“Apa aku tidak bisa lagi memuaskanmu?” Pertanyaan itu meluncur dari bibirnya ketika ia tengah mandi berendam bersama suaminya yang kemudian menjawab,”Ia lebih muda darimu.” Sebuah jawaban yang mengundangnya untuk segera menghunjamkan pisau tajam yang telah dipegangnya sedari tadi.
Tangannya amasih bergetar ketika al-Malik al-Mu’izz Izz al-Din Aybak al-Jawshangir al-Turkmani al-Salihi, Penguasa Mesir dan sekujur Mediterania dari Dinasti Mamluk itu tewas di tangannya, darahnya bercampur air mandi.
Ia masih berdiri setengah telanjang sambil memegang pisau berlumuran darah itu ketika anak tirinya yang berumur belasan melihatnya merangsek maju ke arahnya. Diliputi rasa takut ia berlari sekencangnya menuruni tangga. Selebihnya adalah cerita kematiannya yang beredar di jalanan Mesir esok paginya.
Salah satu cerita yang beredar mengatakan ia mati tewas dipukuli parabudak perempuan dengan sepatu kayu atas perintah al-Mansur Ali, anak sultan malang itu. Mayat perempuan yang pernah menjadi salah satu dari segelintir penguasa perempuan di dunia islam itu diseret dan dilempar dari dinding istana, ia teronggok telanjang dada lebih dari tiga hari di luar tembok istana.
Di hari ketiga orang-orang berdatangan, bukan untuk, menguburkannya, tapi untuk memperebutkan kain sutra yang hanya menutupi pangkal pahanya itu.
Demikian nasib al-Malika `Aṣmat ad-Dīn Umm-Khalīl Shajar ad-Durr atau Umm Khalil atau “Malikat al-Muslimin” (Ratu kaum muslim) atau Sahibat al-Malik as-Salih (istri Malik Salih), atau Shajar ad Durr yang juga berarti pohon mutiara, perempuan pertama di dunia Islam yang menjadi penguasa bergelar Sultanah. Nama-nama kebesarannya itu disebutkan saat sholat Jumat di masjid-masjid dan terukir indah di koin-koin uang yang beredar kala itu.
Konon, ada perempuan lain di Kesultanan Delhi yang sebelumnya juga menjadi sultanah, namun tanpa kuasa sebesar Shajar ad Durr: salah satu peletak dasar Dinasti Mamluk yang akan mendominasi Mediterania selama puluhan tahun berikutnya.
Meski hanya sebentar menjadi penguasa, namanya tercatat kuat dalam sejarah karena pada masa kekuasaannya terjadi hal-hal besar: pengusiran Louis IX dari Mesir yang menandai berakhirnya dua abad Perang Salib, runtuhnya dinasti Ayyubiyah dan lahirnya kekuasaan para mantan budak: Dinasti Mamluk, memperpanjang nasib khalifah di Baghdad yang hanya menjadi boneka mainan tanpa kekuasaan.
Shajar ad Durr , perempuan cantik dan cerdas ini adalah budak perempuan yang mampu merangsek ke puncak tangga sosial. Fatima Mernissi, feminis Islam asal Maroko, menempatkannya sebagai simbol perlawanan dan keberanian perempuan muslim kepada patriarki, berujung pada perlawanannya menentang poligami hingga membawanya pada kematian yang tragis.
Petualangan hidupnya dimulai ketika sebagai budak ia dibeli oleh pangeran As-Salih Ayyub, yang nantinya akan menjadi sultan. Ketika Salih Ayub telah menjadi sultan ia memberinya anak laki-laki hingga sang sultan kemudian menikahinya. Saat kaum Peranggi (Franj) melancarkan serangan perang salib di bawah King Louis IX, Sultan Salih Ayub tengah sakit keras. Sang Sultan wafat sesaat ketika pasukan salib sudah mendekati tembok kota.
Pada saat itulah Shajar ad Durr menampilkan kecakapannya dalam memimpin. Dikabarkan dia dengan cekatan segera memerintahkan untuk merahasikan kematian sultan, menulis surat-surat perinah atas nama sultan, dan mengorganisasi perlawanan dari berbagai emir di wilayah itu, termasuk memimpin siasat untuk membantai kaum Peranggi di Mansuriah dan meghabisi mereka dalam The Battle of Fariskur yang legendaris itu.
Setelah wafatnya Salih Ayyub dan terusirnya kaum Peranggi, Shajar ad Durr, melalui sebuah intrik cerdik, berhasil menghabisi Al-Muazzam Turanshah, pewaris dinasti Ayyubiyah terakhir, dengan mengerahkan para jenderal Mamluk untuk membunuhnya dan mencongkel jantungnya. Dengan tewasnya Turanshah, habis sudah kekuasaan kaum kurdi melalui dinasti Ayyubiyah dan Dunia Islam kemudian beralih ke tangan kuasa para Mamluk.
Jalan Shajar ad Durr menuju puncak kekuasaan bukan tanpa halangan dari kuatnya patriraki di zaman itu. Bahkan pengangkatannya sebagai sultanah yang sultanah tidak mendapat restu dari Khalifah di Baghdad melukiskan betapa perempuan tak punya tempat utama saat itu. Demi mendapat legitimasi simbolik spiritual itu para jenderal Mamluk kemudian bersiasat dengan menikahkan Izzudin Aybak dengan Shajar ad Durr dan menjadikannya Sultan yang hidupnya berakhir mengenaskan di tangan Shajar ad Durr sendiri dalam tragedi kamar mandi itu. []
Sumber bacaan:
Amin Maalouf, The Crusades Through Arab Eyes, London: Al Saqi Books, 1984.
Yosseff Rapoport , Women and Gender in Mamluk Society: An Overview, 2007