Social Distancing dalam Virus Corona, Kita Perlu Belajar dari Negara Lain

Social Distancing dalam Virus Corona, Kita Perlu Belajar dari Negara Lain

Kita boleh panik atau tidak soal virus Corona ini? Belajar dari pengalaman negara lain menjadi begitu penting

Social Distancing dalam Virus Corona, Kita Perlu Belajar dari Negara Lain

Panik memang kerap merugikan. Terlebih karena kepanikan bisa menghambat kemampuan berpikir logis lalu mendorong tindakan yang merugikan banyak orang seperti menimbun masker karena takut tertular virus corona. Padahal masker sebenarnya tidak banyak berguna menangkal virus bagi orang yang sehat, tapi sangat diperlukan bagi petugas kesehatan atau mereka yang telah terinfeksi agar tidak menyebarkan virus ini ke lebih banyak orang.

Namun artikel yang saya tautkan ini, klik ini dan serangkaian tweet dari beberapa petugas kesehatan di Italia yg sedang mengalami pandemi covid-19 menyadarkan saya bahwa terlalu santai juga bisa sangat berbahaya. Kita harus mulai melakukan langkah pencegahan mulai sekarang. Sebagai bukan siapa-siapa yang tak bisa mengambil kebijakan apa-apa, secara personal kita perlu melakukan social distancing, kita perlu membatasi kontak kita dengan manusia lain sebisanya.

Baca juga: Pengalamanku Belanja Sehari Usai Pengumuman Corona

Artikel yang saya share ini cukup panjang, agak rumit (yah, grafik dan angka-angka bagi sebagian orang itu cukup rumit meski bagi yang lain mungkin sebaliknya), dan berbahasa inggris pula. Jadi izinkan saya membagi sedikit poin pentingnya.

– jumlah pasien resmi (yang diumumkan pemerintah) hampir selalu lebih sedikit daripada jumlah asli orang yang terjangkit virus ini. Virus ini bisa menular meski orang yang terjangkit belum menunjukkan gejalanya (demam, batuk pilek, dll). Bila sudah ada 1 saja kematian akibat virus ini, dapat diperkirakan jumlah terjangkit sebenarnya sudah mencapai angka seratusan (dengan asumsi tingkat kematian 1%, ini perkiraan yang tidak terlalu tinggi lho)

– virus ini memang tidak semematikan beberapa virus atau penyakit lain, tapi kematian tetap kematian, berapa pun jumlah dan persentasenya. Sesedikit apa pun ancaman kematian, kita perlu menghindarinya. Selain itu, daya sebar virus corona baru ini sangat cepat. Bila kita tak melakukan langkah-langkah pencegahan sejak dini, jumlah orang terinfeksi akan mencapai titik seperti italia sekarang: melebihi kapasitas tenaga dan fasilitas kesehatan yang ada.

Bila ini terjadi, tingkat kematian akibat virus ini akan meningkat sepuluh kali lipat. Kok bisa? Ya karena faskes yang tidak memadai tadi. Misalnya begini, virus ini dapat menyebabkan gangguan pernapasan. Bayangkan apa yang terjadi bila jumlah pasien yang membutuhkan alat bantu pernapasan lebih banyak daripada alat yang tersedia di fasilitas kesehatan?

Di italia, petugas kesehatan kadang harus memilih mana pasien yang diberi alat bantu dan mana yang dibiarkan begitu saja. Ini hampir sama dengan menentukan mana pasien yang kemungkinan hidupnya lebih besar dan mana yang tidak. Tak heran banyak sekali seruan bernada stres dari para petugas kesehatan di sana: lebih baik terlalu hati-hati ketimbang terlalu teledor.

Bahkan bila Anda cukup yakin dengan imunitas Anda, bila Anda percaya diri akan menang melawan virus ini, Anda tetap perlu melakukan social distancing. Saya tidak tahu bagaimana Anda, tapi saya pasti akan merasa bersalah bila sampai menjadi media penularan virus ini pada mereka yang kekebalannya lebih lemah dan akhirnya kalah bertarung, seperti anak-anak, para lansia atau mereka yang memiliki kondisi kesehatan tertentu.

Dan entah bagaimana, saya ingin sekali seruan ini sampai pada mereka yang memiliki akses pada pemegang kebijakan: ketimbang bikin seruan-seruan menenangkan yang menyesatkan, tolong buat kebijakan yang lebih masuk akal. Alasan mengapa taiwan, singapura dan hongkong berhasil menekan jumlah yang terjangkiti adalah karena mereka langsung sigap membuat aturan larangan terbang, aturan berkumpul, dll. Mungkin terkesan berlebihan, tapi mereka sudah belajar dari kasus SARS dulu. Mereka tidak menganggap remeh pandemi.

Kalau bisa, indonesia belajar saja dari pengalaman negara lain, tidak perlu kita sendiri yang harus belajar dengan harga yang mahal: nyawa-nyawa manusia.