Sudah Dapat Broadcast Peringatan Tahun Baru Masehi Haram?

Sudah Dapat Broadcast Peringatan Tahun Baru Masehi Haram?

“Waspadalah… Dalam Semalam Menjadi Penganut 3 Agama Sekaligus,” begitulah penggalan broadcast tentang peringatan tahun baru masehi yang disebut haram.

Sudah Dapat Broadcast Peringatan Tahun Baru Masehi Haram?

“Waspadalah… Dalam Semalam Menjadi Penganut 3 Agama Sekaligus.”

Demikian judul broadcast yang dibagikan seorang teman di grup Whatsapp. Awalnya, saya mengira pembahasannya tentang sinkretisme agama. Ternyata bukan, isi dari broadcast yang dibagikan itu tentang peringatan tahun baru Masehi. Katanya, kalau ikutan melihat petasan di tahun baru Masehi kita menjadi penganut Majusi, Kristen, dan Yahudi.

Alasannya, Kristen menggunakan lonceng dalam beribadah, Yahudi menggunakan terompet, dan Majusi menggunakan api. Karena pada pukul 00.00 WIB di malam tahun baru ketiganya digunakan dalam satu waktu, lonceng berbunyi, terompet berbunyi, dan kembang api dinyalakan. Jadilah yang mengikuti perayaan tahun baru sebagai penganut Majusi, Kristen, dan Yahudi.

Sangat tidak masuk akal, bukan?

Namun, banyak orang yang mudah termakan dengan broadcast seperti ini. Apalagi, jika di akhir broadcast terdapat ajakan “bagikanlah walau hanya seayat” bisa menambah semangat membagikan, tanpa mencerna terlebih dahulu isi dari konten yang akan dibagikan.

Beberapa orang sering mengaitkan tahun baru Masehi dengan agama tertentu. Kemudian, mengatakan orang yang ikut peringatan tahun baru akan menjadi penganut agama itu, karenanya peringatan tahun baru termasuk syirik. Misalnya, dalam broadcast di atas orang yang ikut tahun baru dikatakan menjadi penganut Majusi, Kristen, dan Yahudi. Broadcast seperti ini merupakan senjata untuk menakut-nakuti muslim agar tak merayakan peringatan tahun baru Masehi. Niatnya baik, namun hal ini bisa menimbulkan masalah.

Setidaknya terdapat dua masalah dalam hal ini. Pertama, menjadikan muslim mudah menuduh muslim – yang ikut merayakan tahun baru – sudah syirik bahkan kafir. Kedua, tanpa sadar kita telah menyebarkan berita yang tak benar soal ibadah agama orang lain.

Narasi demikian tak hanya di media sosial saja, bahkan juga terdapat dalam materi khutbah dan kajian agama. Sering kali terdapat dalam materi khutbah jum’at yang mengatakan bahwa tahun baru Masehi bukan budaya Islam, bulan januari berasal dari nama Dewa Janus, bahkan sampai mengatakan tahun baru merupakan ibadah agama tertentu, sehingga kalau kita ikutan, kita akan ikut-ikutan agama mereka.

Memang benar tahun baru Masehi bukan budaya Islam. Namun, sangat disayangkan, khutbah jum’at yang seharusnya untuk meningkatkan semangat beribadah pada Allah swt, menjadi kesempatan membicarakan keyakinan dan budaya orang lain. Kita seakan membicarakan yang tak baik tentang keyakinan orang lain, padahal kita sendiri tak ingin keyakinan kita dibicarakan dengan tak baik.

Di Indonesia peringatan tahun baru Masehi yang sekarang, bukan karena momen yang dispesialkan atas agama manapun. Kalaupun memang benar tahun baru Masehi memiliki hubungan dengan agama tertentu atau dengan Dewa-Dewa Yunani, tapi pada kenyataannya peringatan tahun baru sekarang bukan untuk tujuan itu. Melainkan untuk memperingati masuknya awal tahun yang baru, karena kebetulan saja yang digunakan kalender Masehi sehingga yang diperingati adalah tahun baru Masehi. Karenanya, peringatan tahun baru Masehi di Indonesia tak ada lagi hubungannya dengan agama atau kepercayaan manapun.

Adanya beberapa postingan bahkan materi khutbah yang mengaitkan tahun baru Masehi dengan agama tertentu, membuat saya sering bertanya-tanya. Benarkah tahun baru Masehi merupakan ibadah dari agama tertentu?

Salah satu agama yang sering dikaitkan dengan tahun baru Masehi adalah agama Kristen, mungkin karena kebetulan perayaan natal hanya beberapa hari sebelum tahun baru.

Saya pernah bertanya pada teman yang merupakan pendeta Kristen. Apakah peringatan tahun baru Masehi termasuk ibadah dalam Kristen seperti natal dan paskah?

Dia pun menjawab, “Perayaan tahun baru oleh umat kristiani, hanya karena itu tahun baru Masehi, yang berarti semua agama bisa merayakannya dengan berbagai bentuk, termasuk dirayakan dengan ibadah-ibadah. Kalau kalian (muslim) berdzikir, kami umat kristiani biasanya dengan ibadah pada tanggal 1-2 Januari di Gereja.”

“Hal itu merupakan bentuk rasa syukur karena bisa ada di tahun yang baru sebagai anugerah Tuhan. Jadi peringatan tahun baru hanya sebagai bentuk rasa syukur (bukan ibadah yang berasal dari agama Kristen). Berbeda dengan natal untuk memperingati kematian Yesus Kristus dan Paskah untuk kebangkitan Yesus Kristus,” lanjut teman saya yang pastor itu.

Berdasarkan jawaban itu, kita bisa memahami bahwa dalam agama Kristen peringatan tahun baru Masehi bukanlah ibadah yang berasal dari agama, apalagi sampai menghubungkannya dengan natal. Dalam agama mereka, tahun baru Masehi diperingati sebagai bentuk syukur karena Tuhan masih perkenankan hidup di tahun yang baru.

Hal ini telah mematahkan anggapan sebagian muslim, bahwa merayakan tahun baru berarti mengikuti budaya agama Kristen. Sebab, alasan mereka memperingati tahun baru layaknya muslim, yaitu sebagai bentuk syukur pada Tuhan telah diperkenankan bertemu tahun yang baru.

Ketakutan terjebak pada kemaksiatan di malam tahun baru, justru membawa sebagian muslim bersikap berlebihan, dengan membawa cerita mitologi, bahkan menciptakan hoaks-hoaks agama dengan mengatakan tahun baru sebagai budaya agama tertentu.

Niat baik, ingin umat muslim memperingati tahun baru Masehi dengan baik, seharusnya disertai dengan cara penyampaian yang baik juga. Tak perlu menyampaikan cerita buruk soal mitologi bangsa lain atau membawa agama orang lain. Sebab, layaknya kita yang tak ingin orang dari agama lain membicarakan yang buruk tentang Islam, mereka juga tak ingin orang membicarakan yang buruk tentang agamanya.

Oleh sebab itu, tak perlu mengarang cerita, mengatakan tahun baru Masehi sebagai ibadah Majusi, Kristen, dan Yahudi. Sampai menyertakan ancaman untuk menakuti umat muslim bahwa ikut tahun baru berarti menjadi penganut 3 agama sekaligus.

Ajaklah umat muslim kepada kebaikan dengan cara yang baik, agar peringatan tahun baru diperingati dengan penuh makna, ikut dzikir bersama, salawatan, atau tabligh akbar tanpa haru mengarang cerita untuk menakuti umat muslim.

Sebagai muslim, kita pun harus cerdas dalam menaggapi setiap berita yang kita dapatkan. Jangan mudah percaya dengan berbagai broadcast hanya karena dilabeli atas nama agama.

Terakhir, untuk yang mau merayakan tahun baru. Rayakanlah dengan hal yang baik dan penuh manfaat agar Allah SWT memberikan kekuatan untuk menjadi muslim yang lebih baik di tahun yang baru. Bagi yang tak ikut memperingati tahun baru, semoga malamnya dipenuhi keberkahan. (AN)

Wallahu’alam.