Di zaman Syaikh Isa, hidup seorang wanita yang mengadu nasib sebagai pekerja seks komersial (PSK). Satu waktu, ketika bertemu dengan wanita ini, Syaikh Isa berkata, “malam ini aku akan datang ke rumahmu”.
Sontak, ucapan itu membuat si wanita kegirangan. Dalam batinnya, ia menganggap bahwa Syaikh Isa akan menggunakan jasanya. Malam itu pun ia mempersiapkan diri dengan menghias diri dengan berdandan sehingga terlihat sangat cantik.
Selepas sembahyang isya, Syaikh Isa benar-benar datang ke rumah si wanita. Namun ia hanya melakukan shalat dua rakaat dan setelah itu pulang. Melihat apa yang dilakukan ini, si wanita bertanya kepada Syaikh Isa tentang alasan mengapa ia pulang sebelum benar-benar menggunakan jasanya.
Syaikh Isa lalu menjawab, “Insyaallah, apa yang aku inginkan sudah tercapai.”
Mendengar kalimat ini, tiba-tiba si wanita pelacur merasakan sebuah kegelisahan. Ia akhirnya mengikuti ke mana pun Syaikh Isa pergi (pulang). Ia juga memantapkan diri untuk bertobat dari pekerjaan yang selama ini ia jalani.
Singkat cerita, wanita itu kemudian dinikahi oleh seorang yang miskin. Syaikh Isa juga menyuruh wanita dan suaminya (serta orang-orang yang terlibat dalam acara pesta pernikahan itu) untuk membuat bubur. Syaikh Isa akan menanggung lauknya.
Kabar tobat dan pernikahan wanita pelacur ini terdengar oleh pemerintah. Kebetulan, Sang Raja setempat adalah teman dari wanita ini (sang raja juga orang yang tidak baik). Sehingga ia merasa aneh saja ketika ia mau bertobat. Dengan niat dan tujuan menertawakan/mengejek Syaikh Isa, sang raja mengirim seorang utusan untuk memberinya dua botol arak.
Kepada utusan kerajaan ini, sang raja menyuruhnya untuk menyampaikan kalimat ini kepada Syaikh Isa: “pihak kerajaan berbahagia atas apa yang telah Anda kerjakan. Oleh karena itu, raja mengirim dua botol arak ini dan gunakanlah untuk menemani jamuan pernikahan wanita pelacur dan si miskin itu”.
Namun, ketika si utusan tiba di rumah Syaikh dan mengutarakan maksud kedatangannya, Syaikh Isa berkata, “kamu terlambat” (acara walimah sudah selesai, pen.). Ia juga membuka isi kedua botol itu dan menuangkan isinya. Aneh bin ajaib, botol pertama ternyata berisi madu dan botol kedua berisi minyak samin (padahal awalnya berisi arak).
“Duduk dan makanlah bersamaku!” pinta Syaikh Isa kepada utusan raja.
Bagi si utusan raja ini, apa yang disantapnya ini sungguh lezat. Ini adalah kali pertama ia melihat dan menikmati hidangan seperti ini. Si utusan ini kemudian pulang ke istana dan melaporkan apa yang ia alami bersama Syaikh Isa.
Raja yang mendengar laporan ini pun akhirnya penasanaran juga dengan Syaikh Isa. Ia memutuskan untuk menemuinya secara langsung. Ketika bertemu dan mencicipi langsung apa yang ada di dalam botol itu, sang raja pun takjub dengan kehebatan Syaikh Isa.
Di hadapan Syaikh Isa, sang raja akhirnya juga bertobat dari segala yang selama ini ia kerjakan. Alhamdulillah.
Kisah ini penulis baca dalam kitab al-Nawadir karya Ahmad Shihabuddin bin Salamah al-Qulyubi dan kitab Hayah al-Hayawan al-Kubra karya al-Damiry.
Lewat kisah di atas kita bisa mendapatkan banyak hikmah, yakni salah satu penyebab datangnya hidayah adalah dengan kehebatan supranatural. Dan, ini harus dipahami bahwa cara demikian hanya cocok saat itu atau dalam kondisi tertentu saja. Tidak bisa dipukul rata.
Harus diakui pula, kekuatan supranatural seperti dalam kisah di atas memang masih ada (dimiliki orang-orang khusus) dan berguna ketika berhadapan dengan obyek yang tepat. Hanya saja, menurut penulis, saat ini hal demikian tidak terlalu dibutuhkan. Mengapa?
Sederhana saja, orang sudah tidak lagi terlalu butuh (bahkan tidak percaya) ada sosok yang bisa terbang (karena sudah ada pesawat), bisa mengetahui apa yang terjadi di belahan bumi lain (karena teknologi sudah terlalu canggih), tak mempan ketika dibacok (karena penjahat sekarang tidak menggunakan senjata tajam, namun “tanda tangan”), dan lain sebagainya.
Walhasil, kecenderungan setiap orang dalam suatu zaman berbeda dari waktu ke waktu. Hal ini membuat cara dakwah seorang ulama hendaknya juga berbeda. Yang terpenting adalah agar dakwah bisa diterima, maka harus disesuaikan dengan “selera” obyek, tentu dengan tetap mempertahankan nilai-nilai luhur yang telah ada sebelumnya. Wallahu a’lam. (AK)