Setahun Covid-19 dan Jejak Digital Narasi Kelompok Islamis

Setahun Covid-19 dan Jejak Digital Narasi Kelompok Islamis

Menghadapi pandemi Covid-19, kita melihat terjadinya polarisasi narasi keagamaan di tubuh kelompok-kelompok Islamis.

Setahun Covid-19 dan Jejak Digital Narasi Kelompok Islamis

Pada Maret 2020, untuk pertama kalinya Covid-19 mengawali jejak persebarannya di Indonesia. Pada bulan-bulan sebelumnya, sebagian dari kita termasuk pemerintah masih haha-hihi meremehkan keberadaan virus ini. Bukannya berupaya mengantisipasi persebarannya, pemerintah malah kekeuh membuka jalur penerbangan internasional dan mempromosikan pariwisata dalam negeri dengan menggandeng influencer.

Lebih dari itu, beberapa pejabat negara justru dengan benderang menyampaikan opini yang terkesan ‘ngawur’ dalam merespons pandemi ini. Ya, pemerintah telah meremehkannya! Dan, jejak digital tentang hal ini telah melunturkan kepercayaan publik kepada pemerintah dalam menangani wabah virus Covid-19 ini!

Pada Februari 2020, jagad media sosial kita dihebohkan dengan ceramah pendakwah kondang Ustaz Abdul Shomad di kanal Youtube Hajinews TV yang mengatakan bahwa Corona adalah tentara Allah. Dia mengatakan,

“Allah memang sayang pada umat ini. Umat kehilangan kekuasaan, umat kehilangan khalifah, umat kehilangan kesultanan, yang bisa hanya membaca Alquran dan berzikir. Tapi Allah masih iba dan Allah tolong hambanya dengan banyak tentara.. dan yang terakhir ini bernama Corona”

Tidak berselang lama, seperti dilansir Global Watch Analysis (Maret 2020), dunia dihebohkan dengan pemberitaan tentang Bahgat Saber, seorang aktivis Ikhwanul Muslimin berkebangsaan Mesir yang tinggal di New York dengan menganjurkan agar menulari para pegawai pemerintahan Mesir seperti militer, tentara, dan para politisi dengan virus Covid-19. Saber mengatakan bahwa hal itu dilakukan sebagai aksi balas dendam atas penindasan pemerintah Presiden Abdel Fattah Al-Sisi atas rakyat Mesir.

Adapun kelompok Islamis-Jihadis menanggapi wabah ini dengan pernyataan yang sangat sesuai dengan anjuran WHO, tetapi dengan berpegangan pada beberapa hadis yang menjadi terkenal selama wabah ini yakni dengan menghindari “daerah yang terjangkit wabah”, membersihkan tangan dan wajah, dan tidak menulari orang lain. Mereka mengatakan bahwa virus Corona adalah “tentara Allah” yang dikirim untuk menyerang “Tentara Salib Zionis dan orang-orang murtad sebagai balasan atas tindakan mereka  yang menindas umat Islam di seluruh dunia. Selanjutnya, pada 19 Maret 2020, editorial ISIS di Majalah al-Naba’ menyerukan kepada umat Islam untuk melindungi diri mereka sendiri melalui pencegahan fisik dan berdoa sekaligus memanfaatkan kelumpuhan pemerintahan dan militer di negara-negara Barat untuk melakukan aksi jihad seperti yang terjadi di Paris, London, dan Brussel (Norlen, 2020).

Di Indonesia, Mujahidin Indonesia Timur (MIT) menargetkan untuk melakukan penyerangan terhadap aparat kepolisian dan orang-orang yang tinggal di lereng gunung. Selama April 2020, MIT telah melakukan serangan sebanyak tiga kali, masing-masing pada 7 April (penculikan dan pembunuhan terhadap warga sipil), 15 April (Penyerangan terhadap anggota polisi) dan 19 April (penculikan dan pembunuhan terhadap warga sipil) (Liputan6.com, 14/05/2020). Selain itu, pada Desember 2020, kepolisian berhasil mengungkap keterlibatan Lembaga Amil Zakat Abdurrohman Bin Auf sebagai lembaga filantropi yang diduga kuat berafiliasi dengan kelompok Jamaah Islamiyah (JI) (BBC.com Indonesia, 16/12/2020).

Sementara itu, dalam sebuah kolom di website sumatranews.co.id (4 Juli 2020), seorang yang mengaku sebagai aktivis dakwah Muslimah menyatakan bahwa khilafah adalah obat untuk menghentikan wabah Corona ini. Apabila tidak menerapkan prinsip syariah dalam menyelesaikan wabah, katanya, justru akan menimbulkan masalah-masalah baru. Dalam hal makanan, lanjutnya, Islam telah memerintahkan untuk mengkonsumsi makanan yang halal dan thayyib, termasuk menjaga kebersihan dan adab-adab makan lainnya. Maka, pentingnya kembali kepada Islam, sebagai jalan satu-satunya mengembalikan tatanan kehidupan. Rusaknya ideologi kapitalis adalah tanda bahwa ideologi ini harus diganti. Selanjutnya dia mengatakan,

Tantangan menghadirkan kembali ideologi yang shahih yakni sistem Islam memang sangat berat. Karena pasti ada musuh-musuh yang selalu menghadangi jalan perjuangan ini. Seperti dengan jumawa mengatakan “Orang Corona solusinya dikasih obat, bukan Khilafah”. Padahal, yang sakit bukan hanya manusia saja. Tapi sistem yang mengatur kehidupan negara pun ikut sakit. Maka harus diberi obat yang mujarab. Artinya, tidaklah cukup mengembalikan kesembuhan individu secara fisik, tapi kesembuhan negara dengan tata kelolanya agar diatur sesuai dengan syariat Islam secara kaffah (keseluruhan).

Tidak ada Narasi Tunggal

Perlu saya catat di sini bahwa sebagian dari narasi-narasi di atas tidak mewakili pandangan resmi organisasi, melainkan pandangan sebagian anggota dari kelompok tersebut. Sebab, di sisi lain, kami menemukan narasi-narasi yang bertolak belakang dari pandangan-pandangan di atas. Felix Siauw, misalnya, sebagai salah satu pendukung HTI, dia justru menawarkan moderatisme atau wasathiyah Islam dalam menghadapi Covid. Begitu juga dengan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang mengeluarkan maklumat yang senada dengan fatwa yang dikeluarkan oleh MUI dan kebijakan pemerintah.

Dengan demikian, kita melihat terjadinya polarisasi narasi keagamaan di tubuh kelompok-kelompok Islamis. Bahkan, di kelompok moderat, yang diwakili NU dan Muhammadiyah, terdapat narasi yang menentang fatwa MUI terkait fatwa untuk tidak melaksanakan shalat Jumat dan berjamaah di masjid. Pada Maret 2020 beredar dengan luas sebuah video ceramah dari Gus Najih, salah satu putra KH. Maemun Zubair, dari Rembang yang secara terang-terangan menentang fatwa MUI. Video tersebut dibagikan lebih dari sepuluh ribu kali di media sosial Facebook.

 

*Catatan: Tulisan ini diambil dari laporan sementara penelitian tentang “narasi kelompok Islamis terhadap Covid-19” yang dilakukan bersama beberapa dosen dan peneliti dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.