Sombong Kepada Orang yang Sombong dalam Berdakwah Tepatkah?

Sombong Kepada Orang yang Sombong dalam Berdakwah Tepatkah?

Sombong Kepada Orang yang Sombong dalam Berdakwah Tepatkah?

Beberapa hari ini, netizen tanah air sedang banyak meributkan masalah seorang publik figur yang memutuskan untuk melepas hijab, setelah satu tahun sebelumnya memutuskan untuk menggunakannya. Kabar tentang hal tersebut memecah kelompok netizen antara yang tetap mensupport artis tersebut dan yang kontra serta menyayangkan keputusannya.

Karena kabar itu terus merebak luas, akhirnya memancing satu dari sekian netizen untuk bertanya kepada tokoh agama berinisial UAS yang hari-hari ini sedang digandrungi oleh para pecinta dakwah islami, karena dakwahnya yang memiliki ciri khas tersendiri.

Ketika ditanya tentang permasalahan artis berinisial RN yang memutuskan untuk melepas hijab, dalam video yang berdurasi sekitar 17 menit sebelum memberikan jawaban inti dari fenomena RN, UAS dengan nada bercanda mengatakan:

“RN ini siapa? Artis? Yang pesek itu?, saya kalau artis-artis jelek kurang berminat mengamati, apa kelebihan dia? Pesek, buruk dst…”

Akibat dari pernyataan tersebut, terdapat beberapa netizen yang tidak setuju dengan cara UAS mengawali jawaban tentang fenomena RN dengan pernyataan yang mengandung nada menghina personal RN.

Menanggapi suara suara netizen tentang pernyataan UAS tersebut, beliau pun mengklarifikasinya dengan pernyataan beliau di video ceramah beliau setelahnya

“itu bukan saya mengejek, itu orang sudah mengejek agama, kalau ada perlu, tidak perlu beragama, tidak perlu bertuhan bisa baik, ngapain nyari Tuhan, at-takabbur lilmutakabbir shadaqah, sombong kepada orang yang sombong shadaqah”

Dari klarifikasi beliau ada satu hal yang menarik untuk sedikit dibahas tentang kutipan beliau dalam klarifikasi tersebut yang berbunyi “at-takabbur lilmutakabbir shadaqah/ at-takabbur alal mutakabbir shadaqah”.

Bagaimanakah sebenarnya Islam memandang sikap sombong? Benarkah bahwa sombong kepada orang yang sombong adalah shadaqah? Darimana kutipan itu sebenarnya berasal? Jika memang makna dari kutipan itu dibenarkan, tepatkah jika kutipan itu diterapkan dalam konteks berdakwah?

Sesungguhnya hukum asal bersikap sombong dalam kehidupan ini diharamkan oleh syariat. Terdapat banyak sekali ayat Al-Qur’an maupun hadis Nabi SAW yang mengecam sikap sombong dalam kehidupan. Diantaranya, QS. Luqman:18, QS. Al-Isra: 37, QS. An-Nahl: 23, QS. Ghafir: 60, dsb.

Sedangkan dalam hadis-hadis Rasulullah SAW dengan redaksi yang beragam bersabda:

“لا يدخل الجنة من كان في قلبه مثقال ذرة من كبر”

 “Tidaklah masuk surga seseorang yang dalam hatinya memiliki sifat sombong walau hanya sebiji dzarrah” (HR. Muslim, dan Al-Tirmidzi)

Berdasarkan intisari ayat-ayat Al-Qur’an yang disebutkan dan beberapa hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW tersebut, diketahui bahwa hukum asal bersikap sombong atau memiliki sifat sombong adalah haram. Bahkan, salah seorang ulama yang berasal dari Damaskus, Ibnu Asakir menulis sebuah karya yang ia beri judul dengan “Madhut-Tawaadu’ wa dzammul-kibri” yang artinya “Memuji kerendahan hati dan mencela kesombongan”

Namun, jika sikap sombong tersebut diperuntukkan untuk orang yang sombong benarkah hukumnya bisa berubah dan menjadi bernilai kebaikan atau shadaqah?

Pertama-tama mari kita coba telusuri ungkapan yang berbahasa Arab itu terlebih dahulu. Jika ditelusuri, ungkapan tersebut bukanlah hadis Rasulullah SAW, melainkan intisari dari beberapa perkataan para ulama saja, diantaranya seperti disebutkan oleh Al-Manawi dalam kitab “Faidhul Qadir” ketika disebutkan perkara-perkara yang termasuk dalam kategori Al-Akhlak Al-Hasanah, beliau menyebut “Al-Takabbur Alal Mutakabbir” sebagai salah satunya.

Namun sejatinya, masalah nilai kebaikan dalam bersikap sombong kepada orang yang sombong pun melahirkan banyak perdebatan diantara ulama itu sendiri, diantara mereka ada yang membenarkan dengan argumentasi “bahwa sikap sombong kepada orang yang sombong sejatinya bukan seperti “sombong” yang diharamkan agama, tapi ia lebih mengarah kepada sikap sombong yang dibuat-buat “al-Musyakalah” untuk mengingatkan orang yang sombong tersebut, dan bukan karena merasa tinggi hati.

Adapun yang tidak membenarkan bersikap sombong pada siapapun, bahkan pada orang yang sombong sekalipun, beralasan bahwa jika syariat saja sudah mencela sikap sombong maka kita tidak bisa membenarkannya, karena sesuatu itu baik karena dilegitimasi nilai kebaikannya oleh syara, dan sesuatu itu buruk karena syara menganggapnya buruk. Maka jika syara saja sudah menganggap buruk sikap atau sifat sombong, kita tidak berhak membenarkan bersikap sombong dalam keadaan seperti apapun.

Lebih lanjut, dalam konteks berdakwah, jika sikap sombong itu dimaknai dengan makna ulama yang menilainya sebagai sebuah kebaikan jika dilakukan kepada orang yang sombong, tepatkah jika “sombong kepada yang sombong adalah sedekah” digunakan dalam metodologi berdakwah sebagaimana UAS menggunakannya.

Dalam permasalahan ini, tanpa mengurangi rasa hormat penulis kepada beliau untuk kontribusi beliau dalam membina umat,  penulis menilai penggunaan kutipan tersebut tidaklah tepat. Karena faktanya, berkaca kepada kisah Nabi Musa AS, dan Nabi Harun AS, ketika mereka diperintahkan untuk menyeru Fir’aun “yang ketika itu bahkan mengaku Tuhan” agar mengikuti dakwah mereka, Allah SWT memerintahkan keduanya untuk berkata lemah lembut kepada Fir’aun, barangkali saja dengan begitu Fir’aun bisa sadar dan merasa takut kepada Allah SWT (QS. Thaha: 44).

Sebenarnya, dalam berdakwah dengan perkataan yang lembut kita bisa meraih sesuatu yang tidak bisa didapatkan dengan cara mengingatkan secara keras. Karena sejatinya, Islam datang untuk menyebarkan Rahmat kepada seluruh alam semesta tanpa terkecuali. Maka alangkah indahnya jika kita ingatkan saudara kita yang melakukan kesalahan, dengan cara yang baik, seperti  kita sendiri ingin diingatkan dengan cara tersebut ketika kita melakukan kesalahan.