Laksamana Keumalahayati, Panglima Perang Perempuan Pertama Indonesia

Laksamana Keumalahayati, Panglima Perang Perempuan Pertama Indonesia

Laksamana Keumalahayati disebut sebagai pemimpin pasukan perang perempuan pertama dalam sejarah Indonesia.

Laksamana Keumalahayati, Panglima Perang Perempuan Pertama Indonesia

Peran perempuan dalam membangun sebuah peradaban bangsa begitu besar, namun jasa-jasanya jarang tercatat dalam sejarah. Sehingga ada anggapan bahwa kaum perempuan tidak mempunyai peran dan juga tidak memiliki kapasitas untuk berperan lebih banyak dalam membangun bangsa. Di Indonesia sendiri, banyak tokoh-tokoh perempuan yang mempunyai peran besar dalam berbagai bidang, salah satunya adalah Laksamana Keumalahayati atau yang terkenal dengan Malahayati.

Malahayati merupakan putri dari Laksamana Mahmud Syah atau cucu dari Muhammad Said Syah. Muhammad Said Syah sendiri merupakan putra Sultan Salahudin Syah yang memerintah kesultanan Aceh Darussalam pada tahun 1530-1539 M. Sedangkan Salahudin Syah adalah putra dari pendiri kerajaan Aceh Darussalam yaitu Sultan Ibrahim Ali Mughayyat Syah (1512-1530 M). Sehingga dalam hal ini, Malahayati masih termasuk keturunan dari pendiri kerajaan Aceh Darussalam.

Sejak kecil, Malahayati telah ditinggal mati oleh ibunya, sehingga kehidupan Malahayati banyak dihabiskan dengan sang ayah, bahkan sang ayah sering mengajaknya pergi dengan menggunakan kapal perang. Hal ini kemudian berpengaruh terhadap perkembangan pribadi Malahayati.

Selain itu, Malahayati juga tidak meninggalkan semangatnya untuk belajar. Pendidikannya sendiri dimulai dengan belajar agama di Meunasah, Rangkang dan Dayah yang ada di daerahnya. Lembaga-lembaga tersebut merupakan lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan kerajaan Aceh Darussalam.

Sebagaimana dijelaskan dalam buku Perempuan-Perempuan Pengukir Sejarah karya Mulyono Atmosiswartoputro, ketika masih remaja, Malahayati masuk ke akademi militer di bawah naungan kesultanan Aceh Darussalam, dan diterima di akademi militer Mahad Baitul Makdis dengan mengambil jurusan angkatan laut. Dalam perjalanannnya ketika belajar di akademi militer tersebut, Malahayati juga sempat berkenalan dengan seniornya, kemudian jatuh cinta dan menikah dengan seniornya tersebut.

Setelah selesai belajar di akademi militer, Malahayati kemudian bekerja di kesultanan Aceh Darussalam. Beliau menjadi komandan protokol istana Daruddunia. Jabatan tersebut adalah buah dari kepercayaan Sultan Aceh Darussalam pada waktu itu kepada Malahayati.

Ketika Aceh Darussalam diperintah oleh Sultan al-Mukammil (1589-1604 M), terjadi sebuah pertempuran besar dan sengit antara kerajaan Aceh Darussalam melawan Portugis yang terjadi di Teluk Haru. Pertempuran tersebut terjadi karena sejak Portugis berhasil menduduki Malaka pada tahun 1511 M, Portugis ingin menguasasi Aceh untuk dijadikan daerah jajahannya namun hal tersebut mendapatkan perlawanan dari kerajaan Aceh Darussalam.

Dalam pertempuran tersebut, Sultan al-Mukammil dibantu oleh dua orang laksamana yang salah satunya adalah suami Malahayati. Namun akibat perang tersebut, kesultanan kehilangan banyak prajurit termasuk laksamana yang merupakan suami Malahayati.

Malahayati yang melihat suaminya gugur dalam peperangan tersebut, membuat dirinya ingin menuntut balas dan ingin meneruskan perjuangan suaminya. Malahayati kemudian memohon kepada Sultan al-Mukammil untuk membuat sebuah armada yang semua prajuritnya adalah para perempuan yang suaminya gugur dalam pertempuran di Teluk Haru. Kemudian sang sultan mengabulkan permintaan Malahayati dan menunjuknya sebagai panglima terhadap armada yang dibentuknya. Armada tersebut kemudian diberi nama armada Inong Balee.

