Kekerasan Seksual di Lingkungan Pesantren, Pimpinan Ponpes Perkosa Santriwati Hingga 10 Kali

Kekerasan Seksual di Lingkungan Pesantren, Pimpinan Ponpes Perkosa Santriwati Hingga 10 Kali

Kasus kekerasan seksual yang melibatkan tokoh agama kembali terungkap. Kali ini, seorang pimpinan salah satu pondok pesantren di Kab. Subang berinisial DAN (45) memerkosa salah seorang santriwati yang masih berusia 15 tahun hingga 10 kali. Perbuatan bejat tersebut ia lakukan sejak Desember 2020 hingga Desember 2021, namun pelaku baru diamankan pada 10 Juni 2022 sebelum akhirnya resmi ditangkap pada 22 Juni 2022.

Kekerasan Seksual di Lingkungan Pesantren, Pimpinan Ponpes Perkosa Santriwati Hingga 10 Kali

Kasus kekerasan seksual yang melibatkan tokoh agama kembali terungkap. Kali ini, seorang pimpinan salah satu pondok pesantren di Kab. Subang berinisial DAN (45) memerkosa salah seorang santriwati yang masih berusia 15 tahun hingga 10 kali. Perbuatan bejat tersebut ia lakukan sejak Desember 2020 hingga Desember 2021, namun pelaku baru diamankan pada 10 Juni 2022 sebelum akhirnya resmi ditangkap pada 22 Juni 2022.

Sebagaimana dilansir detik.com, pelaku mengakui bahwa ia pertama kali melakukannya saat mengajar sang santriwati. Dengan dalih memberikan pelajaran khusus, pelaku memaksa korban untuk memenuhi nafsu bejatnya. Bahkan, ia berdalih kepada korban hal tersebut dilakukan sebagai proses belajar dan dalam rangka meraih ridho dari guru.

Kekerasan seksual yang dilakukan oleh DAN yang juga merupakan seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kementerian Agama ini baru terungkap setelah orang tua korban mendapati sepucuk surat yang ditulis oleh korban sendiri. Dalam surat tersebut, korban menceritakan perbuatan bejat yang dilakukan pelaku kepadanya.

Menanggapi berita tersebut, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Bidang Pendidikan dan Hukum, Savic Ali, menekankan pentingnya sistem pencegahan dan deteksi dini untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual di lingkungan pesantren.

“Mesti ada sistem pencegahan dan deteksi dini terkait kekerasan seksual (dan bullying) di pesantren. Bisa dimulai dengan sistem pengaduan yang disediakan oleh negara.” Tulisnya dalam akun twitter pribadinya, @savicali .

Tanggapan tersebut cukup beralasan, mengingat kasus kekerasan seksual di lingkungan pesantren bukan kali pertama terjadi. Sebelumnya, masyarakat juga dihebohkan dengan perbuatan bejat yang dilakukan Herry Wirawan (HW), seorang pimpinan Pesantren Tahfidz Madani, Cibiru, Bandung, tega memekosa 13 santriwatinya. HW kini mendekam di Rumah Tahanan (Rutan) Kelas I Bandung setelah divonis hukuman mati pada April 2022 silam.

Menurut data Komnas Perempuan yang dirilis pada tahun 2020, dari 51 kasus yang diadukan sepanjang 2015 hingga 2020, pesantren menjadi lembaga pendidikan dengan kasus kekerasan seksual tertinggi kedua, yakni sebanyak 19 persen, di bawah Perguruan Tinggi (PT) yang menempati urutan pertama dengan angka 27 persen. Data tersebut masih bisa bertambah mengingat tidak semua kasus dilaporkan kepada pihak berwenang karena alasan tertentu.

Upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan PT telah dilakukan melalui Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Oleh karena itu, Savic Ali juga menekankan agar upaya juga bisa diikuti oleh pesantren.

“Sistem pencegahan di lingkungan perguruan tinggi sudah ada. Pesantren mestinya juga bisa.” Tulisnya.

Adanya relasi kuasa di lingkungan pesantren seringkali membuat santri tidak berdaya saat mengalami perlakuan tidak senonoh dari kyai atau gurunya. Oleh karena itu, sudah seharusnya lembaga negara yang berwenang dalam hal ini mengambil langkah yang serius agar kekerasan seksual tidak terjadi lagi.