P. SJ. Van Koningsveld termasuk salah satu sarjana Belanda yang mempertanyakan keislaman Snouck Hurgronje: ia benaran masuk Islam atau pura-pura. Berbeda dengan sarjana yang menganggumi Snouck, Koningsveld berpendapat bahwa Snouck tidak tulus masuk Islam, alias berpura-pura untuk merebut hati umat Islam.
Sebagai perbandingan, Van Koningsveld juga mengutip pandangan sarjana lain tentang status keislaman Snouck. Semisal Frank Schroder yang menyakini bahwa Snouck memeluk agama Islam dengan sepenuh hati pada saat berangkat haji tahun 1885 dan tetap setia sampai akhir hayatnya. O. Hashem, seperti kebanyakan penulis Indonesia, menganggap Snouck sebagai seorang muslim, bahkan bisa dikatakan ulama, tetapi ia mengabdikan pengetahuan dan martabatnya untuk kepentingan penguasa kolonial.
Dua pandangan ini, menurut Van Koningsveld, tidak didasarkan pada argumentasi dan bukti yang kuat. Karena itu, dalam menelaaah Snouck dia tidak begitu tertarik untuk menggunakan pendapat yang sudah umum. Ia menempuh caranya sendiri, yang mungkin berbeda dengan kebanyakan sarjana Belanda pada umumnya.
Dalam pengantar bukunya, Snouck Hurgronje dan Islam, menegaskan, “Saya sadar hendak menyampaikan bahwa di dalam menelaah Snouck, saya ingin menempuh jalan lain daripada yang sampai kini diikuti. Dengan kata lain, menyingkapkan sendiri siapa sebenarnya Snouck dan tidak diam tertegun pada apa-apa yang telah diceritakan tentang dia oleh banyak orang tua.”
Van Koningsveld pernah menjabat sebagai konservator naskah ketimuran di Perpustakaan Leiden tahun 1969-1979. Pada saat itu, salah satu tugasnya adalah mengelola kumpulan naskah yang dihibahkan Snouck Hurgronje dan arsip pribadinya yang diserahkan oleh ahli waris Snouck pada tahun 1957. Sekalipun sering berinteraksi dengan warisan Snouck, baik berupa manuskrip, arsip, dan surat, ia tidak berpikir pada mulanya untuk menulis tentang Snouck.
Rencana itu baru muncul pada tahun 1979 ketika ia mendapat undangan dari lembaga ketimuran negeri Belanda untuk memberikan ceramah pada tanggal 16 November 1979 . Kesempatan ini dijadikannya kesempatan baik untuk bertukar pikiran tentang Snouck Hurgronje. Ceramahnya itu kemudian diterbitkan dalam De Gids, majalah khusus yang membicarakan Islam dan dunia Arab.
Buntut dari ceramah tersebut, Koningsveld dikritik oleh banyak orang, terutama penganggum Snouck. Schroder bahkan menyamakan Koningsveld seperti Ideolog Islam Arab, kaum pembenci orientalis pada umumnya. Ada pula yang menuduhnya dengan tuduhan murah yang tidak mendasar. L.I Graf tahun 1980 menulis, “Saya heran bahwa Van Koningsveld sebagai pembantu utama dalam pengkajian sejarah Islam di Fakultas Teologi Universitas Leiden, mengingkari firman kesembilan: janganlah engkau mengucapkan kesaksian yang lancung tentang sesamamu, dengan cara yang sedemikian ceroboh.”
Atas dasar kritikan itulah, Koningsveld tidak berhenti pada ceramah, dia melanjutkan untuk menulis argumentasinya tentang Snouck.
“Mengingat akibat-akibat ceramah saya, terutama artikel kiriman Graf, barulah saya mengambil keputusan untuk tidak berhenti pada ceramah yang satu itu saja,” Ujarnya.
Kumpulan artikel Koningsveld tentang Snouck ini kemudian diterbitkan edisi bahasa Indonesianya oleh penerbit Girimukti Pasaka tahun 1989. Judul lengkapnya, Snouck Hurgronje dan Islam: Delapan Karangan tentang Hidup dan Karya Seorang Orientalis Zaman Kolonial. Dalam buku ini, Koningsveld menjelaskan argumentasinya dan mengkritik pandangan sarjana pemuja Snouck, seperti J.J Witkam, Schroder, dan lain-lain.
Argumentasi Van Koningsveld
Pada artikel ketujuh tentang “Penulisan Sejarah Suatu Perang Ekspansi Kolonial: Lima Puluh Tahun Setelah Kematian Snouck Hurgronje”, Van Koningsveld menuliskan bahwa salah satu cara yang digunakan Snouck supaya bisa masuk Mekah adalah dengan menunjukkan keislamannya. Masuk atau menetap di Mekah pada jaman dulu tidak mudah bagi non-muslim, kota ini sangat tertutup bagi orang yang tidak memeluk agama Islam.
