memiliki “kekuatan superpower” yang dapat mengancam ACT, maka para pendengung tersebut melihat media, termasuk media sosial, telah tercemar. Sehingga, mereka perlu merebut kembali opini publik. 

Maka, mereka menyebarkan siapa saja yang melawan dan bertentangan, bahkan lebih jauh mereka juga dihancurkan kehidupannya. Serangan tersebut menegaskan bahwa peran media dalam menjadi medium yang dapat dimanfaatkan siapa saja, dapat menjadi pisau bermata ganda, bukan lagi sebagai media demokratis yang menyediakan ruang bagi siapapun untuk berbicara. 

Usaha mereka ini tidak saja mempetegas peran media dalam mempercepat penyebaran serangan, memperparah, dan memperbesar pengaruh dari kerusakan yang terjadi. Namun di saat bersamaan juga turut menyembunyikan sosok penyerang yang melakukannya. 

***

Sufisme atau tasawuf, kita ketahui bersama, adalah ajaran dalam Islam yang lekat dengan diskusi soal “Cinta-Kasih”. Tarekat yang terbentuk dalam Ponpes Shiddiqiyyah tersebut malah bergeser menjadi dorongan pada aksi kekerasan. Bagaimana pergeseran bisa terjadi? Tentu ini masih menjadi pertanyaan kita bersama. 

Kita tidak bisa melempar jawaban dari pertanyaan tersebut pada relasi guru-murid, yang menuntut kesetiaan sehingga dapat mendorong orang melindungi guru atau patron mereka. Sebab, hal tersebut rentan mengabaikan dinamika lain yang turut mewarnai penyerangan kelompok pembela korban. 

Beberapa netizen menyebut tindakan kejam para pendengung (baca: buzzer) di  atas disandarkan pada argumen “Patron-klien”. Namun, menurut saya, ada permasalahan yang luput dari pendapat tersebut, yakni relasi antara para buzzer dan kyai pesantren tersebut. 

Oleh sebab itu, kita perlu memahami bahwa relasi antar dua entitas tersebut tidak disandarkan pada relasi kuasa. Argumen ini bisa ditelusuri dalam kajian yang dilakukan oleh Ismail Fadjrie Alatas, dalam buku What Is Religious Authoriy: Cultivating Islamic Communitites in Indonesia. 

Dalam buku tersebut, Habib Adjie, panggilan akrab Ismail Fadjrie Alatas, mengatakan bahwa hubungan keduanya tidak disandarkan pada kekuasaan. Jadi, teori argumen tersebut jelas mengabaikan fakta bahwa hubungan antara jemaah dan ulama tidak dibangun atas dasar paksaan. 

Hubungan antar dua entitas tersebut dibangun dengan fondasi yang lebih kompleks, dibanding dengan relasi kuasa. Sebab, dalam hubungan tersebut, ulama atau kyai memiliki peran yang besar dalam membangun, merawat, dan mengembangkan relasi dengan jemaah, untuk menjadikannya sebagai otoritas. 

Merawat jemaah adalah bagian dari kerja panjang sang kyai atau ulama untuk tetap menjaga posisinya sebagai otoritas. Jadi, kita harus memahami relasi kedua entitas tersebut jelas berlangsung dua arah, tidak dipaksa, dan dinamis. 

Akibatnya, aksi membela Bang Bechi tersebut tentu saja dilakukan secara sukarela dan sadar. Para pembela ini hanya melihat bahwa ulama, beserta keluarganya, sedang “terancam” tentu mereka harus menyatakan kesetiaannya dengan turut membela. 

Sebagaimana telah kita ketahui, Pondok Pesantren Shiddiqiyyah adalah bagian dari gerakan Tarekat dengan nama yang sama. Kesetiaan yang diekspresikan oleh para pendengung tidaklah sama dengan kepatuhan terhadap patron, namun di titik ini lebih terkait pada loyalitas dan merasa menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam diri. 

Sekali lagi, jemaah tidak dibangun pada dasar kepatuhan pada pemimpin belaka, jadi pergeseran wacana sufisme di dalamnya tidak bisa divonis hanya pada persoalan guru-murid. Memang, mungkin saja, nilai loyalitas terhadap guru dapat berperan menggeser narasi cinta kasih dalam sufi. Namun, rasanya pergeseran tidak dibangun hanya dalam satu hari dan banyak faktor yang turut berperan.

Fatahallahu alaina futuh al-arifin