Kehadiran komik yang sampai ke pembaca bukanlah sesuatu yang muncul dalam ruang kosong. Konteks sosial dan politik terkait dengan posisi komikus mempengaruhi cara ia menceritakan dan menggambarkan situasi yang ingin disampaikan. Komik sebagai ekspresi sosial ini ditegaskan oleh Ben Anderson (1990) lebih jauh dalamImagined Communities. Menurutnya, komik berfungsi sebagai sarana mengungkapkan ekspresi alam pikiran dan aspirasi rakyat kepada penguasanya.
Di sisi lain, bagi penguasa ataupun negara, komik juga memiliki resepsi yang berbeda dengan pembuatnya. Seperti produk budaya populer lainnya, di tengah era perang dingin dan menguatnya anti-kolonialisme yang diserukan oleh presiden Sukarno, komik pun dianggap sebagai sampah dan racun barat, Lebih jauh, komikus dianggap sebagai seniman yang melakukan tindakan subversif (Imanda, 2012). Dengan bentuk lebih sederhana, yaitu kartun, media populer ini menjadi media pengkritik yang paling halus sekaligus tajam dalam menguatkan pesan yang muncul dalam berita di media massa nasional di tengah cengkeraman rejim Orde Baru (Ajidarma, 2012).
Dalam konteks lebih luas, komik juga berfungsi dalam menyampaikan ideologis pembuatnya. Artikulasi ideologi komikus ini terlihat dengan kehadiran komik Marvel. Dengan semangat untuk membela kelompok minoritas dan tertindas, pahlawan-pahlawan yang dimunculkan oleh komik Marvel itu menunjukkan ideologi kesetaraannya untuk menegaskan bahwa meskipun berbeda, mereka adalah bagian dari makhluk hidup yang memiliki hak yang sama dengan yang lain. Selain latar belakang sosial politik Perang Dunia yang terjadi di Eropa dan Amerika, advokasi kepada dua kelompok inilah yang justru menjadi daya tarik para pembaca untuk mendalami karakter-karakter dalam tokoh pahlawan komik Marvel.
Kehadiran Ardian Syaf yang muncul di acara Kick Andy Metro TV pada tahun 2014 sebagai komikus Indonesia yang mendunia karena menjadi penciler, orang yang menggambar atau membuat sketsa merupakan sosok yang menarik untuk lebih dalam. Ardian memiliki reputasi internasional dengan terlibat dalam pembuatan komik Marvel dan dikontrak secara ekslusif selama 2 tahun dengan kemungkinan perpanjangan kontrak. Namun, alih-alih memiliki semangat atas pembelaannya terhadap kelompok minoritas dan tertindas sebagaimana tercermin dalam komik Marvel, Ardian justru memiliki ideologi yang bertolak belakang.
Atas nama pembelaannya terhadap Islam terkait dengan kasus penodaan terhadap agama yang dituduhkan kepada Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dengan adanya rentetan aksi dengan nama-nama angka, dan keterlibatannya dengan menghadiri demonstrasi tersebut, ia menuliskan angka 212, simbol dari demonstrasi pada 2 Desember 2016, dan QS 5:51, salah satu surat Alquran, Al-Maidah ayat 51, dalam lembaran komik yang ia gambar. Ini terlihat dalam dua lembar yang ditorehkan dalam dua tokoh karakter X-Men, Kitty, Pryde, mutan Yahudi, yang sedang berkonfrontasi dengan manusia. Di lembar yang berbeda, Ardian menaruh pesan di kaos tokoh mutan Colossus yang bertuliskan QS 5:51, saat bermain bisbol.
Sikap politik keagamaan yang dimasukan dalam Komik ‘X-Men Gold #1’ ini memunculkan pelbagai respons, tidak hanya pembaca melainkan juga netizen, baik nasional maupun internasional dengan beberapa alasan. Pertama, secara kepemilikan ini bukanlah komik miliknya, tetapi ia dipekerjakan sebagai orang yang menggambar atau membuat sketsa (penciler) oleh Marvel dan dibayar secara profesional.
Pencipta Marvel sendiri adalah orang Yahudi.Kedua, demonstrasi dan ayat Alquran tersebut, yang seringkali diartikan secara sempit sebagai larangan dipimpin oleh pemimpin non Muslim adalah isu sensitif, yang telah membelah masyarakat Indonesia ke dalam dua kubu secara tajam. Demonstrasi inilah yang justru membuat masyarakat Muslim Indonesia dianggap semakin menuju ke arah radikal seiring dengan naiknya tokoh-tokoh konservatisme Islam ke panggung nasional, sebagaimana diberitakan oleh beberapa media internasional. Ketiga, dengan adanya dua kumpulan angka tersebut, justru mencederai semangat keragamaan dan pluralitas yang justru ingin dibangun dalam komik Marvel.
Dalam konteks lebih luas, dengan kehadiran Trump sebagai presiden Amerika Serikat yang membangun sentimen kebencian kepada kelompok Muslim di Amerika dan negara-negara mayoritas Muslim lainnya serta gejala munculnya gerakan populisme yang ditandai dengan anti-imigran, di mana mayoritas mereka adalah Muslim di Eropa, dengan kasus ini, memperkuat asumsi stereotip yang dibangun. Kekhawatiran ini justru menjadi reproduksi ketakutan bagi komikus-komikus Indonesia yang ingin dan sedang berkiprah di dunia internasional dengan berkaca kepada apa yang dilakukan oleh Ardian, dianggap sebagai anti Kristen dan Yahudi. Apalagi, kasus ini tidaklah dianggap sepele, melainkan sudah menjadi viral di dunia internasional.
Produk budaya populer komik Marvel sendiri memiliki jumlah penggemar yang cukup banyak di pelbagai belahan dunia, dengan ragam bangsa, agama, etnik, dan ideologi. Teguran keras kepada Ardi ini terlihat saat pihak Marvel berencana menarik semua produk X-Men Gold #1 dan melakukan tindakan pendisplinan kepada Ardian (Elderkin, 2017). Di sisi lain, asumsi membela Islam ini justru ditafsirkan secara berbeda oleh kelompok Gerakan Nasional Pembela Fatwa (GNPF) MUI sebagai bentuk pelecehan (Detik.com, 9 April 2017).
Melihat respon yang begitu besar dengan nada menyalahkan tersebut Ardian meminta maaf di publik melalui fan page-nya. Meskipun sebelumnya, ia membela keyakinannya dan sikap politik keagamaan yang dipegangnya. Ia juga menghapus seluruh unggahan yang terkait dengan isu tersebut pada malam hari, 9 April 2017. Sebagaimana ia tuliskan, “atas semua yang terjadi saya meminta maaf dengan tulus. Yang jelas saya tidak anti Kristiani atau Yahudi (orang yang kenal secara personal pasti tahu). Bagi yang kontra dan mencaci maki saya, saya tidak akan pernah membenci anda. Dan bagi yang telah memberikan support dan dukungannya, saya ucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya. Selanjutnya semua saya serahkan pada Allah SWT, saya tinggal menjalani takdir-Nya.
Saya doakan semoga semua selalu diberi kesuksesan. Terima kasih,” (Detik.com, 10 April 2017). Namun, coretan itu sudah sampai di publik dan diinterpretasikan secara beragam oleh publik nasional dan internasional. Kecepatan media sosial dalam mengangkat isu sehingga menjadi viral memperburuk situasi untuk mengembalikan rasa maaf yang diucapkannya.
Bercermin kepada kasus ini, menyalahkan sepenuhnya kepada Ardian atas pernyataan politiknya ada benarnya, meskipun itu tidak berarti orang harus merawat kebencian kepadanya. Namun, dari peristiwa ini kita dapat mengambil pelajaran bahwa menunjukkan sikap politik individu itu hal yang biasa dalam dunia komikus. Akan tetapi, menunjukkan sikap politik saat bekerja dan dibayar oleh orang lain, serta menggunakan properti yang bukan miliknya adalah tindakan yang tidak profesional. Apalagi, dalam industri komik besar seperti Marvel dan DC Comics memiliki prosedur dan kesepakatan tertentu untuk mengerjakan satu proyek yang diminta. Tindakan itu mencederai karir yang sudah dibangunnya melalui kerja keras dan persaingan yang ketat.
Lebih jauh, melalui peristiwa ini, Ardian bisa belajar lebih dalam bagaimana membangun empati kepada masyarakat Muslim yang justru menjadi minoritas di negara Amerika dan Eropa sambil merefleksikan sikap empati kepada kelompok yang berbeda di negaranya sendiri sebagai mayoritas Muslim. Bertukar posisi dengan mengimajinasikan rasa mengalami sebagai minoritas di dunia non-Muslim, begitu juga sebaliknya, adalah cara bagaimana toleransi, dengan batas-batas yang dimilikinya, bisa membangun rasa persaudaraan atas nama kemanusiaan.
*) Wahyudi Akmaliah, Peneliti di Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan/P2KK LIPI.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia