Seputar Niat Puasa [Bag. I]

Seputar Niat Puasa [Bag. I]

Seputar Niat Puasa [Bag. I]
niat puasa

Niat adalah ruh segala macam tindakan hamba. Terkait keabsahan puasa, dan juga shalat serta ibadah-ibadah lainnya, niat menjadi komponen mutlak.

* Tidak sah puasa tanpa niat.

Dasar :

(1) Hadis. Sabda Rasulullah

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ , وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى ﴿ص:

“Sesungguhnya (keabsahan) amal-amal, hanyalah dengan niat. Dan, seseorang hanyalah mendapatkan sekadar apa yang diniatknnya” (HR. Bukhari dan Muslim).

(2) Qiyas. Puasa adalah ibadah mahdlah (ritual), maka tidak sah tanpa niat, diqiyaskan pada shalat

* Niat puasa wajib dilakukan untuk tiap hari puasa. Sehingga jika seseorang lupa tidak niat pada malam harinya, esok hari puasanya tidak sah, tapi dia wajib untuk tetap imsak (tidak makan, minum dan melakukan hal yang membatalkan puasa).

Dasar: Qiyas. Karena puasa untuk tiap harinya adalah ibadah tersendiri, masuk waktunya dengan terbit fajar, keluar waktunya dengan terbenam matahari. Sehingga puasa hari tertentu, tak bisa batal karena batalnya puasa pada hari sebelumnya dan juga tidak bisa batal karena batalnya puasa setelahnya. Sebagaimana juga shalat.

* Niat puasa Ramadan (dan juga jenis puasa wajib lainnya, seperti puasa kaffarat dan puasa nadzar) wajib dilakukan pada malam hari. Tidak sah puasa, jika niatnya dilakukan pada siang hari. Berdasarkan hadis Hafshah radliyallâhu anha, Rasulullah shallallâhu alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَلَا صِيَامَ لَهُ

Barangsiapa tidak menginapkan niat puasa pada malam hari, maka puasanya tidak sah. (HR. Abu Dawud, Turmudzi, Nasai, Baihaqi dan yang lain)

Menginapkan niat puasa maksudnya adalah melakukan niat pada malam hari, yakni waktu di antara matahari terbenam hingga fajar menyingsing.

* Niat puasa (dan juga niat ibadah lainnya) letaknya adalah dalam hati. Ini adalah ijma’ para ulama’. Sedangkan mengucapkannya dengan lisan adalah sunnah. Karena hal ini membantu pengucapan niat oleh hati. Sehingga, niat yang diucapkan dengan bahasa Arab, harus benar-benar dipahami artinya oleh seseorang yang mengucapkannya.

* Niat harus jazim (mantap), tak boleh ada keraguan atau penggantungan. Sehingga jika ada orang mengucapkan dalam hati “Saya akan berpuasa jika besok telah masuk Ramadan”, maka niat semacam ini tidaklah sah. Begitu pula, kemantapan niat harus berlanjut selama puasa. Sehingga jika orang yang berpuasa, meniatkan untuk keluar dari puasa saat siang hari, maka puasanya tidak sah.

* Niat puasa (sebagaimana juga niat dalam ibadah yang lain) wajib ada penentuan (ta’yin). Jika jenis puasa yang akan dilakukannya adalah Ramadan, maka dia wajib mengucapkan dalam hati “Aku berniat puasa Ramadan”, begitu pula jika jenis puasanya puasa kafarat atau nadzar. Ini berdasarkan hadis

وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Dan, seseorang hanyalah mendapatkan sekadar apa yang diniatknnya”

* Kesempurnaan niat adalah dengan menyengaja dalam hati bahwa seseorang akan “berpuasa pada esok hari, sebagai bentuk adâ’ (penunaian pada waktunya) dari kefardluan Ramadan tahun ini, karena Allah ta’ala”

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانِ هَذِهِ السَّنَةِ لِلهِ تَعَالَى

HAL PENTING

* Dalam Syarh al-Yaqût al-Nafîs, bahwa sebagai tindakan antisipasi kelupaan seseorang untuk melakukan niat pada malam hari, dianjurkan untuk bertaqlid pada Imam Malik yang memperbolehkan niat berpuasa sebulan penuh, di malam pertama Ramadan. Jika dilafalkan, adalah sebagai berikut:

نَوَيْتُ صَوْمَ جَمِيْعِ شَهْرِ رَمَضَانِ هَذِهِ السَّنَةِ أَدَاءً فَرْضًا لِلهِ تَعَالَى

Taqabbalallâhu minnâ wa minkum

Sumber :

  1. Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab
  2. Syarh Al-Yaqut al-Nafis
  3. Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah