Pro-Kontra Sertifikasi Ulama & Sejarah MUI yang Penuh Kontroversi

Pro-Kontra Sertifikasi Ulama & Sejarah MUI yang Penuh Kontroversi

Sejarah MUI kontroversi, kenapa menolak sertifikasi ulama?

Pro-Kontra Sertifikasi Ulama & Sejarah MUI yang Penuh Kontroversi

Nama MUI sedari awal sudah menyiratkan makna bahwa di dalam Majlis ini berkumpul beberapa ulama’ terhormat dan kredibel di bidang keislaman. Namun, bila melihat dari awal dibentuknya, MUI dianggap sebagai langkah politik-praktis Soeharto di kala masih memimpin negeri ini. Jadi, bisa dibilang MUI—terlepas dari cita-cita mulia dan peranannya—juga sebagai alat untuk mengamankan beberapa kebijakan pemerintah.

Cerita tentang sebuah kekuasaan yang membutuhkan fatwa ulama’ untuk memperkuat posisi dan kebijakannya atau sebaliknya, yakni sebagai cara untuk mengkritisi kekuasaan cukup lumrah di dunia Islam. Sebagai contoh, di akhir Dinasti Umayyah (41-132 H), Said Ibnu Jubair mengeluarkan fatwa untuk mengkritik perilaku tirani al-Hajjaj. Di dunia modern, negara seperti Arab Saudi menggunakan powernya untuk mempengaruhi sebuah fatwa. Sehingga segala fatwa tidak boleh keluar dari madzhab resmi dan kebijakan negara. Abdul Aziz bin Baz adalah figur penting yang menjadi mufti di negeri monarki ini.

Terlepas dari alasan berdirinya MUI pada Mei 1975 yang kala itu dianggap sebagai “alat stempel” pemerintah, Khamami Zada dalam bukunya Islam Radikal: Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia menyebutkan bahwa dalam perjalanannya khususnya tahun 1990-an,  MUI sudah menjadi tempat bagi gerakan Islam radikal. Ini dibuktikan dengan beberapa fatwa sesatnya Ahmadiyah dan Syiah, larangan paham pluralisme, sekularisme dan liberalisme. Pernyataan Zada ini juga diperkuat dengan adanya fakta bahwa beberapa tokoh-tokoh seperti Husein Umar, Adian Husaini, Muhammad al-Khattath, Ahmad Cholil Ridwan, Ismail Yusanto sempat masuk dalam jajaran MUI.

Kalau MUI masih ingin menjadi salah satu organisasi Islam penting di Indonesia, nafasnya seyogyanya harus selalu selaras dengan kepentingan bangsa. Dalam konteks ini, kepentingan bangsa tidak hanya melulu soal agama Islam, tapi juga mementingkan kelompok minoritas dan agama lain yang sering dianggap second citizen yang sering dipersekusi. Bagaimana bisa misalnya, beberapa orang yang dianggap ngulama’ di MUI ternyata pandangannya “alergi”—untuk tidak menyebut anti—terhadap agama lain?

MUI juga tidak boleh hanya menjadi lembaga yang merasa paling agung karena bisa melabeli halal-haramnya sebuah produk dan sesat tidaknya sebuah kelompok (tanpa melihat implikasi sosial-ekonomi) dan nasibnya sebagai warna negara. Karena meski fatwa-fatwa yang dikeluarkan MUI sifatnya tidak mengikat masyarakat muslim di Indonesia (dalam arti harus mengikutinya), akan tetapi sebagian masyarakat muslim sudah “terlanjur” percaya dengan term ulama’ yang ada di stempel MUI itu. Sehingga, mau tidak mau dampak sebuah fatwa menjadi sebuah kartu As atau legitimasi masyarakat muslim untuk berperilaku. Bila stempelnya kaku, maka jelas sebagian masyarakat muslim menjadi kaku dalam beragama.

 

Pro-Kontra Sertifikasi Ulama’

Pro-kontra sertifikasi ulama’ masih terdengar nyaring di telinga kita, setidaknya minggu-minggu ini. Pasalnya, kementrian agama yang mempunyai rencana mensertifikasi para dai atau ulama’ ditentang atau tidak diterima oleh sebagian pejabat tinggi MUI. Entah apa alasannya sehingga MUI, sebagai lembaga yang diberikan otoritas negara untuk melabeli halal dan haram ternyata tidak mau menerima program sertifikasi ini.

