Social Distancing dan “Puasa” Sosial Kita

Social Distancing dan “Puasa” Sosial Kita

Sifat konsumerisme seyogianya mampu dibatasi selama masa social distancing ini. Dengan puasa sosial itu, kita menjadi lebih sedikit menghabiskan bahan bakar fosil, dan lebih jarang membuang gas berbahaya di jalanan.

Social Distancing dan “Puasa” Sosial Kita

Farid Stevy adalah seorang seniman seni rupa dan juga vokalis band lokal Yogyakarta bernama FSTVLST. Dalam sebuah wawancara, ia menjelaskan makna puasa yang menurut saya memiliki makna yang dalam sekali. Ia menyebutkan bahwa puasa itu menahan perbuatan yang kita suka. Hal ini ditanyakan lantaran Farid memang rutin melaksanakan puasa sosial media, Farid puasa menggunakan Twitter dan Instagram selama weekday dan ia berbuka saat weekend.

“Saya ini gak suka makan kok mas, jadi ya buat saya puasa makan itu biasa saja, saya sukanya main sosmed, makannya saya puasa seperti ini” imbuh Farid.

Mungkin anda juga merasakan, bahwa puasa makan itu tidak terlalu menantang karena memang setiap harinya jarang makan. Tetapi, pasti ada sesuatu yang kita suka dan perlu kita tahan sewaktu-waktu. Seperti yang dilakukan Farid, ia sadar bahwa berselancar di sosial media adalah sesuatu yang sangat menyenangkan untuknya, dan karenanya ia berpuasa untuk mengendalikan itu.

Misalkan anda adalah orang yang sangat suka dengan bermain game, tentu anda perlu mengoreksi diri, apakah perbuatan itu sudah masuk dan memainkan hawa nafsu atau belum, sehingga sesekali puasa dan memberikan jeda menjadi penting pada hal-hal yang kita suka.

Diskursus tentang hawa nafsu juga amat menarik, karena ia letaknya sangat samar dan sering tidak terdeteksi dan tidak disadari. Seolah-olah kita itu hanya suka, tetapi sudah bablas sampai nafsu. Seolah-olah kita itu sayang, tetapi sudah lewat ke kungkungan birahi. Bahkan, ada yang seolah-olah beriman dan tunduk, tetapi yang terbentuk dalam ejawantahnya adalah nafsu berupa ego pribadi. Sehingga dari sana memang praktik puasa itu penting adanya.

Puasa sendiri adalah sebuah amalan yang saya kira nyaris ada di semua agama. Meskipun dalam penyebutan dan praktik yang berbeda, tapi (mungkin) dengan maksud dan tujuan yang sama. Kita yang berada di Islam melaksanakan puasa selama sebulan penuh saat jatuh bulan Ramadhan. Katolik pun mengenal puasa (berpantang) sebelum datang hari wafatnya Isa Al-Masih. Saudara Hindu juga selalu melaksanakan pembatasan aktivitas diri pada perayaan Nyepi yang datang setahun sekali. Nyepi bertujuan memberikan jeda pada gerak cipta manusia yang sering terjerumus dalam kubangan nafsu.

Masih bulan Sya’ban, tetapi kenapa kita membicarakan perihal puasa padahal Ramadhan baru akan datang sebulan lagi? Hal itu tak lain dan tak bukan karena saat ini kita juga sedang berpuasa.

Kita berpuasa dari makhluk sosial yang komunal dan suka kerumunan. Seminggu lebih kita bersabar di rumah dan meninggalkan banyak hal yang kita sukai di luar sana. Yang pada hari-hari biasa kita bisa bebas keliaran keluar masuk kos pacar teman, saat ini kita batasi betul kegiatan itu. Pada hari-hari biasa kita nongkrong sampai lupa waktu di warkop, saat ini kita hanya bisa nyruput kopi sendiri di rumah. Biasanya kita bisa belajar dan bertemu kawan dengan bebas di kampus, tapi saat ini kita merelakan diri belajar nafsi-nafsi di rumah. Pada hari biasa kita bisa berangkat bekerja dengan semangat, seminggu ini kita pindah bekerja dari rumah.

