Apakah Mengucapkan Selamat Natal termasuk dalam Kategori Tasyabbuh (Menyerupai Non-Muslim)?

Apakah Mengucapkan Selamat Natal termasuk dalam Kategori Tasyabbuh (Menyerupai Non-Muslim)?

Apakah Mengucapkan Selamat Natal termasuk dalam Kategori Tasyabbuh (Menyerupai Non-Muslim)?

Salah satu permasalahan yang hampir setiap tahun selalu menimbulkan polemik adalah pengucapan selamat natal. Beberapa orang menganggap bahwa mengucapkan selamat natal adalah bentuk tasyabbuh terhadap non Muslim dengan berdasarkan hadis yang cukup populer berbunyi, “Barangsiapa bertasyabuh dengan suatu kaum, maka ia bagian dari mereka.”

Adapun teks hadis tasyabbuh versi lengkapnya sebagaimana berikut:

حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ ثَابِتٍ حَدَّثَنَا حَسَّانُ بْنُ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي مُنِيبٍ الْجُرَشِيِّ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُم

Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abu Syaibah berkata, telah menceritakan kepada kami Abu An Nadhr berkata, telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman bin Tsabit berkata, telah menceritakan kepada kami Hassan bin Athiyah dari Abu Munib Al Jurasyi dari Ibnu Umar ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa bertasyabuh dengan suatu kaum, maka ia bagian dari mereka.” (HR. Abu Daud No. 3512).

Pertanyaannya kemudian, apakah mengucapkan selamat Natal merupakan salah satu bentuk tasyabbuh yang dimaksud pada hadis tersebut?

Kata tasyabbuh berasal dari bahasa Arab yaitu sya-ba-ha (شبه) yang berarti penyerupaan kepada sesuatu, persamaan warna dan sifat. Disebut juga syibh, syabah, dan syabih. Sedangkan menurut Ibn Manzur, tasyabbuh adalah suatu objek yang menyerupai atau menyamai dengan sesuatu yang lain. Imam Muhammad al-Ghazi al-Syafii mendefinisikan tasyabbuh sebagai sebuah usaha seseorang untuk meniru sosok yang dikaguminya baik itu dari tingkah lakunya, penampilannya, atau bahkan hingga sifat-sifatnya. Usaha tersebut merupakan sebuah praktek yang benar-benar disengaja untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam kitab syarah Abu Daud, al-Qari berpendapat bahwa kata مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ dalam hadis di atas, maknanya adalah seseorang yang menyerupai dirinya dengan orang kafir seperti dalam hal berpakaian maupun yang lainnya, atau dengan orang fasiq, orang bermaksiat, atau ahli tasawuf dan orang saleh.

Sedangkan kata فَهُوَ مِنْهُم maknanya adalah dalam hal keburukan dan kebaikan. Al-Alqami berpendapat jika seseorang menyerupai orang saleh maka orang tersebut akan dimuliakan seperti halnya orang saleh. Jika seseorang menyerupai orang fasiq maka orang tersebut tidak akan dimuliakan.

Jika dilihat dari kualitasnya, as-Sahawi menganggap daif hadis tersebut walupun mempunyai syawahid. Lain halnya dengan Ibnu Taimiyah yang mengganggap sanadnya jayyid dan Ibnu Hajar yang menganggap sanadnya Hasan.

Sederhananya, yang dimaksud hadis di atas adalah segala bentuk penyerupaan terhadap muslim maupun non-muslim. Penyerupaan yang dimaksudkan adalah dalam hal kebaikan dan keburukan. Jadi ketika seseorang menyerupai orang saleh maka orang tersebut mendapatkan kemuliaan sebagaimana kemuliaan orang saleh. Begitu juga sebaliknya, ketika seseorang menyerupai orang fasik maka orang tersebut tidak mendapatkan kemuliaan.

