Film ‘Milea : Suara Hati Dilan’ masih menjadi tontonan yang sangat ditunggu. Film ini menjadi Sekuel dari film ‘Dilan 1990’ pada 2018. Saya pribadi menyambut dengan suka cita film ini, sebab film tersebut menawarkan realita cerita pacaran sehat di kalangan anak SMA. Bukan hanya itu, film tersebut hadir di tengah tren merebaknya tren ta’aruf dan poligami di remaja-remaja kita.
Persoalan menikah tidak mudah hanya menyelesaikannya dengan ta’aruf dan menikah. Lebih dari itu, ada banyak persoalan pribadi yang harus diselesaikan. Lalu bagaimana dengan sekuel sekarang?
Jika sudah pernah membaca novel tersebut, cerita ‘Dilan dan Milea’ adalah sebuah kisah tentang patah hati dan cerita gagal move on dari mantan pacar. Namun lebih dari itu, film ‘Milea : Suara Hati Dilan’ menyisipkan pesan gender yang kuat dalam percakapannya, yaitu tentang sunat perempuan.
Percakapan itu dilontarkan oleh adik Dilan bernama Disa. Ia mengatakan agar perempuan tidak boleh disunat. Di Indonesia, sunat perempuan masih nama tradisi agar dapat mensucikan wanita karena mengurangi hasrat seksual. Padahal, hal itu sama sekali tak benar dan tak terbukti secara medis. Berdasarkan data yang dihimpun, hal ini masih terjadi di 30 negara di dunia. PBB mengatakan 29 negara di Afrika dan Timur Tengah masih melakukan sunat perempuan meski di 24 negara di antaranya sudah ada peraturan yang melarang praktik ini.
Data UNICEF 2016 mencatat, setidaknya ada 200 juta anak perempuan di dunia yang mengalami sunat perempuan. Indonesia sendiri adalah salah satu negara yang termasuk masih sering melakukan praktik ini setelah Mesir dan Ethiopia. Walaupun begitu, sebagian besar kalangan mulai menolak sunat perempuan secara tidak langsung. Pada 2014 misalkan, dengan aturan Permenkes Nomor 6 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa sunat perempuan tidak mengharuskan sunat bagi perempuan.
Sunat perempuan dapat dilakukan hanya atas permintaan dan atau persetujuan dari orangtua anak perempuan atau wali.
Dengan catatan ini, filmyang baru saja tayang ini menjadi kampanye agar para ibu-ibu muda tidak melakukan sunat pada anak perempuan. Sebab, sunat pada anak perempuan pada praktikan menjadi sebuah tradisi yang turun-temurun terjadi di masyarakat.
Pada perkembangannya pada 2019, Para dokter pada dua rumah sakit di Kairo akan menyematkan pita biru pada baju bayi perempuan yang baru lahir sebagai bagian dari kampanye kepada para orang tua di Mesir untuk menolak sunat perempuan.
Bukan hanya Mesir, sejumlah negara lainnya mulai melakukan penolakan untuk melakukan sunat perempuan. Di tahun yang sama, di Somalia mengumumkan tuntutan hukum pertama untuk kasus sunat perempuan pada tahun lalu setelah seorang anak perempuan berusia 10 tahun meninggal. Bahkan, di Inggris berhasil meloloskan penuntutan kasus sunat perempuan pertama pada bulan Februari 2019, lebih dari 30 tahun setelah pelarangan sunat perempuan.
Jika negara lainnya berhasil menolak sunat perempuan dengan membuat sejumlah aturan, Indonesia pun bisa melakukan hal yang serupa. Dan, terima kasih Dilan dan Milea…