Badai Coronavirus siap menyergap siapa pun; entah dia yang taat beragama ataukah manusia-manusia yang selalu menjunjung tinggi jabatannya, kepangkatannya dan hartanya. Bisa pula mereka yang selalu membanggakan kadar intelektualitasnya. Tak terkecuali mereka yang membusungkan dadanya, sembari berkata “sesama mahluk-Nya, tak ada yang perlu ditakuti”. social distancing
Narasi indah itu pun kini banyak dikonsumsi oleh orang-orang baik yang bodoh. Orang-orang pintar yang tidak bertanggung jawab pun, sana-sini memproduksi hoax dan ragam narasi ketakutan tambahan kepada masyarakat, yang untuk makan esok hari pun susah. Jangan suruh mereka berpikir, sebulan kemudian akan lockdown. Entah apa ekspresi dari kaum mustadhafin itu.
Hidup ini, ada yang datang, adapula yang pergi. Termasuk penyakit Covid-19. Dia datang membuat siapa saja percaya akan pentingnya social distancing. Mereka-mereka akhirnya mengerti, sejatinya jarak yang memisahkankan kita bukanlah tanda berpisahnya kita untuk selama-lamanya. Itu hanya soal waktu!
Kehadiran badai raksasa ini, bisa saja kita membencinya. Luapan emosi dan sumpah serampah untuknya, keluar dari mulut kita. Sesekali berkata, “Semoga Engkau tak menurunkan kembali jenis penyakit berbahaya ini”.
Ya, munajat sejenis itu, perlu. Tapi, entah Tuhan berpikir apa. Tuhan tidak bisa kita deteksi keinginannya, karena Dia Maha Segalanya. Bisa saja, yang kita benci, Dia menyukai; bisa saja, yang kita suka, Dia membenci. Tak ada yang bisa memastikan apa kehendak-Nya. Kita hanyalah khalifah, pelestari warisan nabi-Nya, pejalan dan pendaki menuju hakikat-Nya.
Badai raksasa ini tetap mengharuskan kita bersama, menapaki jalan para kaum bijak. Tuhan pun ikut memandu para pecinta untuk tetap kokoh di garis yang lurus hingga tuntas menemui-Nya. Ragam titian di kala normal, harus kita ubah demi kemaslahatan bersama. Social distancing bukanlah sesuatu yang asing untuk para salik dan para penapak jalan dalam menggapai Ilahi Rabi. Itu salah satu cara untuk kebersatuan dua hakikat. Berpindah dari pergumulan ramai menuju kesendirian. Seperti saliknya kaum jomblo.
Perpindahan dari pergumulan, seperti tradisi kita di waktu yang normal, ke pergumulan cinta yang sebenarnya. Melepas dan membebaskan diri dari keegoisan yang melekat, ketidakterpakuan pada satu jalan (bila musamma) harus menjadi tradisi keberagamaan kita di Indonesia. kesadaran berikutnya, kita tetap menjadi ahli tauhid tanpa terpaku pada pembangunan citra; keluar dari keterperangkapan sikap fanatik pada satu jalan dan pendapat, juga keluar dari pendewaan citra dari diri atau medium yang menfasilitasinya.
Tanpa kita sadari. Badai raksasa ini, menumbuhkan sisi fanatik; fanatik pada agama dan keilmuwan kita, dengan ragam modelnya. Salik, harus keluar dari keduanya. Peniti jalan kebenaran harus mampu berselancar di segala ombak kehidupan dengan teguh pada jalan yang benar. Kebenaran menyertainya, setelah maunah-Nya membersamainya.
Di sisi lain, ugal-ugalan dalam beragama tampak jelas di hadapan kita. Tau mau menjalani social distancing perintah ulil amri yang sah. Namun, para salik lainnya mengolok-ngoloknya dengan sumpah serapah dan ucapan “beragama, kok bodoh banget”.
Saya beritahu, wahai peniti jalan kebenaran. Dulu, Nabi Musa AS, memarahi seorang penggembala yang tidak bersikap santun kepada Tuhan. Dalam keadaan mabuk cintanya, si penggembala itu menyatakan dengan suara lantang, akan mencuci kasur-Nya dan memakaikan sandal di kedua belah kaki-Nya.
Apa yang terjadi? Nabi Musa ditegur oleh-Nya. Dia memohon Nabi Musa untuk membiarkan si penggembala mengekspresikan cinta-Nya. Sebuah ekspresi cinta pada-Nya yang menurut kacamata syariat, dia telah mendeskripsikan Tuhan layaknya manusia. Mungkin, jika ucapan itu keluar saat ini, cemoohan dan sumpah serampah pun kian berdatangan ke yang bersangkutan.
