Indonesia sebagai negara hukum mengatur undang-undang penistaan agama. Kasus penistaan agama di Indonesia masih mengacu kepada UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Salah satu kasus yang termasuk dalam penistaan agama adalah menjelek-jelekkan simbol-simbol yang dihormati dalam agama tertentu. Dalam Islam, Nabi Muhammad termasuk sosok yang dihormati, sehingga orang yang melecehkan Nabi patut mendapatkan hukuman, baik pelakunya non-Muslim atau bahkan muslim.
Penghinaan terhadap Nabi juga pernah dilakukan sekelompok Yahudi yang menyampaikan ujaran kebencian kepada Nabi. Saat itu Aisyah kebetulan sedang berada di rumah menemani Nabi. Sekelompok umat Yahudi sengaja mendatangi rumah Rasulullah Saw. hanya untuk menghinanya bahkan menyumpahinya mati. Dalam bahasa Arab, mereka mengatakan as-Sam ‘alaik kepada Nabi.
“Hei Muhammad, modar lu,” begitu kurang lebih terjemahan as-Sam ‘alaik yang dilontarkan sekolompok Yahudi pada Nabi.
Mendengar sumpah serapah ini, Aisyah sebagai istri Nabi tentu geram dan membalas ujaran mereka dengan setimpal. Asiyah berujar demikian, as-Sam ‘alaikum, wa la’anakumullah wa ghadhiba ‘alaikum. “Celaka kalian, umat Yahudi. Semoga Allah melaknat dan membenci kalian.”
Apa respon Nabi? Apakah Nabi iku terpancing emosi Aisyah?
Nabi justru berkata demikian kepada Aisyah, mahlan ya ‘Asiyah, alaiki bir rifqi wa iyyaki wal ‘unf aw al-fuhsy. “Tenang Aisyah, tetaplah berperilaku lembut (kepada mereka), tak usah emosi dan berkata kotor,” begitu nasihat Nabi pada Aisyah.
Merasa belum puas, Aisyah pun agak protes kepada Nabi, “Nabi, tidakkah engkau mendengar perkataan buruk mereka padamu?”
“Iya, saya dengar Aisyah. Biarkan saja Allah yang membalas. Kalau saya tidak zalim, insya Allah mereka yang akan terkena akibatnya sendiri dari doa buruk mereka.”
Sebagian kita mungkin akan bertanya-tanya, pantas saja lah Nabi tidak membalas, kan orang Yahudi yang datang ke rumah Nabi itu berkelompok. Mungkin saja Nabi takut pada sekelompok Yahudi itu kan? Ternyata tidak. Sikap Nabi terhadap orang Yahudi yang menghinanya masih tetap konsisten.
Di lain kesempatan, ada seorang Yahudi yang menghina Nabi dengan ucapan yang sama, as-Sam ‘alaik. Saat itu Nabi hanya membalasnya dengan wa ‘alaik. Sahabat Nabi sudah geram dengan perbuatan orang Yahudi tersebut. Mereka bahkan ingin membunuh orang Yahudi itu. Namun Nabi melarang para sahabat untuk melakukan hal yang tidak setimpal itu.
“Masa hanya perkataan menghina saja dibalas dengan pembunuhan?”
Begitulah ilustrasi yang disampaikan Nabi pada para sahabat. Karena itu, hate speech yang dilakukan sebagian kelompok yang pernah meneriakkan bunuh seseorang yang ‘dianggap’ menghina, yang bahkan diikuti anak-anak kecil yang belum berdosa itu bukan akhlak Rasulullah yang patut ditiru.
Kisah yang pertama direkam dengan baik oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim. Sementara itu, kisah kedua bisa kita temukan dalam kitab Sahih al-Bukhari. Pemahaman ulama terhadap hadis-hadis penistaan agama seperti di atas berbeda-beda. Agaknya, pendapat imam Malik, imam Syafi’i, dan Imam Ahmad terlalu berat untuk diterapkan.
Mereka berpandangan bahwa pengadilan berhak menjatuhkan vonis hukuman mati terhadap pelaku penista agama, baik non-Muslim maupun muslim yang melakukannya. Tapi ingat, hukum ini tidak berlaku di Indonesia.
Membaca beberapa hukuman kasus pidana penistaan agama, tampaknya mazhab Hanafi terlihat lebih humanis dan luwes daripada tiga mazhab yang lain. mazhab Hanafi hanya menjatuhkan hukum takzir sesuai kebijakan hakim, seperti hukuman penjara.
Pendapat ini tentu sangat sesuai dengan undang-undang penistaan agama yang berlaku di Indonesia. Hukuman ini diberlakukan agar semua masyarakat tidak seenaknya melakukan penistaan terhadap agama lain, baik muslim terhadap non-Muslim atau pun sebaliknya.
Ibnu Kharis, Peneliti hadis di el-Bukhari Institute