Siwak Itu Sunnah, Tak Sesederhana Logika Sikat Gigi

Siwak Itu Sunnah, Tak Sesederhana Logika Sikat Gigi

Berdasar sejumlah dalil naqli dan Sabda Nabi Muhammad SAW, sungguhlah urusan siwak sama sekali tak sesederhana dan tak sepadan dengan sikat gigi.

Siwak Itu Sunnah, Tak Sesederhana Logika Sikat Gigi

Masyhur kita semua pahami bahwa kaidahnya adalah segala yang datang dari Kanjeng Nabi Muhammad SAW bukanlah hal biasa saja walau secara lahiriah tampak biasa saja, bahkan mungkin terkesan sepele, atau bahkan logis disebut telah ketinggalan zaman untuk masa kini; segala yang datang dari Beliau SAW mengandung kesunnahan, dan segala kesunnahan adalah kebaikan, kebajikan, dan kemuliaan.

Kaidah ini terkukuhkan oleh keterangan-keterangan masyhur lainnya, seperti hadis yang menerangkan bahwa seiring semakin bertambahnya ketakwaan seseorang maka akan semakin bertambah kecintaannya kepada sunnah-sunnah Kanjeng Nabi SAW. Dengan mafhum lain dapat diungkapkan bahwa ketakwaan yang merupakan kunci ridha Allah Ta’ala juga bertali kelindan dengan semakin cinta, hormat, dan tunduknya kita kepada sunnah-sunnah Kanjeng Nabi SAW tanpa kecuali, termasuk yang terkesan sederhana, sepele, bahkan dipandang secara logis telah ketinggalan zaman.

Dan apa yang datang kepada kalian dari Rasul SAW maka ambillah (ikutilah) dan apa yang Rasul SAW larang kepada kalian maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah.” (QS. Al-Hasyr 7).

Di antara hal tersebut adalah siwak. Ya, bersiwak.

Banyak ungkapan negasi dilontarkan tanpa tedeng aling-aling lagi kepada amaliah sunnah siwak ini. Semakin ke sini semakin deras. Titik poin dalih mereka ialah bahwa siwak yang berfungsi sebagai sikat gigi tentulah tidak efektif dan efisien sebagaimana sikat gigi kita kini, baik secara kualitas kebersihannya, kenyamaan, dan kepraktisan penggunaannya.

Sebagian bahkan menambah pernyataan bahwa siwak hanyalah warisan budaya masa lalu, nyaris 1.500 tahun silam, era di mana teknologi belumlah semoncer kini. Sebab itulah maka siwak lalu disimpulkan dalam ungkapan-ungkapan minor serupa “buat apa sih? kok masih berperilaku bagai orang-orang lawasan saja? sikat gigi saja, sudah, beres, lebih terjamin bersih dan nyamannya….”

Suatu malam, dalam rutinan ngaji Washiyyatul Mushthafa di Masjid An-Nur, Jogja, sampailah saya ke bagian yang memuat hadis tentang siwak. Ya, hadis.

Kanjeng Nabi SAW dawuh, “Wahai Ali, hendaklah engkau bersiwak, di dalam bersiwak itu terdapat 24 fadhilah bagi agama dan badan.

(((24 fadhilah))) Ya, sungguh tak tanggung-tanggung!

Ada 24 keutamaan dalam bersiwak yang diamanatkan Sayyidul Kaunaini was Tsaqalaini wal Fariqaini. Bukan hanya dalam urusan badan (kebersihan mulut dan gigi serupa fungsi sikat gigi), tetapi pula di dalam agama kita. Ya, agama ini.

Beberapa hari berselang, alhamduliLlah, di dalam kitab Risalatul Arba’in karya Imam Jalaluddin al-Suyuthi–salah satu pengarang kitab Tafsir Jalalain—saya menemukan keterangan-keterangan begini:

Kanjeng Nabi SAW dawuh, “Shalat dua rakaat dengan bersiwak lebih baik daripada shalat 70 rakaat tanpa bersiwak.

Kanjeng Nabi SAW juga dawuh, “Bersiwaklah karena ia mensucikan mulut dan keridhaan bagi Tuhan (diridhai oleh Allah Ta’ala).

Beliau SAW juga dawuh, “Sucikanlah mulutmu dengan bersiwak, karena sesungguhnya mulut merupakan jalan (bacaan) al-Qur’an.

 

Beliau SAW juga dawuh, “Malaikat Jibril tak henti-hentinya menasihatiku untuk bersiwak sampai aku khawatir hal itu (bersiwak) ditetapkan sebagai sunnahku.” Dalam hadis berikutnya disebutkan, “Aku diperintah (oleh Jibril) untuk bersiwak sampai aku takut hal itu (bersiwak) disunnahkan kepadaku.

Maksud Kanjeng Nabi SAW menyatakan “takut dijadikan sunnahku” adalah karena Beliau SAW sungguh tak ingin menghadirkan hal-hal yang memberatkan umatnya –sebagaimana pula bisa kita lihat dari riwayat shalat Tarawih yang dikhawatirkannya jadi kewajiban bagi umatnya.