Apa hikmahnya? Nilai moral yang ingin disampaikan adalah jangan terperangkap pada satu jalan. Sebagaimana slogan yang juga engkau sering semarakkan. Peneguranmu, yang menuruh hematmu tidak benar, bisa jadi itu sebagai metode yang mereduksi nilai rahmat bagi semesta, seperti yang diusung Islam.
Sebagai peniti jalan kebenaran. Upaya social distancing bukanlah pemisah batin kita bersama. Di tengah ugal-ugalannya sebahagian kaum beragama itu, para peniti jalan harus benar-benar menampilkan keindahan. Seruan yang benar harus mewujud yang indah. Memperhatikan dan membimbingnya, sesekali menyetir ilustrasi Maulana Jalaluddin Rumi, “jalan sudah ditandai; jika menyimpang darinya, kau akan binasa”.
Diperintahkannya social distancing ini dalam tatanan lahiriyah semata. Jangan sampai, peniti jalan justru menambahnya sampai pada tatanan batiniyah. Jarak yang memisahkan dan merenggangkan sementara waktu ini, bukan untuk diperdebatkan di tatanan teologis, melainkan dipraktikkan di wilayah syariat. Membungkam lawan dengan cara memaki bukanlah pekerjaan salik sejati. Ubahlah sifat menggebu-gebu dalam menegurkan orang lain dengan sikap kelemahlembutan.
Para pemandu jalan kebenaran, tidak mengendaki kita seperti pendaki gunung yang baru pertama kali. Himmah dan tekad peniti jalan yang diperdengarkan orang padanya, disatu sisi bisa menjadi motivasi dan bisa pula pisau bermata dua.
Di atas itu semua. Kondisi yang tidak normal seperti ini, kita diajarkan tidak saja melakukan social distancing, tapi bila ism dan tidak terpaku pada simbol dan tempat. Namun bukan berarti pula, narasi yang kita bangun adalah “Tuhan tidak ada di masjid”. Ini terkesan indah, tapi menyesatkan. Disaat kita mengatakan “tidak ada”, sebenarnya kita sudah mendefinisikan kata “ada” pula.
Yang dikehendaki dalam beragama, khususnya bila ism di atas yakni setiap insan yang menuju-Nya tidak terperangkap pada apa yang tampak, baik berupa nama, simbol dan tempat. Tuhan ada tanpa tempat dan mukhalafatuhu lil hawadits. Artinya, menghentikan sementara waktu berjamaah di masjid bukan dalam rangka menghentikan upaya membangun hubungan vertikal, tapi menjaga kelestarian lingkungan dan alam dari wabah penyakit, yang sudah dinyatakan akan terkena lebih besar dari sebuah perkumpulan. Kita bisa membangun hubungan vertikal di luar masjid, di sebuah bilik rumah dan tempat kecil, yang menghadirkan keasyik masyukkan masing-masing kita.
Berpisahnya kita dan menjaga jarak (sementara waktu) kita dengan yang lain, berfungsi juga sebagai melepas kita dari ragam simbol yang melekat pada agama. Simbol memang diperlukan guna menghadirkan eksistensi, tapi itu bukan patokannya. Dunia sungguh kental dengan simbol. Dan peniti sesekali harus keluar dari ragam simbol.
Perjalanan ruhani merupakan pengembaraan yang dilakukan dari luar ke dalam, dari yang tertangkap indera kasar menuju yang sangat lembut. Dan kadang kita mendapatkan kelembutan itu di tengah kesendirian dengan melakukan social distancing.
Slogan “kita bukan berpisah; hanya jaga jarak” tidak hanya perlu ditradisikan dikala Covid-19 menyergap negara yang kita cintai bersama. Dalam beragama pun diperlukan sesekali waktu, atau rutinitas kehidupan bagi orang-orang tertentu. Sebab, yang terpisah bukan emosional satu dengan lainnya, hanya jasad yang tampak semata. Semoga Tuhan selalu membersamai kita semua dan menjaga kita dari segala marabahaya.
Teruntuk doaku pada pejuang negeri ini. Semoga di tengah alat yang belum mamadai ini, kalian tetap gagah dan digarda terdepan membantu para warga yang berjuang melepas penyakit dalam tubuhnya. (AN)