Film The Boy in the Striped Pajamas: Bayang-Bayang Ideologi Orang Tua Pada Anak

Film The Boy in the Striped Pajamas: Bayang-Bayang Ideologi Orang Tua Pada Anak

Pelibatan ideologi dalam pengasuhan anak mulanya mengharapkan kebaikan untuk anak. Namun, ideologi juga menuntut prasyarat untuk tidak menguji kembali apa yang dianggapnya baik.

Film The Boy in the Striped Pajamas: Bayang-Bayang Ideologi Orang Tua Pada Anak
Colorful gradient poster mockup psd glued to the wall

Di suatu siang, Elsa mencium sesuatu dari cerobong bangunan beberapa ratus meter dari belakang rumah barunya. Baunya agak ganjil, antara sangit dan organik.

Setelah menelisik dari tentara yang bolak-balik masuk rumahnya, Elsa mendapati bangunan di belakang adalah kamp konsentrasi, tempat orang-orang Yahudi digas sebelum kemudian dikremasi masal.

Ralf, suami Elsa, baru saja naik jabatan dan dipindah-tugaskan dari Berlin ke pedesaan di Polandia. Ralf mengabdi untuk Schutzstaffel, sejenis organisasi paramiliter di bawah Nazi.

Ralf sibuk memantau kerja-kerja kamp konsentrasi, dan Elsa sesekali mengorganisir urusan rumah. Anak laki-laki mereka, Bruno, diserahkan kepada Pak Liszt untuk belajar geografi dan sejarah.

Meski berjasa bagi pendidikan Bruno, tapi keluarga Nazi pantang ramah terhadap Yahudi, termasuk Pak Liszt. Ia dipaksa menangani banyak pekerjaan rumah, jam kerja berlebih, tanpa perawatan gizi dan kesehatan memadai. Kondisi ini berlangsung dalam jangka panjang. Merosotnya kesehatan fisik Pak Lizt tidak membuat Ralf dan Letnan Kurt lunak. Keduanya justru makin berang ketika Pak Lizt kedapatan menumpahkan wine.

Bruno, anak umur 7 tahun, menjelajah daerah sekitar, dan mendapati seorang bocah sepantarannya duduk di dalam pagar kawat halaman kamp. Shmuel namanya. Ia mengenakan baju ‘mirip’ piyama garis-garis putih-biru.

Bruno dan Shmuel sama-sama tak tahu apa artinya perbedaan pakaian di antara mereka, dan tak terbayang sama sekali soal ke arah mana perbedaan latar dan keluarga akan membawa mereka nanti.

Shmuel hanya tau, kalau kakek dan ayahnya meninggal karena sakit dan ia hanya tinggal sementara di balik pagar. Bruno bercerita soal Berlin dan kepindahannya ke Polandia. Mereka pun semakin akrab dan saban hari ada saja permainan serta makanan yang Bruno selundupkan meski keduanya terpisah pagar. Sampai pada suatu hari, Bruno kaget ketika Shmuel bekerja di rumahnya.

Kebahagiaan Bruno dan Shmuel tidak berumur panjang. Letnan Kurt segera mengembalikan Shmuel ke kamp setelah memergokinya mengunyah kue pemberian Bruno.

Bruno mulai memendam sesuatu, mengapa keluarganya begitu diskriminatif? Ibunya menangkap unek-unek ini sambil menenangkan Bruno dengan penjelasan ala kadarnya, meski sebelumnya Elsa juga pernah protes besar ke suaminya soal kamp konsentrasi orang-orang Yahudi.

Akan tetapi, kendali dan aturan rumah tangga sepenuhnya ada di tangan Ralf. Elsa dan Bruno tak bisa berbuat banyak. Unek-unek Bruno makin mengkristal saat mendengar isi muatan film propaganda Nazi yang ayahnya putar bersama kolega tentara.

