Prinsip mengenai kebaikan bisa menghapuskan keburukan banyak diajarkan oleh ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadis-hadis Rasulullah SAW. Misalnya, dalam surat Hud ayat ke 114 Allah SWT menegaskan bahwasannya dosa-dosa kecil bisa berguguran terhapus oleh kebaikan yang kita kerjakan.
Dan dalam hadis Rasulullah SAW banyak sekali amalan-amalan yang memiliki fungsi sebagai instrumen penghapus dosa, di antaranya, puasa Ramadhan yang dilaksanakan dengan landasan keimanan dan keikhlasan dalam penghambaan kepada Allah SWT, berwudhu yang dilanjutkan dengan salat sunah wudhu, mengucapkan amin ketika imam selesai membaca al-Fatihah pada shalat Jemaah yang dilaksanakan secara jahr, dan lain sebagainya.
Namun sayangnya, prinsip tersebut sering terkesampingkan, karena kebanyakan dari kita cepat menganggap bahwa keburukan yang dilakukan sebagian dari kita merupakan aib yang mengurangi nilai orang tersebut di mata kita. Padahal sejatinya keburukan yang dilakukan seseorang bisa terhapus oleh kebaikan yang dilakukannya.
Prinsip tersebut sering digunakan oleh Rasulullah SAW untuk menyikapi seseorang yang mengakui kesalahan dan dosa yang ia lakukan,lalu ia ingin menemukan cara untuk menghapuskan kesalahan dan dosanya tersebut. Hal itu tergambar dalam sebuah riwayat yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, dan Imam Muslim.
Dari sahabat Abdullah bin Masud, suatu ketika ada seorang lelaki mendatangi Rasulullah SAW dan mengadu “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah mencumbu seorang wanita di pojokan kota madinah, tapi aku tak sampai berzina dengannya, bagaimana ini? Aku persilahkan engkau untuk menghukumku sesuai dengan kehendakmu! Ketika itu Umar bin Khatab berkata, “Allah SWT telah menutup kesalahanmu itu seandainya kau tidak melakukan pengakuan ini”, ketika itu Rasulullah SAW tidak menjawab apapun. Dan akhirnya si lelaki tersebut berdiri dan beranjak pergi, seketika itu Rasulullah SAW mengikutinya, lalu memanggilnya, kemudia Rasulullah SAW membacakan kepadanya ayat ke 114 dari surat Hud, (yang berisi anjuran untuk melaksanakan shalat yang bernilai kebaikan, sebagai penghapus dosa yang telah ia lakukan) (HR. Bukhari, Muslim)
Dari riwayat tersebut kita dapat mengambil sebuah pelajaran dari cara bersikap Rasulullah SAW yang tidak memilih untuk memberikan takzir atau hukuman kepada lelaki yang telah mengakui bahwasannya dirinya telah bermaksiat dengan perempuan yang tak halal baginya. Rasulullah SAW lebih memilih untuk memberikan sarana lain yang disediakan oleh Allah SWT sebagai instrument penghapus dosa, yaitu melaksanakan shalat, baik yang fardhu maupun yang sunnah, sebagai sebuah kebaikan atau amal shaleh yang dapat menghapuskan dosa-dosa yang telah dilakukannya.
Padahal, jika Rasulullah SAW menginginkan, bisa saja beliau memberikan hukuman kepada lelaki tersebut, karena lelaki tersebut yang telah memintanya sendiri kepada beliau, namun beliau lebih mengedepankan sarana lain yang lebih manusiawi dibandingkan harus menghukum lelaki tersebut atas perbuatan dosa yang telah dilakukannya.