Tahun Baru Masehi Bukan Tahun Baru Kafir

Tahun Baru Masehi Bukan Tahun Baru Kafir

Tahun Baru Masehi Bukan Tahun Baru Kafir

Momentum akhir tahun benar-benar membuat kita sibuk. Belakangan ini kita disibukkan dengan pro dan kontra ucapan selamat Natal berikut hukum menjaga dan menghadiri perayaan di gereja. Sementara debat kusir belum berakhir, kali ini kita kembali dibuat sibuk dengan kontroversi perayaan malam Tahun Baru Masehi 2018. Dalam berbagai pesan berantai di jejaring sosial, beredar informasi bahwa tahun baru masehi merupakan tahun baru orang-orang kafir yang merepresentasikan budaya Barat. Oleh karenanya, perlu kita telusuri sejenak apakah tahun masehi memang identik dengan tahun kafir?

Allah swt berfirman:

هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُوْرًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوْا عَدَدَ السِّنِيْنَ والْحِسَابِ مَا خَلَقَ اللهُ ذَلِكَ إِلَّا بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُوْنَ.

Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan demikian itu melainkan dengan benar. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. (QS: Yunus: 5)

Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa ketentuan Allah swt tentang garis edar yang teratur dari bulan dan matahari dimaksudkan agar manusia mengetahui perhitungan tahun. Diantara hikmah peredaran bulan dan matahari yang teratur adalah dapat mengetahui waktu menunaikan shalat, puasa, haji, bekerja, maupun beristirahat. Berbagai kegiatan yang kita lakukan tentunya membutuhkan panduan waktu yang―jika ditelusuri―bermuara pada konsep peredaran bulan dan matahari.

Peredaran bulan merupakan pedoman pokok dalam penentuan tahun hijriyyah. Dalam disiplin ilmu falak (astronomi) disebut juga tahun qamariyyah (tahun bulan). Penanggalan hijriyyah memiliki tahun kabisat (355 hari) dan tahun basithah (354 hari). Berdasarkan siklus peredaran bulan, setiap 30 tahun terdapat 11 tahun kabisat dan 19 tahun basithah. Secara umum, pergantian hari dalam kalender hijriyyah dimulai dari saat tenggelamnya matahari waktu setempat, dan pergantian bulan dapat diketahui berdasarkan revolusi bulan terhadap bumi yang dibuktikan dengan proses munculnya bulan sabit setelah menghilang. Penanggalan ini bisa dikatakan lebih akurat dalam penentuan waktu ibadah umat Islam, terutama dalam pelaksanaan ibadah puasa dan haji.

Sedangkan peredaran matahari menjadi pedoman pokok dalam penentuan tahun masehi, yang juga memiliki istilah lain yakni tahun miladiyyah―yang semakna dengan masehi―dan tahun syamsiyah (tahun matahari). Penanggalan masehi juga memiliki tahun kabisat (366 hari) dan tahun basithah (365 hari). Berdasarkan siklus revolusi bumi terhadap matahari, tahun kabisat terjadi setiap empat tahun sekali. Pergantian hari dalam penanggalan syamsiyah dimulai pada pukul 00.00 waktu setempat. Peredaran matahari juga berpengaruh terhadap perubahan musim di berbagai negara, sehingga dalam musim tertentu dapat terjadi perubahan waktu aktifitas harian masyarakat setempat, begitu juga dalam durasi ibadah puasa serta pelaksanaan shalat dzuhur dan ashar maupun ibadah shalat sunnah lain yang dilaksanakan pada waktu siang hari.

Sebagai muslim, tentu kita cukup banyak bergantung pada penanggalan masehi dalam menjalankan aktifitas harian. Berbagai macam peringatan momentum bersejarah seperti Proklamasi Kemerdekaan RI, Sumpah Pemuda, Hari Pahlawan, Hari Santri Nasional, dan lain sebagainya sangat bergantung pada kalender masehi. Bahkan sistem penanggalan masehi―yang berdasarkan revolusi bumi terhadap matahari―juga dikaji di berbagai pesantren dan madrasah sebagai bagian dari khazanah keilmuan disiplin ilmu falak (astronomi). Oleh karena itu, sepertinya kurang tepat jika tahun masehi diklaim sebagai tahun kafir.

Memang tak ada salahnya jika kita menolak perayaan tahun baru masehi. Alih-alih menganggap sebagai tahun baru kafir, alangkah baiknya jika perspektif yang digunakan adalah penolakan berdasarkan unsur euforia berlebihan yang notabene menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Mengingat biaya perayaan sebesar itu akan lebih bermanfaat jika dialihfungsikan menjadi sedekah, amal jariyah, menyantuni anak yatim, serta membantu saudara-saudara kita yang memang jauh lebih membutuhkan. Selain itu, momentum pergantian tahun akan lebih khidmah jika diisi dengan kegiatan positif seperti dzikir atau do’a bersama agar bangsa Indonesia dijauhkan dari marabahaya serta menjadi bangsa yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

Selamat Tahun Baru 2018…