Sudahlah, ngapain sih Kemenag genit sekali bikin sertifikasi-sertifikasi begituan? Masih mending kalau sertifikasi itu buat meningkatkan kesejahteraan penceramah, lha ini enggak jhe.
Kalau gak percaya, simaklah keterangan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Kemenag Prof. Kamaruddin Amin. Beliau bilang kalau sertifikasi penceramah adalah beda dengan sertifikasi dosen dan guru.
“Kalau guru dan dosen itu, jika mereka sudah tersertifikasi, maka harus dibayar sesuai standar yang ditetapkan.”
Sementara, program sertifikasi penceramah itu ya sebetulnya “sertifikasi biasa yang tidak berkonsekuensi apa-apa,” terang Prof Kamar, sapaan mesranya. Dengan kata lain, penceramah yang tidak tersertifikasi tetap diperbolehkan berdakwah.
Maka, sungguh kelewat relevan apa yang dibilang Ketua Umum PA 212 Slamet Ma’arif bilamana sertifikasi penceramah memang lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya.
Betapa tidak, bayangkan saja kalau orang-orang setamsil Tengku Zulkarnain, Maher at-Thuwailibi, Felix Siauw, Rahmat Baiquni, bahkan Sugik Nur kudu ngurusin sertifikasi terlebih dahulu sebelum membombardir jamaahnya dengan petuah-petuah adiluhung setamsil kafaro-yukafiru-KUFRON, cebong vs kampret, khilafah, konspirasi elit global, dan jancuk kon matane picek!! Berabe bukan?
Plus, masa iya sekelas Felix Siauw yang udah fasih menafsiri Pancasila mau dikuliahi oleh BPIP? Masa iya semasyhur Rahmat Baiquni akan dikhotbahi Lemhanas dan BNPT, sementara ia meyakini bahwa segala tragedi di dunia ini tercipta karena setingan agen illuminati belaka?
Ringkasnya, sertifikasi penceramah ini memang lebih banyak madaratnya. Bagi siapa? Tentu saja bagi mereka yang selama ini konsisten berada di jalan ninja anti-kemapanan, anti-demokrasi, dan anti-keberagaman.
Jangan salah, Kemenag boleh saja tidak memberi sertifikat buat penceramah-penceramah nir-bid’ah model gituan, tapi satu hal yang musti dicatat adalah mereka cukup berisik di media sosial dan punya pengikut fanatik yang tidak sedikit.
Artinya, oke, mereka mungkin tidak mendapat panggung offline di lembaga-lembaga negara, masjid-mesjid BUMN, atau kampus-kampus mentereng, namun percayalah, bahwa yang demikian itu tidak akan menggoyang eksistensi pencermah dengan followers 4.7M.
Walhasil, “umat Islam ditindas, dikebiri, dilarang ceramah” adalah sederet narasi yang besar kemungkinan akan nyaring terdengar jika sertifikasi penceramah ini tetap diberlakukan, apalagi setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) terang-terangan bilang “tidak!!” untuk program Menag yang digagas tahun lalu itu.
Bagi MUI (lewat Pernyataan Sikap Nomor: Kep-1626/DP MUI/IX/2020), program sertifikasi da’i d/a da’i bersertifikat ini layak ditolak karena Pemerintah dinilai telah mengintervensi aspek keagamaan sehingga berpotensi disalahgunakan untuk mengontrol kehidupan keagamaan masyarakat.
Ini tentu saja tidak bisa dibiarkan. Masa mau mengekspresikan aspek agama saja kudu diintervensi. Gak fair dong.
Bahwa kemudian MUI sendiri kerap mengintervensi kehidupan masyarakat, itu musti kita baca sebagai bentuk tanggung moral institusi ulama. Lebih dari itu, MUI pasti telah punya hitungan matematis sendiri soal fatwa-fatwa yang ia keluarkan, mulai dari fatwa haram mengucapkan selamat natal, fatwa haram memilih pemimpin non-muslim, hingga fatwa haram bermain PUBG.
Apakah itu bisa disebut sebagai intervensi aspek keagamaan? Jangan boleh!!
Lha gimana, MUI itu isinya orang-orang pilihan kok!! Mana mungkin mereka salah.
Belum lagi kalau ngomongin sertifikasi halal MUI, pastilah niatnya tidak lain dan tidak bukan adalah untuk menyelamatkan umat Muslim dari perkara-perkara syubhat dan yang terlarang oleh syariat.
Malahan, saking perhatiannya MUI dengan masa depan umat, mereka tidak saja men-sertifikasi pangan, tetapi obat-obatan, kosmetika, perabotan rumah tangga, bahkan makanan kucing juga tak luput dari stempel halal MUI. Subhanallah, abakadabra…
Jadi, di titik ini Kemenag harusnya berkaca dari MUI: bahwa untuk aspek agama yang begituan itu adalah wilayahnya MUI dan bukan untuk diambil alih oleh Pemerintah.
Pokoknya, pemerintah itu haram hukumnya untuk intervensi keberagamaan masyarakat karena hanya akan memantik kegaduhan. Tapi, kalau yang mengeluarkan stempel adalah MUI, maka itu merupakan sebuah upaya penyelamatan terhadap kepentingan umat, meski faktanya justru jauh lebih menggaduhkan. Sekian.