Shafiyah binti Huyay, seorang perempuan suci, seperti arti dari namanya yang indah. Ia merupakan istri Nabi dari bangsa Yahudi. Menjadi seorang tawanan perang bukanlah hambatan bagi dirinya untuk menjadi pribadi yang saleha. Atas kesalehan dan kepribadiannya, ia punmasuk Islam, dimerdekakan, lalu dinikahi oleh Nabi Muhammad SAW.
Pernikahan nabi dengan Shafiyah berlangsung dalam perjalanan pulang dari Khaibar menuju Madinah. Malam pengantin Nabi dijaga secara ketat oleh seorang sahabat yang bernama Abu Ayyub al-Anshori. Dia berjaga semalaman memegang pedang sambil mengelilingi tenda Nabi yang sedang bersama istrinya, Shafiyah. Ketika pagi, Rasulullah SAW. terkejut seraya bertakbir melihat Abu Ayub berdiri penuh siaga di depan pintu tenda.
Nabi berkata, “Ada apa Abu Ayub?”
“Aku menghawatirkan keselamatanmu dari wanita itu, belum lama ini dia masih seorang kafir, engkau membunuh ayahnya, suaminya dan juga kaumnya, karna itu aku menghawatirkan keselamatanmu wahai Nabi,” jawab Abu Ayub. Mendengar hal itu Rasulullah tertawa dan memuji Abu Ayub.
Rasulullah SAW membawa Shafiyah ke Madinah. Kedatangannya tidak disambut dengan baik oleh para istri Nabi dan para perempuan muslimah. Wajar saja, mengingat perbuatan ayah Shafiyah yang sangat jahat dan kejam melemparkan batu pada Nabi.
Ketika Shafiyah baru tiba di Madinah, para perempuan membicarakannya seraya berkata, “Semoga Allah menjauhkan kita dari perempuan Yahudi itu!”
Kecantikan Shafiyah tersebar di Madinah, hal ini membuat para perempuan penasaran, tak terkecuali istri Nabi, yaitu Aisyah.
Suatu hari Rasulullah memergoki Aisyah sedang mengintip Shafiyah, kemudian Nabi menarik bajunya sambil bercanda, “Bagaimana, Humaira, apakah engkau sudah melihatnya?”
“Ya, aku melihat anak Yahudi,” jawab Aisyah kesal.
Baca juga: Manusiawi: Ini Kisah Kecemburuan Istri-Istri Nabi Saw pada Shafiyah binti Huyay
Lalu Rasulullah menasihati Aisyah dengan lembut, “Jangan begitu, Shafiyah telah memeluk agama Islam dan menjadi perempuan yang baik.” Lalu Aisyah segera pergi dari tempat itu sambil menunjukkan kecemburuannya pada Nabi.
Shafiyah tidak disukai oleh istri-istri Nabi. Ia sering disebut sebagai anak Yahudi. Namun, Nabi Muhammad tampil untuk membela Shafiyah dan menghiburnya.
Suatu hari ungkapan “Anak Yahudi” terdengar langsung di telinga Shafiyah, hal ini membuatnya tersinggung dan menangis tersedu-sedu mengadu pada Nabi.
Nabi bertanya padanya, “Ada apa gerangan, mengapa engkau sampai menangis wahai Shafiyah?”
“Hafsoh bilang bahwa aku ini anak Yahudi,” jawab Shafiyah sambil terus menangis.
“Memang benar, kau adalah anak Yahudi. Bapakmu adalah seorang Nabi (Harun), pamanmu juga seorang Nabi (Nabi), dan engkau saat ini adalah istri seorang Nabi, maka apa yang membuat mereka merasa bangga dan seolah lebih utama darimu?”
Kemudian Nabi menemui Hafsah dan berkata padanya, “Takutlah engkau pada Allah, wahai Hafsah!”
Sejak saat itu Shafiyah merasa tenang. Setiap kali ia mendengar cemohan dari istri-istri Nabi, ia menjawab, “Bagaimana mungkin engkau bisa lebih baik dariku, suamiku adalah Muhammad Saw, ayahku adalah Harun AS dan pamanku adalah Musa AS.”
Demikianlah sifat Shafiyah binti Huyay, parasnya yang begitu cantik juga seiring dengan hatinya yang lembut dan perasa. Meski tidak disukai oleh istri-istri Nabi dan para perempuan, Shafiyah masih tetap bersikap dermawan.
Dalam sebuah riwayat disebutkan, Shafiyah pernah memberikan emas kepada Fatimah putri Rasulullah dan juga kepada beberapa perempuan di Madinah. Dalam Riwayat lain juga disebutkan sebelum Shafiyah wafat, ia memberikan seribu dinar untuk Aisyah.
Posisi Shafiyah yang selalu dipojokkan, terkadang membuat Rasulullah melakukan hal yang istimewa padanya. Tidak hanya membela Shafiyah, Rasulullah juga memuliakan dan membuat Shafiyah merasa nyaman berada di tempat barunya itu di Madinah.