Kalimat hadis tersebut (“takut dijadikan sunnahku”) tidak wajar dipahami sebagai bukti bagi tidak sunnahnya bersiwak. Anda bisa mencermati ketidakmungkinan pemahaman begitu dengan merujuk kepada hadis lainnya, seperti “Wahai Ali, hendaklah engkau bersiwak, di dalam bersiwak itu terdapat 24 fadhilah bagi agama dan badan.” Dan, “Shalat dua rakaat dengan bersiwak lebih baik daripada shalat 70 rakaat tanpa bersiwak.

Maka sungguh mustahil jika adanya berjubel barakah dan maslahat dalam amal bersiwak itu lalu dipahami bukan sebagai keutamaan dan kemuliaan dari sisi Kanjeng Nabi SAW. Di bagian berikutnya, Anda akan menemukan hadis dari riwayat Abu Hurairah r.a. yang meneguhkan kemuliaan dan keutamaan beramal siwak ini.

Dalam kitab yang sama ada bagian yang menyebutkan bahwa di antara ajaran yang disunnahkan kepada para utusan Allah Ta’ala sejak dulu kala adalah bersiwak.

Imam Ghazali rahimahuLlah memasukkan sejumlah hadis tentang siwak dalam kitabnya, Bidayatul Hidayah, pada bagian awal bab adab berwudhu.

Janganlah engkau meninggalkan siwak, karena sesungguhnya di dalam bersiwak mengandung manfaat membersihkan mulut dan keridhaan dari Allah Ta’ala dan ketidaksukaan dari setan dan satu shalat dengan bersiwak lebih utama daripada shalat 70 shalat tanpa siwak.

Dari Abu Hurairah r.a. Kanjeng Nabi SAW dawuh, “Kalau saja aku tak khawatir memberatkan umatku, maka sungguh aku akan menyuruh mereka bersiwak dalam setiap shalatnya.

Lalu satu hadis lagi, “Aku diperintahkan untuk bersiwak sampai aku takut bersiwak akan diwajibkan kepadaku.” Maksudnya, Beliau SAW takut hal tersebut menjadikan berat bagi umatnya.

Riwayat-riwayat naqli di atas hanyalah sebatas yang saya dapatkan dari kitab-kitab kecil. Dapat diduga kuat bahwa keterangan-keterangan lebih luas perihal kesunnahan bersiwak tersedia lebih banyak dan luas dari dalam kitab-kitab tebal lainnya. Mungkin Riyadhus Shalihin, apalagi Kutubus Sittah.

Saya kira nukilan hadis-hadis di atas cukuplah kini untuk membuat kita memahami bahwa urusan siwak sungguh sama sekali tak sesederhana dan tak sepadan dengan sikat gigi. Bersiwak adalah amaliah sunnah, dengan banyak hikmah dan fadhilah yang tak hanya berfungsi dan berguna dalam ranah kebersihan tubuh dan mulut, tetapi lebih jauh, jauh lagi, yakni perihal ridha Allah Ta’ala dan nderekke secara ta’dhim kepada Kanjeng Nabi SAW.

Mustahil untuk masih saja ada di antara kita yang berani berargumen dengan ceroboh bahwa bersiwak adalah budaya orang-orang terdahulu yang belum kenal teknologi sikat gigi dan odol sehingga di masa kini tiadalah relate lagi untuk mengusung dan membiasakan diri bersiwak.

Sekali lagi, kaidahnya sangat jelas, tsiqah, dan masuk akal, bahwa segala apa yang datang dari Kanjeng Nabi SAW, sesederhana apa pun, mengandung kesunnahan; segala kesunnahan mengandung fadhilah dan maslahat, baik secara lahiriah maupun apalagi secara batiniah-spiritual; dan di antara indikasi makin takwanya seseorang ialah semakin cintanya ia kepada sunnah-sunnah Kanjeng Nabi SAW.

Soal umpama ada seseorang yang belum mengetahui dasarnya serta fadhilah dan hikmahnya, seperti sunnah siwak ini, jelas hal itu adalah soal lain. Namun sahihnya tentulah jangan sampai kita berucap dan berperilaku riskan lancang kepada Kanjeng Nabi SAW–misal akibat keawaman kita—karena sungguh dikhawatirkan sikap demikian hanya akan menjatuhkan kita kepada “yu’dunaLlaha wa rasulahu” (menyakiti Allah Ta’ala dan utusanNya SAW) dan menabrak larangan njedulke awak dewe (sok tahu, sok mutuske) di hadapan Allah Ta’ala dan RasulNya SAW–Ya ayyuhal ladzina amanu la tuqaddimu baina yadayiLlahi wa rasulihi, wahai orang-orang beriman janganlah kalian mendahulukan diri kalian di hadapan ajaran Allah Ta’ala dan RasulNya Saw.” (QS. Al-Hujurat 1).

Finally, saya tambahkan satu keterangan lagi dari kitab Nashaihul ‘Ibad. Siapa yang ingin dikaruniaiNya ingatan (hafalan) yang kuat hingga bertahta di dalam hati, hendaklah ia berpuasa, menjaga wudhu’, dan bersiwak.