Pengalaman ini membuat Bruno makin bersahabat dengan Shmuel. Sampai kemudian Bruno terselip dalam kerumunan orang berpiyama garis-garis putih-biru, dan tewas di kamp konsentrasi.

Meski Bruno mati di kamp konsentrasi, tapi Bruno-Bruno lain selalu tereproduksi di setiap zaman dan tempat dengan khasnya masing-masing.

Ideologi orang tua telah sejak lama membayangi anak-anak. Anak-anak sering diibaratkan sebagai kertas putih yang nasibnya tergantung kehendak pewarna, orangtua atau institusi sosial. Ini mungkin ada benarnya, tetapi tidak sepenuhnya mutlak.

Setiap anak yang lahir memang tak bisa menawar di mana, kapan, dan dalam situasi sosial-budaya-ideologis apa dia lahir. Tetapi naluri eksploratif, dan pengalaman trial & error juga punya peran-pengaruh bagi pembentukan pandangan hidup dan kesimpulannya mengenai suatu hal. Banyak pihak takut atas kemungkinan kesimpulan anak.

Dengan kata lain, anak adalah subjek reproduksi sosial. Nilai, cara pandang, budaya, dan ideologi semuanya dipertaruhkan dalam proses reproduksi ini. Hal ini juga yang menjelaskan mengapa konstruk anak―dengan siapa ia bergaul, dan apa konsumsi pengetahuannya―bisa menjadi rebutan banyak pihak.

Orang tua memberlakukan proteksi, penyedia layanan pendidikan menjaja kurikulum, ormas menyelenggarakan kaderisasi, iklan menyusun mitos dan persuasi, dan rezim menggariskan mimpi-mimpi. Namun semuanya bekerja menurut garis idealnya masing-masing, dan di beberapa negara, sampai pada taraf membunuh kemanusiaan dan naluri eksploratif anak.

Bruno membuktikan bahwa ideal-ideal yang diyakini orang tuanya belum tentu benar. Ia tidak tahu bagaimana mengungkapkan ketidak-setujuannya dengan bahasa lugas, tetapi kepolosan dan naluri eksplorasi Bruno dengan sendirinya mematahkan ideologi orang tuanya, meski ia harus membayar mahal atas kepolosannya. Saya yakin Bruno tidak sendiri.

Film dokumenternya Andrew Callaghan, This Place Rules (2022)―tentang kisah pandangan hidup pendukung Trump sebelum menggeruduk Gedung Putih―merekam potret keluarga Spencer. Anak laki-lakinya (umur 8 tahun) menuturkan kebenaran dunia:

“Orang-orang yang mengatur dunia sebenarnya adalah orang-orang Italia Vatikan. Mereka pada dasarnya adalah turunan reptil dari planet lain. Mereka orang-orang jahat yang sebenarnya adalah robot seperti Rothschild yang menghisap darah anak-anak untuk mendapat adrenaclone agar tetap muda dan cantik selamanya. Mereka menculik anak dan melumurinya sebelum dibawa ke ruang bawah tanah Pulau Epstein.”

Kakak perempuannya yang berusia 9 tahun menambahkan:

“Aku pernah ke McDonald mau beli Muffin, dan ternyata ada gigi manusia di dalamnya. Makanan McDonald terbuat dari gilingan anak-anak.”

Saat ditanya dari mana mendapatkan kebenaran itu, adiknya menjawab, kalau ia memperoleh itu semua dari dark-stream media, sebab info-info di media arus-utama katanya perlu diklarifikasi ulang. Orang tua mereka menyadari bahwa anak-anak mereka memiliki sedikit teman sejak menutuskan untuk tidak bersekolah di sekolah umum.

Akan tetapi mereka yakin anak-anaknya akan tumbuh sebagai warga negara yang lebih baik di masa depan.

Contoh lainnya, di wilayah perkotaan Indonesia, terutama Jabodetabek, ada satu anjuran tak tertulis namun imperatif di kalangan penduduk perumahan yang menempatkan anak-anak yang tidur siang adalah lebih baik dari mereka yang tidak.