Setelah berhasil menetap di Mekah, Snouck menulis surat kepada Noldeke di Strassbourg bahwa, “Saya di sini tanpa Izharul Islam (menunjukkan keislaman) sudaj tentu tak mungkin dapat bergaul.” Surat ini menjadi bukti bagi Koningsveld bahwa Snouck hanya berpura-pura masuk islam. Di Mekah, Snouck bergaul dengan banyak orang, terutama ulama dan calon ulama Hindia Belanda, termasuk Aceh. Dari situ pula, ia berhasil membentuk jaringan informan yang dapat diandalkan untuk mendapatkan beragam informasi.
Keberadaan informan ini sangat penting bagi posisi Snouck sebagai penasihat Pemerintah Hindia-Belanda. Hal ini terlihat jelas manfaatnya dalam perang Aceh. Seperti dijelaskan Koningsveld, pasukan Van Daalen berhasil menyerbut tanah Gayo setelah Snouck mendapatkan informasi dari Djambek, atau Njak Puteh, tentang gambaran wilayah Gayo. Njak Puteh sangatlah cerdas, ia mengetahui pusat-pusat penduduk tanah Gayo. Berdasarkan informasinya, dibuatlah sketsa peta Tanah Gayo yang pada akhirnya memuluskan perjalanan perang Van Daalen melalui Tanah Gayo tahun 1904.
Bukti selanjutnya diperkuat dengan dokumen yang terdapat di gedung arsip nasional Jakarta bahwa Pemerintah Hindia Belanda sejak awal sudah mengetahui dan menyetujui “penyamaran” yang dilakukan Snouck untuk bekerja sebagai penasihat pemerintah.
Selain mengandalkan catatan kolonial, Koningsveld juga memakai cerita rakyat sebagai pendukung argumentasinya. Dia mengutip kisah yang dituturkan I.M Damin dalam Majalah Dunia Wanita, terbit 15 Mei 1976. Penulisnya mendasarkan tulisannya pada informasi dari penuturan orang tua setempat.
Diceritakan, dulu ketika tinggal di Aceh, Snouck biasanya berpakaian Arab dengan serba putih. Di sini ia dikenal sebagai “Habib Kulit Putih”, yakni Tuan Kulit Putih yang dihormati, Habib dipakai sebagai gelar kehormatan bagi keturunan Nabi. Sebagai orang yang dianggap keturunan Nabi, Snouck menikmati penghormatan besar. Di tempat-tempat yang didatanginya, selalu diadakan kenduri. Orang membiarkan dia menikmati banyak lauk-pauk, setelah itu orang-orang yang hadir memperebutkan sisa-sisanya demi keselamatan dan kebahagian hidup mereka seterusnya.
Habib kulit putih mengimami ketika shalat dan menjadi khatib pada shalat Jum’at di masjid-masjid. Tetapi pada akhirnya terbukalah topengnya sebagai penipu, yakni ketika seorang pengikut terkejut setelah menyaksikan dengan pasti bahwa Snouck sambil berdiri dan terlebih-lebih dengan menghadap kiblat melakukan hajat kecul. Sejak saat itu ia kehilangan kepercayaan para ulama.
Anggapan Snouck sebagai Habib Kulit Putih ini juga dibenarkan oleh seorang perempuan tua dari Aceh yang tinggal di Bogor. Tahun 1983, ia masih ingat Snouck di Aceh suka berpakaian seperti orang Arab, kepalanya ditutupi sehelai serban hijau, sehingga tak ayal masyarakat mengiranya seorang Sayyid Arab atau keturunan Nabi.
Sekalipun ada yang mempermasahkan cerita rakyat di atas: sumbernya tidak jelas dan hanya sebatas isapan jempol belaka, tapi bagi Koningsveld jangan-jangan kebenarannya tersembunyi dalam cerita dari mulut ke mulut semacam itu. Dia mengatakan:
“Pada akhirnya, saya di antara mereka yang berpendapat, di Mekah dan Hindia Snouck secara lahiriah berpura-pura sebagai muslim, sedangkan dalam batinnya ia seorang agnostis. Inilah pendirian saya sendiri berulang-ulang saya pertahankan, dan juga diikuti oleh beberapa penulis di Indonesia. Misalnya, ketua Majelis Ulama Aceh, dalam wawancara di Kompas pada 13 januari 1983. Menurut hemat saya, inilah kebenaran sejarah yang sederhana dan tersembunyi dalam legenda-legenda yang dikutip di atas: bahwa untuk merebut kepercayaan penduduk, Snouck menampilkan diri sebagai Muslim, kemudian ternyata tidak benar.”