Kontroversi Sufisme Syaikh ar-Raniri

Kontroversi Sufisme Syaikh ar-Raniri

Kontroversi Sufisme Syaikh ar-Raniri
rumi

Syaikh Nuruddin ar-Raniri, bernama lengkap Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasanji al-Hamid. Ia lahir di Ranir, atau biasa disebut Randir, kota pelabuhan tua di kawasan pantai Gujarat, pada pertengahan abad XVI. Ibu Syaikh Nuruddin merupakan keturunan Melayu, sedangkan ayahandanya berasal dari keluarga imigran Hadramaut.

Ar-Raniri merupakan tipe pengelana, pencari ilmu. Pada 1621 M, ia berkelana ke Makkah dan Madinah untuk menuntaskan ibadah haji serta ziarah ke makam Nabi Muhammad Saw. Pada proses ibadah haji inilah, ar-Raniri bertemu dengan para peziarah dari Nusantara, dan sebagian dari mereka yang sudah lama menetap di Makkah untuk belajar agama.

Syaikh ar-Raniri lebih dekat sebagai sufi dibandingkan dengan pakar fiqih. Karya-karya ar-Raniri sejumlah tiga puluh, sebagian besar membahasa masalah tasawuf dan aqidah. Kajian-kajian yang menyangkut polemik dengan paham wihdat a-wujud, yang dikampanyekan Hamzah al-Fansuri dan as-Sumatrani.

Ar-Raniri juga dikenal sebagai penganut tarekat Qadiriyah, Rifa’iyyah dan al-Audarusiyyah. Hal ini menjadikan pemikiran fiqihnya bernuansa tasawuf, dan sebaliknya karya-karya dalam tasawuf berdimensi fiqih. Kritik-kritiknya yang tajam terhadap paham wihdat al-wujud semata-mata berorientasi untuk mengharmoniskan dimensi syariah dan tasawuf (Mahsun Fuad, 2005: 36-8).

Dalam kitabnya, Shirath al-Mustaqim, yang ditulis pada 1634 – 1644 M, terdapat pemikiran yang menunjukkan betapa ia mendorong penataan cara beragama golongan yang mengusung Panteisme. Di antaranya, pendapatnya mengenai tidak sahnya shalat seseorang yang menjadi makmum dari penganut paham Wujudiyyah yang mulhid, bahwa pemotongan hewan yang dilakukan golongan wujudiyyah tidak sah sebagaimana pemotongan hewan yang dilakukan oleh orang murtad dan musyrik.

Pemikiran lainnya, yang menimbulkan kontroversi, yakni istinja’ harus menggunakan barang yang secara jelas tidak dilarang oleh syara’, semisal tulang dan kulit binatang yang belum disamak, serta lebih baik menggunakan kitab Taurat dan Injil yang telah berubah isinya untuk istinja’ daripada menggunakan sesuatu yang dilarang agama.

Tentu saja, fatwa ini kemudian mengundang kritik dari ulama yang tidak setuju dengan pemikiran ar-Raniri. Syaikh Ibrahim Hasan al-Kurani mengecam keras fatwa ini, serta mengingatkan bahaya yang merentang luas dari fatwa ini.

Syaikh Nuruddin ar-Raniri berulang kali berkunjung ke Aceh. Ia pertama kali masuk ke Aceh, pada 3 Mei 1637, yang kemudian pulang ke negerinya di Ranir pada 1644. Pasca wafatnya Sultan Iskandar Tsani, Syaikh Nuruddin ar-Raniri memutuskan kembali ke Ranir. Syaikh ar-Raniri kembali lagi ke Aceh, setelah Sultanah Tajul Alam memerintah menggantikan suaminya. Ketika berada di Aceh, Syaikh ar-Raniri terlibat dalam perdebatan sengit dengan Hamzah Fansuri dan as-Sumatrani.

Ketika di Aceh, ar-Raniri sempat mengajar Syaikh Yusuf al-Makassari, dengan memberi ijazah tarekat Qodiriyah, seperti yang ditulis Syaikh Yusuf dalam risalah Safinat an-Najah. Risalah tersebut menceritakan, bahwa Syaikh Yusuf menerima tarekat Qadiriyah dari “Syaikh kami yang alim, arif sempurna, dan menyatukan antara ilmu Syariat dan ilmu Hakikat, penghulu kami Syekh Nuruddin Hasanji bin Muhammad Hamid al-Qurasyi ar-Raniri,”.

Sebagaimana dicatat Abu Hamid (1994: 91) silsilah tarekat ini diperoleh dari gurunya, seperti yang dikatakan Syaikh Nuruddin menerima dari syekhnya, yakni Maulana Sayed Umar bin Abdullah bin Abd. Rahman Ba’ Syaebani al-Hadrami Burhan Nufuri di tanah Hindi. Nama-nama Syaikh turun-temurun berjumlah 29 orang, yang tersambung ke Sayyidina Rasulullah Saw.

Meski menimbulkan kontroversi dalam rentang panjang khazanah sufisme Nusantara, Syaikh Nuruddin ar-Raniri tidak bisa dilupakan dalam catatan panjang tokoh sufi yang memiliki pengaruh besar di Aceh. Pemikiran-pemikiran ar-Raniri membuka pintu lebar untuk kajian serta kontekstualisasi pada masa kini (Munawir Aziz).