Teror kekhawatiran yang dihembuskan mulai merentang pada resiko kulit yang menghitam sampai soal pengaruh buruk anak-anak kampung kota yang umumnya beraktifitas di siang hari.

Stigma dan diskriminasi itu makin menegas terutama sejak gairah modernisme tahun 1980-an dan 1990-an mengukuhkan nilai-nilai mulia dan prestis pada sesuatu yang ‘putih’ dan ‘kota’. Di saat yang sama, politik sipil Orde Baru soal konstruk ‘kampung yang beringas’ dan ‘perumahan yang beradab’ juga turut menambah keduanya makin tegas.

Anjuran tidur siang, dengan ragam stigma di belakangnya, tidak runtuh seketika setelah Orde Baru bubar di tahun 1998. Di masa Indonesia kolonial, anak-anak kulit putih tidur siang untuk memenuhi keyakinan orang tuanya bahwa Hindia-Belanda siang hari adalah tempat yang tidak aman.

Tak ada tempat bagi anak-anak kulit putih di tengah hiruk-pikuk petani, buruh tebu, dan anak-anak pribumi yang menjaga kerbau sambil mandi di sungai. Bagi orang tua kulit putih, membiarkan anak-anak mereka berada di hiruk-pikuk Hindia-Belanda siang hari adalah sama artinya merubuhkan hierarki kelas.

Bruno, bagaimanapun juga, adalah korban ideologi Nazi. Anak-anak keluarga Spencer tanpa sadar mempertaruhkan masa depan pendidikan, kerja, dan sosial mereka di tangan Trumpisme. Dan, anak-anak komplek di Jabodetabek masih merasakan warisan kolonialisme.

Sejarah telah membuktikan ketiganya sama-sama punya riwayat merah di kehidupan manusia. Tetapi apakah hanya ideologi-ideologi bereputasi merah yang merugikan dan mengerdilkan anak? Ini tidak terkecuali Islamisme.

Bagi genre Islam ekstrimisme berkekerasan, dan genre Islam perkotaan konservatif, naluri eksplorasi dan dengan siapa anak bergaul, jelas punya batasan tegas dan tak terlanggar. Batas serupa juga ada di Islam tradisional, khususnya ketika bercampur nilai-nilai kota dan ‘arisan-isme’.

Cita-cita menjadi kiai yang asketis dan dekat dengan kehidupan agraris tanpa emblem pendidikan formal atau jumlah harta yang mentereng, dengan sendirinya bisa bergesekan dengan ekspektasi-ekspektasi keluarga besar yang terlanjur menghargai hal-hal urban kosmopolit berbalut klaim-klaim barokah dan bakti kepada orang tua menurut angan-angan ekonomi dan konsumerisme.

Pelibatan ideologi dalam pengasuhan anak mulanya mengharapkan kebaikan untuk anak. Namun di saat yang sama, ideologi juga menuntut prasyarat untuk tidak menguji kembali apa yang dianggapnya baik.

Negosiasi antara orang tua dan anak soal apa yang dianggapnya baik kemudian menjadi sesuatu yang tabu. Hanya sebagian orang tua yang bisa menerimanya. Di siklus ini, naluri eksplorasi dan eksperimentasi anak pada masalah dan pandangan hidup tidak memperoleh dialog dua arah, melainkan dipatri pada larangan dan doktrin yang umumnya berakar dari stigma-stigma dan generalisasi personal di periode lampau.

Banyak orang tua yang seiring bertambahnya usia merasa semakin final. Padahal menua adalah proses jalan mundur untuk menguji kembali apa-apa yang sebelumnya dianggap mapan dan final. Dengan demikian, menua menjadi laku berkesinambungan untuk terbuka pada kemungkinan-kemungkinan kesimpulan yang anaknya peroleh.

 

Judul Film           : The Boy in the Stripped Pajamas

Direktur               : Mark Herman

Tahun                    : 2008

Genre                    : Perang/Drama