Sultanah Syafiatuddin Syah, Ratu Aceh yang Seorang Penulis

Sultanah Syafiatuddin Syah, Ratu Aceh yang Seorang Penulis

Syafiatuddin Syah adalah satu-satunya ratu Aceh dalam sejarah kerajaan Aceh Darussalam.

Sultanah Syafiatuddin Syah, Ratu Aceh yang Seorang Penulis

Diskursus tentang kepemimpinan dalam Islam selalu menimbulkan polemik, apalagi jika yang digadang-gadang menjadi pemimpin adalah sosok perempuan. Tentu yang muncul adalah pro dan kontra, apalagi perempuan selalu dipandang tidak cocok untuk mempunyai partisipasi dalam ruang publik. ratu aceh

Namun dalam sejarahnya, terdapat banyak perempuan yang menjadi pemimpin. Salah satunya adalah sultanah Syafiatudin yang pernah memimpin kerajaan Aceh Darussalam selama 30 tahun lebih.

Aceh yang terkenal dengan syariat Islamnya yang ketat, dalam sejarahnya justru pernah mempunyai pemimpin perempuan. Salah satunya adalah Sultanah Syafiatuddin Syah yang lahir pada tahun 1612 M, putri tertua Sultan Iskandar Muda.

Sebagaimana dijelaskan dalam buku Perempuan-perempuan Aceh Tempo Dulu yang Perkasa, beliau mempunyai gelar “Paduka Sri Sultanah Ratu Safiatuddin Tajul-’Alam Syah Johan Berdaulat Zillu’llahi fi’l-’Alam binti al-Marhum Sri Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Syah.”

Nama “Putri Sri Alam Safiatuddin Tajul-’Alam”  sendiri mempunyai arti “kemurnian iman, mahkota dunia.” Beliau memerintah antara tahun 1641-1675 M, pada waktu itu kerajaan Aceh sedang berada pada masa-masa sulit karena Malaka diperebutkan oleh Portugis dan VOC.

Sebelum menjadi Sultanah, Aceh dipimpin oleh suaminya yaitu Sultan Iskandar Tsani (1637-1641 M). Setelah Sultan Iskandar Tsani meninggal, ternyata sulit mencari pengganti laki-laki yang masih mempunyai hubungan keluarga dengan kerajaan. Satu-satunya yang masih mempunyai hubungan dekat adalah perempuan bernama Syafiatuddin Syah.

Terjadilah kericuhan dalam mencari penggantinya, karena kelompok Ulama dan Wujudiah banyak yang tidak menyetujui jika perempuan menjadi pemimpin dengan alasan-alasan tertentu. Akan tetapi ada ulama besar bernama Nurudin Ar-Raniri yang menengahi kericuhan itu dengan menolak argumen-argumen kaum ulama, sehingga Sultanah Syafiatuddin diangkat menjadi sultanah.

Sultanah Syafiatuddin adalah sosok perempuan pertama yang memimpin kerajaan Aceh Darussalam, bahkan beliau berkuasa selama 30 tahun lebih. Tentu hal ini sangat luar biasa, karena sosok perempuan mampu memimpin sebuah kerajaan besar dalam jangka waktu yang lama. Bahkan dalam pemerintahannya, beliau berhasil membentuk barisan perempuan pengawal istana yang turut berperang dalam Perang Malaka tahun 1639 M.

Selain itu, banyak kebijakan yang bernilai positif dilakukan oleh beliau, salah satunya adalah tradisi pemberian hadiah tanah kepada pahlawan perang. Ia juga berhasil memertahankan hubungan diplomasi dengan kerajaan-kerajaan lain sehingga nama besar Kesultanan Aceh Darussalam tetap terjaga.

Dalam buku Aceh Serambi Mekkah, dijelaskan bahwa di masa kekuasaannya, Aceh Darussalam mengalami kemajuan pesat dalam berbagai bidang, termasuk ekonomi, agama, hukum, seni dan budaya, hingga ilmu pengetahuan. Lewat berbagai prestasinya itulah, beliau dihormati oleh rakyatnya dan disegani oleh para penjajah.

Di masa pemerintahannya, Sultanah Syafiatuddin juga mendirikan perpustakaan negara sebagai bentuk pengembangan ilmu pengetahuan dan usaha untuk mencerdaskan rakyatnya. Selain itu, sang ratu juga memberikan dukungan penuh kepada para sastrawan dan kaum intelektual untuk mengembangkan bakat. Di masa inilah lahir para cendekiawan seperti Hamzah Fanshuri, Nuruddin Ar-Ranirry, Abdur Rauf, dan lainnya.

Pada masa pemerintahannya juga terdapat dua orang ulama laki-laki yang menjadi penasehat pemerintahan pada masa kepemimpinannya, yaitu Nuruddin ar-Raniri dan Abdur Rauf Singkil yang bergelar Teungku Syiah Kuala.

Atas permintaan sang ratu, Nuruddin menulis sebuah kitab yang berjudul Hidayatul Imam yang ditujukan bagi kepentingan rakyat umum, sedangkan  Abdur Rauf Singkil menulis kitab berjudul Mir’at al-Thullab fî Tasyil Mawa’iz al-Badî’rifat al-Ahkâm al-Syar’iyyah li Malik al-Wahhab, untuk menjadi pedoman bagi para hakim dalam menjalankan tugasnya. Hal tersebut menjadi salah satu bukti bahwa Sultanah Syafiatuddin bukan saja mengutamakan kesejahteraan negerinya tetapi juga berusaha menjalankan pemerintahannya sesuai dengan Islam.

Selain sebagai seorang pemimpin, beliau juga seorang penulis. Pada masanya, perkembangan sastra sangat pesat. Beliau banyak menulis sajak-sajak dan cerita pendek. Bahkan untuk mencerdaskan rakyatnya, beliau mendirikan perpustakaan yang tidak banyak dilakukan oleh para pemimpin atau pemegang pemerintahan pada umumnya. Perkembangan sastra yang begitu pesat, tidak lain karena sang ratu juga merupakan sosok yang cinta terhadap baca tulis.

Walaupun tidak banyak literatur yang menjelaskan Sultanah Syafiatudin Syah, namun usahanya memimpin sebuah kerajaan terbilang nyata. Hal tersebut menunjukkan bahwa perempuan juga memiliki kemampuan dan hak untuk memimpin sebuah lembaga besar.

Dalam sejarahnya, Aceh juga pernah beberapa kali dipimpin oleh perempuan namun tidak semua ratu itu sanggup membawa Kesultanan Aceh Darussalam merasakan era emas seperti pada masa Sultanah Syafiatuddin.

Dengan popularitasnya sebagai daerah di Indonesia yang menerapkan syariat Islam yang ketat, ternyata Aceh juga pernah memiliki rekam sejarah gemilang di bawah kepemimpinan kaum perempuan.

Usahanya dalam memimpin tentu patut menjadi teladan bagi kaum perempuan dan kita semua, bahwasanya untuk mewujudkan adanya sebuah kemajuan adalah dengan mewujudkan adanya peran nyata dalam masyarakat. (AN)