Para Pekerja Malam Tidak Anti-Agama kok

Para Pekerja Malam Tidak Anti-Agama kok

Stereotipe pekerja malam kerap dinisbahkan sebagai anti agama dan itu salah

Para Pekerja Malam Tidak Anti-Agama kok
Malam adalah waktu dahsyat untuk lebih mengenal diri kita (Hexa R/Islamidotco)

Tempo hari, komunitas Santri Gus Dur Jogja mengangkat tulisan tentang “Gus Miek: Wajah Sebuah Kerinduan” sebagai topik diskusi mingguan. Tulisan itu merupakan buah tangan Gus Dur yang sepenuhnya tertampung dalam buku Kiai Nyentrik Membela Pemerintah.

Sulit-sulit mudah sebetulnya membincang dua tokoh itu. Mudah, karena baik Gus Miek maupun Gus Dur, cukup masyhur dalam tradisi para santri, namun keduanya juga sekaligus terkenal sebagai sosok yang sama-sama sulit dipahami.

Gus Miek, sebagaimana ditulis Gus Dur, menempuh dua pola kehidupan sekaligus: kehidupan tradisional orang pesantren yang tertuang dalam rutinitas majelis sema’an-nya, dan pada saat yang sama tidak absen dari gebyarnya kehidupan dunia hiburan modern. Gebyar, karena dia berada di tengah diskotik, night club, coffe shop, dan “arena persinggahan” orang-orang tuna susila.

Ini menarik. Sebabnya, Gus Miek—dengan segala kelebihan dan kekurangannya—mampu membawa agama dalam fungsi dasarnya yang humanis. Menyapa semua orang. Utamanya mereka yang tidak pernah disapa arus utama. Mengajak bicara orang-orang yang dianggap nihil akan nilai-nilai agama.

Sehingga, yang ia tatap adalah potensi kebaikan dalam setiap jiwa manusia. Bukan sebaliknya, menggunakan agama sebagai justifikasi kebencian. Dan sialnya yang terkakhir itu kini marak sekali terjadi.

Penganiayaan terhadap Waria oleh sekelompok orang atas nama kebenaran agama beberapa waktu lalu misalnya, justru menunjukan jika Tuhan seolah-olah berjarak dan hanya melayani mereka yang berperangai saleh. Itu belum termasuk daftar hitam sekelompok orang yang sok-sokan mewakili umat Islam dengan dalih nahi munkar.

Memang, dunia malam itu berkait berkelindan dengan gemerlap hitam dan patologi tak terabsahkan menurut konstruksi sosial. Namun demikian, bukan berarti bahwa Tuhan tidak hadir secara absolut di tataran itu. Jangan dipikir Tuhan hanya hadir di masjid, gereja, sinagog, pura, dan tempat-tempat suci lainnya. Siapa tahu, Dia bahkan bisa jadi hadir di dunia kelam yang sesekali masih disebut nama-Nya.

Ya, dunia hiburan malam yang sarat dengan pembicaraan dan ‘kenikmatan’ duniawi tentunya juga menyisakan ruang yang di situ Tuhan masih ingin dihadirkan. Dunia malam tidak saja menghadirkan kebutuhan-kebutuhan hasrat biologis dan wisata lendir. Tetapi ia juga terkait dengan ruang-ruang manusiawi dengan gelegak ketuhanan yang jarang hadir dalam kesenduan dan duka lara.

Lagian, di dalam hidup tidak ada seorang pun yang alpa akan kebutuhan berketuhanan. Jika mengikuti konsep kebutuhan asasi manusia, maka berketuhanan adalah bagian dari kebutuhan dasar manusia di dalam kehidupan—selain tentunya kebutuhan biologis dan sosial. Oleh karena itu, para pekerja malam atau bahkan pelacur sekalipun juga memiliki kebutuhan relijius yang terkadang juga menggelegak sebagaimana kebutuhan fisik lainnya.

Bahkan, di saat-saat tertentu, kebutuhan kerohanian jauh melebihi kebutuhan lainnya, wabil khusus di kala manusia sedang menghadapi persoalan yang secara akal tidak mampu merasionalisasikan solusinya. Akal tentu punya batas kemampuannya.

Ketika berada di dalam situasi itulah dunia kerohanian yang sarat dengan Tuhan, alam ghaib, dan misteri menjadi mengedepan dan urgen.

Nur Syam dalam Agama Pelacur: Dramaturgi Transendental mengatakan, bahwa ada sebuah anggapan yang sangat aprioristik jika para pekerja malam adalah orang-orang marjinal dari laku keagamaan. Mereka dianggap sebagai orang yang telah berada di luar ajaran agamanya. Padahal, sesungguhnya mereka adalah sama dengan kita. Sebagaimana manusia lainnya, yang tetap butuh pada dunia keyakinan, Tuhan yang misterius, dan amal kebaikan.

Akan tetapi, stigma negatif terkadang sudah kadung melekat demikian kuat dan dibangun secara terstruktur sehingga menjadikan mereka ini sebagai orang-orang terbuang secara struktural dan kultural sekaligus. Sehingga dalam banyak hal, mereka sesungguhnya adalah korban dari sistem sosial yang tidak ramah terhadapnya. Mereka adalah orang yang sedang berada di dalam kenyataan hidup, yang sebenarnya mungkin tidak diharapkannya.

Motif mereka terjun ke dunia hitam justru lebih banyak disebabkan faktor ekonomi, frustasi, atau adanya persoalan keluarga. Jarang di antara mereka yang masuk ke dunia hitam ini atas dasar kesadaran atau rasionalitas tujuannya. Sebab kalau pun ada, hal itu pasti sudah masuk dalam daftar cita-cita anak sekolah dasar.

Terlepas dari realitas penyebab yang beraneka ragam itu, tindakan mereka ini telah memperoleh stigmatisasi sebagai tindakan yang melawan ajaran normatif agama.

Rupanya, ini adalah soal komunikasi dakwah. Bagaimana agama mampu hadir menjawab pertanyaan-pertanyaan paling fundamen umat manusia. Secara materi, penghasilan yang didapat para pekerja malam di kelab maupun lokalisasi boleh jadi ‘menggembirakan’ dibanding seorang pekerja teks komersial, seperti saya. Tapi, siapa yang tahu jika secara kedirian, para pekerja itu mengalami suatu histeris—dalam pengertian bingung menyikapi persoalan hidup.

Akhirnya, secara pengalaman ketika seseorang ‘melanggar’ aturan agama lalu diajak bicara agama, biasanya itu lebih merembes. Terkadang dalam kondisi seperti itu, agama bahkan tidak musti hadir secara muluk-muluk. Cukup selawatan atau bahkan petuah ringan, niscaya hati pun bergertar mengetuk sanubari kesadaran bertuhan.

Apakah para pekerja malam itu anti-agama? Kan gak juga!!

Buktinya, pengajian-pengajian di kampung dan pelosok desa justru diselenggarakan malam hari. Dan di sana terdapat jubelan pekerja malam seperti; penjual tikar plastik, cilok, parfum malaikat subuh, dan merchandise islami lainnya.