Semangat kita beragama juga benar-benar perlu dilatih untuk ditahan dalam masa social distancing ini. Shalat jamaah dipindah ke rumah dan shalat Jumat untuk sementara ditiadakan. Tidak hanya ibadah harian, pada tangan 22 Maret lalu, umat Muslim juga menahan diri untuk tidak melaksanakan peringatan Isra Miraj secara kolosal. Sewajarnya, peringatan ini akan dilakukan dengan mendatangkan kerumunan umat di masjid dengan bersama-sama melantunkan sholawat nabi, meneladani kisahnya dan diakhiri dengan makan bersama. Namun berbeda kali ini, semangat belajar pada Nabi Agung di masjid di-convert menjadi belajar sendiri dari gubuk masing-masing.

Yang menarik, pada masa social distancing ini pula terjadi ibadah agung umat Hindu yakni Nyepi yang datang pada tanggal 25 Maret. Tahun-tahun sebelumnya, Nyepi hanya dilaksanakan di Bali, namun tahun ini nyepi terasa hampir di seantero dunia. Kita tidak hanya sedang kompak berusaha memutus rantai penyebaran SARS-CoV-2 tetapi juga bersama-sama memberikan waktu jeda pada bumi untuk menata sendi-sendinya.

Karena, ketika dilihat dari kacamata kepekatan gas COx dan NOx yang ada di atmosfer. Pada masa social distancing ini keberadaan gas rumah kaca menurun jumlahnya. Beberapa gas rumah kaca yang tiap tahun makin menghangatkan atmosfer tereduksi jumlahnya karena kegiatan industri dan pembakaran bahan bakar fosil secara massal menurun. Terpantau juga dari laman sosial media bahwa kondisi sungai di Italia berangsur membaik karena sedikit terjamah oleh aktivitas pariwisata.

Sifat konsumerisme kita juga seyogianya mampu dibatasi selama masa social distancing ini. Kita menjadi lebih sedikit menghabiskan bahan bakar fosil, kita lebih jarang membuang gas berbahaya di jalanan. Kita bisa berlatih untuk membuang limbah lebih sedikit. Kita juga menjadi lebih peduli pada asupan nutrisi yang dikonsumsi tubuh serta menjadi lebih peka terhadap kebersihan diri.

Barangkali, di langit sana burung-burung sedang bergembira karena udara yang selama ini dikotori oleh pembakar bahan bakar fosil berangsur (minimal) menjadi agak bersih. Hewan di perairan dan dalam bumi juga berbahagia karena sedikit cemaran limbah industri yang dirilis ke bumi, berbeda dari hari-hari biasanya. Bumi yang kita injak juga barangkali sedang menata dirinya yang sudah sekian lama diperkosa dengan membabi buta.

Akhirnya, mungkin kita sudah merasa bosan dan jenuh berhari-hari di rumah dan melakukan hal yang itu-itu saja. Barang kali mata kita juga lelah dan capek karena terlalu sering memantau keadaan lewat layar gawai. Barangkali kita juga gerah dan ingin bertemu sanak famili. Perlu kita ingat-ingat lagi, bahwa usaha kita menahan diri di rumah ini tidak hanya sebatas memutus rantai penyebaran virus, tetapi bisa kita niatkan menjadi sebuah arena melihat diri dan menahan kungkungan hawa nafsu. Barangkali selama ini kita sudah terlalu suka dan senang hidup di luar sampai kita tidak tahu batas. Saatnya kita berpuasa sejenak untuk menahan apa yang kita suka, sampai Ramadhan, atau entah kapan nanti.

BACA JUGA Darurat Corona: Jika Negara Muslim saja Menahan Diri, Kenapa Kita Malah Sebaliknya? ATAU Artikel-artikel tentang Virus Corona lainnya