Armada bentukan Malahayati tersebut kemudian bermarkas di Teluk Lamreh, Krueng Raya. Di sekitar teluk itulah, Malahayati kemudian membangun benteng pertahanan yang diberi nama Kuto Inong Balee. Selain menjadi benteng pertahanan, benteng yang dibangun Malahayati juga dijadikan tempat untuk mengawasi pergerakan berbagai kapal yang melintas di daerah kesultanan Aceh Darussalam, sekaligus sebagai tempat tinggal bagi para pasukan Inong Balee.

Selain membentuk armada perang, jasa besar Malahayati dan armada yang dibuatnya adalah ketika terjadi peristiwa penyerbuan yang dilakukan oleh Malahayati dan pasukannya, terhadap empat kapal dagang Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman dan Frederijk de Houtman pada tanggal 21 Juni 1599 M.

Hal tersebut dilakukan oleh Malahayati karena empat kapal dagang milik Belanda diniliai menyamarkan identitas, yaitu dari kapal perang ke kapal dagang. Sehingga sultan mengutus Malahayati untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.

Sehingga terjadilah pertempuran antara kedua belah pihak, bahkan terjadi duel satu lawan satu yang terjadi di atas kapal tersebut. Malahayati yang menjadi komandan tempur berhasil membunuh Cornelis de Houtman, sedangkan Federijk de Houtman ditangkap dan diserahkan ke sultan.

Jasa dan peran Laksamana Keumalahayati dalam melawan penjajah juga tidak hanya sekali saja. Ketika setahun setelah kejadian tersebut, tepatnya pada November 1600 M. Belanda kembali membuat onar, dengan adanya dua kapal dagang yang dipimpin oleh Paulus Van Caerden merampok dan menenggelamkan kapal dagang Aceh. Akibat dari hal tersebut, Kapal Jacob Van Neck yang tidak tahu apa-apa ditangkap oleh Malahayati.

Buntut dari adanya kejadian tersebut adalah pihak Belanda lewat pangeran Mourits meminta maaf kepada Aceh yang kemudian diadakan perundingan damai. Mourits kemudian mengirimkan surat maaf kepada Aceh, yang dibawa oleh Gerard de Roy dan Laksamana Laure s Bicker. Pada 23 Agustus, 1601 M, diadakanlah perundingan damai dengan Malahayati.

Belanda kemudian memberi ganti rugi kepada Aceh dengan 50.000 Gulden atas ulah Paulus Van Caerden. Dari pihak kerajaan Aceh juga kemudian membebaskan Frederijk de Houtman. Dan sejak itulah, hubungan Belanda dan Aceh kembali membaik.

Selain berhasil menjalin hubungan diplomatik yang baik dengan Belanda, Laksamana Keumalahayati juga mampu menjalin hubungan diplomatik dengan Inggris. Dalam hal ini, Inggris ingin supaya Aceh memusuhi Portugis dan membantu utusan-utusan Inggris yang ada di Aceh. Malahayati kemudian meminta kepada Inggris untuk membuat perjanjian tertulis, yang kemudian disetujui oleh Inggris. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga kestabilan keamanan kerajaan.

Selain sebagai seorang panglima perang, Laksamana Keumalahayati merupakan sosok perempuan yang mampu berdiplomasi dengan baik. Beliau tidak hanya seorang perempuan yang pemberani untuk melawan para penjajah yang ingin menguasai Nusantara khususnya daerah Aceh, tetapi juga seorang perempuan yang tegas dan cerdas.

Walaupun tanggal kelahiran dan kematian Malahayati tidak diketahui secara pasti, namun jasa-jasanya dalam melawan para penjajah begitu besar dan layak untuk dicatat dalam sejarah. Karena beliau adalah sosok perempuan dari kerajaan Islam, yang menjadi panglima atau pemimpin pasukan perang. Bahkan para sejarawan menyebut Malahayati adalah panglima perempuan pertama di Indonesia, ada juga pendapat yang menyebutnya sebagai panglima pertama perempuan di dunia. (AN)