Sejak masuknya arus modernisasi ke dalam Islam, pengeras suara (microfont, speaker, toa, dan lain-lain) merupakan instrument terpenting dalam pembangunan masjid. Kurang afdal rasanya, apabila suatu masjid tidak memiliki pengeras suara. Pada awalnya, pengeras suara tidak langsung diterima dan digunakan oleh umat Islam, khususnya di Indonesia. Kehadirannya menuai perdebatan di kalangan ulama, karena ini dianggap sebagai sesuatu yang baru alias bid’ah. Bahkan, hingga saat ini masih ditemukan beberapa masjid yang enggan menggunakan pengeras suara.
Pada bulan ramadhan misalnya, penggunaan pengeras suara biasanya lebih masif ketimbang hari lainnya. Hampir semua kegiatan keagamaan membutuhkan pengeras suara, terutama bagi masjid-masjid yang menampung ribuan jamaah. Apabila penggunaan pengeras suara tidak diatur, dikhawatirkan akan memicu konflik, protes, dan ketegangan di masyarakat.
Penggunaan pengeras suara untuk kepentingan adzan, salat jama’ah, dan khutbah jum’at, tidak terlalu menuai protes dari masyarakat dan masih bisa dimaklumi. Meskipun sebagian orang juga protes dengan penggunaan pengeras suara ketika adzan. Namun yang perlu diperhatikan adalah untuk kegiatan-kegiatan semisal salat taraweh, tadarus al-Qur’an, memutar kaset pengajian, perlu dibuat semacam aturan yang dapat memberikan kemaslahatan bersama antara masjid dan masyarakat sekitarnya.
Permasalahannya bukan saja pada level hubungan masjid dengan masyarakat, tetapi juga antara satu masjid dengan masjid lainnya. Bisa dibayangkan bagaimana ramainya ketika ada beberapa masjid yang berdekatan, kemudian masing-masing masjid meninggikan volume pengeras suaranya. Tindakan semacam ini tentu bisa menganggu ketenangan orang yang sedang beribadah. Oleh karenanya, di Arab Saudi, pemerintah mengeluarkan aturan agar masing-masing masjid tidak meninggikan volume pengeras suara, supaya orang yang salat di masjid lain tidak terganggu.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas dijelaskan bahwa bacaan Nabi SAW ketika salat hanya sekedar terdengar oleh orang-orang yang ada di ruangannya (rumahnya), (HR: Abu Daud). Abu Daud menjelaskan bahwa hadis ini menunjukan kebolehan seseorang untuk mengeraskan bacaannya (dalam konteks salat malam) apabila hal itu tidak menganggu orang lain yang sedang tidur. Namun, jika bacaan tersebut dikhawatirkan akan menganggu, maka dianjurkan untuk merendahkan suara bacaan. Dalam hadis lain disebutkan bahwa Nabi SAW bersabda, “Ketahuilah bahwa setiap dari kalian sedang bermunajat kepada rabbnya, maka janganlah sebagian kalian menganggu yang lainnya. (HR Ahmad dan Abu Daud )
Kedua hadis di atas menunjukan bahwa seyogyanya seseorang menghindari perbuatan atau aktifitas yang dapat menganggu ketenangan orang lain. Aktifitas tersebut bisa dalam bentuk ibadah (ritual) ataupun non-ibadah. Artinya, jangan sampai ibadah yang kita lakukan menganggu kenyamanan orang lain dan jangan sampai pula perbuatan yang kita lakukan menganggu kekhusyukan orang yang sedang beribadah. Konsep ini bisa dijadikan sebagai pedoman utama untuk menciptakan masjid yang ramah lingkungan.
Di samping itu, untuk menghindari konflik, alangkah baiknya pengurus masjid mengajak masyarakat sekitarnya untuk berdialog. Pengurus bisa menanyakan langsung, bagaimana pendapat warga tentang kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di masjid. Apakah menganggu mereka atau tidak. Bisa jadi, maksud dari pengurus masjid baik, akan tetapi belum tentu masyarakat sekitarnya merespon dengan baik pula. Sehingga perlu adanya dialog yang bisa menjembati keluh-kesah warga dengan pengurus masjid.
Demikian pula dengan warga, perlu dikedepankan sikap saling menghargai dan memahami. Masjid sebagai pusat kegiatan keagamaan, tentu mau tidak mau butuh kepada pengeras suara, untuk sosialiasasi, menyebarluaskan syiar Islam, dan lain-lain. Masyarakat juga tidak adil ketika meminta pengurus masjid untuk tidak menggunakan pengeras suara, termasuk untuk kepentingan adzan. Dengan mengedapankan sikap terbuka, dialog, saling menghargai dan memahami, diharapkan ke depannya hubungan masjid dengan masyarakat sekitarnya menjadi lebih baik dan aman.