Alasan Fachrul Razi sebagai Mentri Agama ketika menggulirkan wacana sertifikasi ulama’ salah satunya adalah untuk menghilangkan akar radikalisme di Indonesia, khususnya bagi para da’i yang dianggap berpandangan ekslusif dan tidak moderat. Menurutnya, hal ini sifatnya tidak memaksa. Jadi bagi para kiai atau dai yang sekiranya tidak ingin mensertifikasikan dirinya sebagai ulama’, maka tidak ada paksaan di dalamnya.

Selain MUI, sebenarnya terdapat juga beberapa kelompok yang dengan keras menolak wacana ini. Sebut saja FPI dan PA 212, Dikutip dari Galamedianews.com, Munarman selaku Jubir FPI mengatakan bahwa “Sertifikasi ini bentuk kontrol rezim terhadap para ulama. Rezim yang curiga dan melakukan kontrol terhadap para ulama adalah rezim yang anti agama.” Kesimpulan  Munarman ini terkesan terlalu simplistis. Bagaimana bisa upaya Menag untuk meminimalisir para dai yang tidak kompeten dan berpandangan tidak moderat kemudian dianggap anti Islam?

Di sisi lain, bagi para ustadz atau kiai di kampung halaman mungkin tidak mempersoalkan sertifikasi ini, karena bagi mereka yang penting adalah berdakwah agar masyarakat paham akan ajaran Islam yang baik dan benar. Di sisi lain,  tidak sembarang juga seseorang di kampung mendapat label ustadz atau kiai. Mereka tidak hanya sekedar mumpuni dalam keilmuan dan retorika belaka, akan tetapi juga perlu akhlak yang mampu menjadi tuntunan masyarakat kampung.

Kenyataan ini tentu berbeda dengan fenomena kyai, ustadz/ustadzah di perkotaan yang tidak memiliki keilmuan Islam yang mumpuni, tanpa riwayat guru yang terpercaya dan yang terpenting tidak memiliki akhlak yang patut ditiru, akan tetapi dengan mudahnya mereka menyampaikan fatwa-fatwanya di mimbar-mimbar pengajian khususnya di lembaga maupun masjid-masjid milik pemerintah. Apabila negara telah memiliki daftar ulama’ yang dipandang memiliki pemahaman moderat dan menjunjung tinggi perbedaan pandangan dan kerukunan antara sesama warga, hal ini akan berimplikasi pada pemahaman-pemahaman yang akan diterima oleh masyarakat perkotaan khususnya.

Oleh karena itu, ijtihad Menag dalam hal sertifikasi ulama’ atau ulama bersertifikat ini patut untuk didukung dan dikritisi apabila ada kekurangan kedepannya. Jangan sampai setelah terdapat beberapa penolakan dari MUI, FPI dan PA 212 kemudian mentalnya surut dan akhirnya  wacana ini menguap dan hilang ditiup angin.

 

Referensi:

  • Syafiq Hasyim, “Fatwas And Democracy: Majelis Ulama Indonesia (MUI, Indonesian Ulema Council) And Rising Conservatism In Indonesian Islam,” Trans: Trans -Regional And -National Studies Of Southeast Asia (2019), 1–15
  • Nadirsyah Hosen, “Behind The Scenes: Fatwas Of Majelis Ulama Indonesia (1975–1998),” Journal Of Islamic Studies 15:2 (2004) Pp. 147–179.
  • Https://Galamedia.Pikiran-Rakyat.Com/News/Pr-35726606/Fpi-Soroti-Rencana-Sertifikasi-Ulama-Pasti-Didesain-Oleh-Orang-Orang-Anti-Islam
  • Wilfridus Valiance, “Islam Dan Negara: Studi Tentang Moderasi Islam Radikal Melalui MUI Pada Masa Pemerintah SBY,” Prosiding Konferensi Nasional Sosiologi V Asosiasi Program Studi Sosiologi Indonesia, Padang 18 – 19 Mei 2016.