Tiba-tiba saya teringat kisah ini. Almarhum Cak Nur di Muktamar Pemikiran Islam di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Asembagus, Situbondo, menjelaskan tentang fungsi shalat. Dia menyatakan bahwa shalat adalat sarana untuk membentuk kepribadian yang baik. Manusia dengan kepribadian yang baik ditandai dengan kebaikannya kepada sesama manusia. Oleh karena itu, semakin seseorang rajin menunaikan shalat, semestinya orang itu akan menjadi manusia yang berperilaku baik kepada sesama.
Cak Nur yang saat itu dikenal sebagai pemikir Muslim progresif dengan ide-idenya yang sangat berani (misal, sekularisasi; Islam Yes Partai Islam No), statemen di atas terasa “garing” di telinga peserta yang didominasi anak-anak muda. “Garing” karena pemikiran Cak Nur di atas terasa mainstream banget, tidak ada kejutan dan kurang “nendang”.
Moderator mencoba memancingnya dengan sebuah pertanyaan yang menantang: “Kalau kita sudah menjadi pribadi yang baik, berarti kita gak harus shalat kan?” Audiens tampak adem-adem saja dengan pertanyaan itu. Tidak ada gaduh, tidak ada umpatan. Mereka paham bahwa ini adalah forum akademik di mana setiap pertanyaan harus dihargai dan didiskusikan dengan tenang dan kritis.
Mendengar pertanyaan itu, Cak Nur tersenyum seperti biasanya. Dia menjawab dengan kalem. Baginya, pernyataan moderator itu kurang tepat. Kesalahan terletak pada kesombongan yang mengeram di balik pernyataan itu. Kesombongan itu adalah perasaan yang menganggap bahwa dirinya sebagai orang baik.
Pesan yang hendak disampaikan Cak Nur jelas sekali: Menjadi orang baik adalah baik; tapi merasa menjadi orang baik adalah buruk. Ini adalah dua modus/cara orang dalam menjalani hidup. Cara pertama akan mendorong orang untuk tetap berusaha meningkatkan kualitas hidupnya. Orang yang terus berusaha menjadi baik akan tetap rendah hati dan mau belajar dari orang lain. Batas kebaikan hanya ada pada Yang Maha Baik, yaitu Allah. Oleh karena itu, orang yang berusaha menjadi baik akan tetap menisbikan dirinya karena kebaikan mutlak hanya milik Allah.
Sementara, modus hidup kedua adalah bentuk kesombongan terselubung. Orang yang merasa dirinya sebagai baik mudah jatuh ke dalam sikap merendahkan orang lain dan memutlakkan dirinya. Alih-alih aktif meningkatkan kualitas hidupnya, orang seperti ini akan membatu karena menganggap dirinya telah sempurna. Yang lebih berbahaya dari orang seperti ini adalah menganggap dirinya sebagai standar kebenaran. Di sinilah kesombongan menjadi nyata.
***
Merenungkan kembali wejangan Cak Nur, saya jadi berpikir tentang orang yang ke sana ke mari menjajakan kisah hidupnya agar ditonton orang karena menganggap hidupnya layak menjadi teladan. Tidak diragukan bahwa setiap kisah hidup seseorang pasti terselip teladan baik. Namun jika yang menyatakan teladan baik itu adalah orang yang bersangkutan (“Lihatlah aku; Ikuti kisah hidupku karena kisah hidupku adalah sebuah keteladanan!”), rasanya itu adalah sebentuk kesombongan. Bahkan, dengan cara seperti itu saja kita tahu bahwa sikapnya yang sombong itu bukanlah sebuah teladan yang baik.
Lain cerita jika yang menyatakan dan mengakui kebaikan itu adalah orang lain. Biarlah orang lain yang menilai kita. Yang bisa kita lakukan adalah terus berupaya menjadi pribadi yang baik. Kita tahu ada film Sang Pencerah yang mengangkat kisah hidup KH. Ahmad Dahlan dan Sang Kiai yang memotret perjuangan KH. Hasyim Asy’ari. Pembuat film dan orang-orang yang menontonnya mengakui bahwa kisah hidup kedua tokoh itu memang layak menjadi teladan.
Andai Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy’ari hidup kembali saat film tersebut di-release, apakah mereka akan koar-koar bahwa kisah hidupnya adalah teladan kebaikan, karena itu mereka meminta orang-orang untuk menonton filmnya? Kalau itu yang mereka lakukan, apa yang ada dalam pikiran kita? Mungkin diam-diam kita akan berpikir bahwa kedua tokoh tersebut tidak sungguh-sungguh pribadi yang patut diteladani.
Saya teramat yakin kalaupun mereka hidup kembali, mereka tidak akan melakukan hal itu. Mengapa? Karena mereka berdua tahu beda antara kebaikan dan kesombongan.[]