Selanjutnya, perlu diketahui bahwa sebelum Islam muncul, Mekkah merupakan tempat yang dihuni oleh berbagai suku dan macam kepercayaan. Mekkah merupakan tempat istimewa di mata orang Arab karena terdapat Ka’bah yang merupakan tempat suci. Sehingga mereka meletakkan berhala-berhala mereka di sana dengan harapan ketika meminta sesuatu terhadap berhala yang diletakkan di Ka’bah tersebut akan dikabulkan.

Sejalan dengan hal tersebut Nabi SAW pernah bersabda “Barangsiapa bertasyabuh dengan suatu kaum, maka ia bagian dari mereka.” Hadis tersebut turun pada saat terjadi perang Uhud. Pada saat itu ada permusyawarahan mengenai strategi yang akan digunakan untuk melawan musuh di gunung Uhud. Kemudian ada salah satu sahabat Nabi saw yang bertanya, “Bagaimana aku bisa membedakan mana yang termasuk kaum Muslimin dan mana yang termasuk kaum musyrikin, sementara mereka semua terlihat sama?”

Dari pertanyaan tersebut ada sahabat Nabi SAW yang mengajukan usul bahwa kaum muslimin harus memberi tanda pada pakaian mereka sehingga tanda tersebut bisa membedakan mereka dengan pakaian lawan. Akhirnya Nabi saw menyetujui usulan tersebut dan beliau bersabda hadis tersebut.

Hadis tersebut diturunkan ketika Nabi saw menjadi panglima perang. Sasarannya ditujukan kepada para sahabat yang ikut Perang Uhud pada waktu itu. Tujuannya sebagai identitas muslim untuk memudahkan golongan pemanah agar tidak salah sasaran ketika melepaskan anak panahnya.

Jika melihat sejarah, hadis tersebut muncul karena keinginan Nabi SAW untuk membedakan umatnya dengan non-muslim ketika berperang. Pada saat itu, Islam adalah agama baru dan sebelum datangnya Islam telah banyak kepercayaan lain yang hampir kesemuanya menyembah berhala. Dari situlah kemudian Nabi SAW membentuk sebuah politik identitas untuk menunjukkan eksistensi Islam sebagai agama baru yang meluruskan kepercayaan lain dari masyarakat Arab yang mayoritas menyimpang.

Adapun jika melihat realitas yang terjadi dewasa ini, banyak sekali orang yang mengaku sebagai umat Muslim yang memiliki kepribadian Muslim tetapi tidak bisa melaksanakan perilaku sebagai Muslim. Bagaimanapun juga antara Arab dahulu sewaktu Nabi SAW masih hidup dengan Arab sekarang sudah jauh berbeda, apalagi dengan tempat selain Arab semisal di Indonesia, keadaan geografis maupun sosiologis penduduknya pun sudah tidak bisa disamakan.

Pada waktu itu, tasyabbuh dijadikan sebagai dalil identitas untuk membedakan antara muslim dan non-muslim. Akan tetapi jika ditarik pada konteks dewasa ini, agaknya hadis tersebut sudah tidak dapat diterapkan lagi secara tekstual. Begitu juga permasalahan tentang mengucapkan selamat natal kepada non Muslim. Secara khusus tidak ada hadis tentang pelarangannya karena hal tersebut lebih berkaitan dengan muamalah (interaksi sosial), bukan berkaitan dengan masalah aqidah (keyakinan).

Informasi mengenai Nabi SAW pernah mengucapkan selamat natal kepada non Muslim tidak ditemukan, namun tidak ditemukan juga bahwa Nabi SAW melarangnya. Bahkan menurut Abdul Mustaqim, guru besar ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Nabi SAW melakukan hal yang lebih dari sekedar mengucapkan selamat natal yaitu memberikan jaminan keselamatan bagi umat Nasrani yang akan berhari raya.

Selain itu, para ulama seperti Yusuf al-Qaradhawi, Abdul Sattar dan Musthafa Zarqa membolehkan mengucapkan selamat natal kepada non-muslim. Bahkan menurut mereka hal tersebut adalah akhlak yang baik karena termasuk dari sikap saling menghormati dan saling menghargai keyakinan mereka.

Wallahu A’lam