Suatu hari di bulan Ramadhan, Rasulullah mengajak istri-istrinya untuk beritikaf, saat itu Shafiyah tidak segera datang, ia datang lebih akhir dibanding istri-istri yang lain. Ketika itu Shafiyah menghampiri Nabi yang sedang beritikaf pada malam hari, kemudian berbincang-bincang sebentar dengan Nabi. Setelah itu Shafiyah berdiri hendak pulang, lalu nabi menghentikannya, “Tunggu Shafiyah, jangan terburu-buru. Aku ingin mengantarmu pulang,” ungkap Nabi pada Shafiyah.
Seperti itulah Nabi memperlakukan Shafiyah dengan baik. Nabi menghawatirkan Shafiyah yang berjalan sendirian pada malam hari. Menurut Ibnu Hajar al-Atsqalani, Nabi melakukan hal tersebut agar Shafiyah juga mendapatkan waktu bersama Nabi sebanyak istri-istri lain yang datang lebih awal dari padanya.
Shafiyah mencintai Nabi dengan begitu tulus, ketulusannya terbukti dari ungkapan hatinya ketika Shafiyah mengatakan bersedia untuk menanggung rasa sakit yang dialami oleh Nabi. Ungkapan ini dibenarkan oleh Nabi, sebab Shafiyah menyatakannya dengan penuh kasih sayang dan prihatin melihat kondisi suaminya.
Setelah Rasulullah wafat, Shafiyah binti Huyay merasa terasing dan tetap saja tidak disukai, karena Shafiyah adalah putri dari bangsa Yahudi. Ketidaksukaan itu bukan saja terjadi di antara istri-istri Nabi. Bahkan budak Shafiyah yang setia membantu dan melayaninya setiap waktu juga sempat mencurigai Shafiyah dan mengadukannya pada Umar bin Khattab.
Baca juga: Cinta Aisyah Kepada Nabi dan Besarnya Rasa Cemburu Beliau
Suatu hari budak Shafiyah mengadu pada Umar bin Khattab, “Shafiyah masih mencintai hari Sabtu dan tetap berhubungan dengan orang-orang Yahudi!” ucap budak wanita Shafiyah pada Umar.
Mendapat laporan seperti itu, Umar bin Khattab segera menemui Shafiyah dan mengklarifikasi padanya. Shafiyah mengatakan, “Hari Sabtu sudah tidak aku cintai lagi sejak Allah menggantinya dengan hari Jumat. Sedangkan orang-orang Yahudi, aku mempunyai kerabat di sana dan aku hanya bersilaturrahmi dan menerima kedatangan mereka.” Umar pun membenarkan perilaku Shafiyah.
Shafiyah lalu berbicara dengan budaknya itu, “Apa yang membuatmu mengadu tentangku pada Umar?” Budak itu menjawab “Syeitan”. Dengan kemurahan dan kebaikan hatinya, Shafiyah memaafkan budak itu dan membebaskannya sebagai budak.
Selain terkenal dengan sifat pemaaf, berhati lembut, dermawan dan juga baik hati, Shafiyah ternyata sangat mencintai Islam dan rajin beribadah. Hal ini sebagaimana diceritakan oleh salah satu budaknya yang bernama Kinanah.
Suatu hari Rasulullah datang menemui Shafiyah, saat itu ia sedang bertasbih, lalu Nabi berkata padanya, “Apakah engkau bertasbih dengan 4.000 krikil ini?”
“Ya,” Jawab Shafiyah.
“Maukah engkau aku beri tahu tasbih yang pahalanya lebih banyak dari 4.000 kali?” Shafiyah kembali mengiyakan. “Bertasbihlah dengan mengucap ‘Subhanallah ‘Adada Kholqih,” ajar Rasul.
Tidak hanya bertasbih seorang diri, Shafiyah juga pernah mengumpulkan orang-orang untuk berdzikir dan membaca Al-Qur’an bersama-bersama di rumahnya. Shafiyah berkata kepada orang-orang tersebut, “Kita sudah sujud tilawatil Qur’an, tapi mengapa tidak ada yang menangis di antara kalian.”
Baca juga: Huyay bin Akhtab: Mertua Nabi yang Beragama Yahudi
Dengan kewara’aanya, Shafiyah mengajak orang-orang untuk husyuk dan mendekat pada Allah ketika beribadah dengan cara menangis. Hal ini menunjukkan kecintaan Shafiyah pada Islam.
Meski Rasulullah sudah tiada, Shafiyah tetap berjuang untuk Islam. Saat itu khalifah Utsman bin Affan sedang dikepung, dengan penuh keberanian, Shafiyah membantu Utsman. Ia tidak takut pada pukulan al-Asytar yang mengenai keledainya dan terus melanjutkan misinya, yaitu meletakkan kayu di antara rumah Shafiyah dengan rumah Utsman supaya ia bisa menyuplai makanan. (AN)
Wallahu a’lam.
Baca juga tulisan lain tentang Sirah Nabawiyah